Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhirnya, Sang Tarif Turun Juga

Pemerintah akan menurunkan tarif listrik dan harga BBM serta memberikan diskon harga listrik untuk industri yang produktif. Diputuskan di DPR Kamis ini.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU 24 jam sehari terasa kurang bagi Anggito Abimanyu. Beban kerjanya belakangan ini begitu bertumpuk, membuat ia hampir-hampir tak bisa memicingkan mata. Sejak pertengahan pekan lalu, Penjabat Kepala Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan itu pontang-panting mengkaji ulang tarif dasar listrik (TDL) dan harga bahan bakar minyak (BBM). Ia harus membuat hitungan baru, menghadiri berbagai rapat, dan membuat laporan, dari pagi hari hingga hampir pagi lagi.

Maklum, Tito?panggilan akrab ekonom muda berwajah boyish dari Universitas Gadjah Mada itu?termasuk motor tim kaji ulang pemerintah tentang tarif listrik dan harga BBM yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak Kamis pekan lalu, tim yang berada di bawah koordinasi langsung presiden itu mengadakan rapat secara maraton dan berpindah-pindah tempat, dari Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sampai kantor Pertamina?tempat tarif listrik dan harga BBM biasa ditetapkan?yang berada di satu lokasi di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Kerja hampir nonstop tersebut harus dilakukan tim ini setelah dalam rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR untuk membahas tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM, TDL, dan tarif telepon, Rabu malam pekan lalu, terjadi "kejutan". Pemerintah sebenarnya telah bersekapat tidak akan mengambil keputusan apa pun dalam soal ini, tapi tiba-tiba Menteri Perhubungan Agum Gumelar mengatakan bahwa setelah melihat kalkulasi yang ada, kenaikan tarif telepon?yang rata-rata 15 persen?bisa ditunda. Tak bisa lain, harga BBM dan listrik pun terseret untuk direvisi. Pemerinah memang tak segera memberikan "angin surga". Mereka hanya berjanji akan mengkaji ulang. Soalnya, perubahan tarif kedua komoditas itu punya implikasi terhadap anggaran negara.

Mau tak mau, pengubahan perhitungan pun segera dilakukan. Waktu mereka sempit. Hasil kajian itu harus disampaikan ke DPR pada Kamis pekan ini, sementara sejak Minggu hingga Rabu, Tito berada di Bali untuk mempersiapkan sidang Consultative Group on Indonesia (CGI). "Saya mesti menyelesaikan penghitungan kembali tarif listrik dan BBM sebelum hari Minggu," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, dan tarif telepon secara serentak mulai 1 Januari lalu menyulut aksi unjuk rasa di berbagai kota. Tekanan pada pemerintah makin besar setelah anggota Dewan yang sebetulnya ikut menyusun kebijakan itu belakangan berbalik badan. Paket stimulus pajak untuk para pengusaha dan pembagian beras untuk rakyat miskin tak mampu meredam amarah rakyat. "Saat ini pemerintah merasa biaya politik lebih tinggi ketimbang biaya subsidi," ujar ekonom Chatib Basri.

Agaknya, untuk menyiram api amarah rakyat, pemerintah tak hanya merevisi harga, tapi juga memberikan nuansa keadilan dalam urusan penyelesaian utang obligor kakap di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pekan lalu, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) memutuskan untuk memprioritaskan penegakan hukum dalam menangani para obligor bandel. Dengan demikian, 10 obligor yang sama sekali tak mau menandatangani perjanjian akan segera diserahkan ke kejaksaan. Padahal, selama ini, pemerintah bersikap lembek kepada para konglomerat, misalnya dengan menerbitkan instruksi presiden tentang release and discharge yang bisa membebaskan pengutang bandel dari tuntutan hukum.

Masalahnya, dari mana pemerintah mencari dana untuk menambah subsidi bila tarif listrik dan harga BBM diturunkan? Pada tahun anggaran ini, pemerintah diketahui cuma menyediakan dana subsidi Rp 13 triliun. Bila harga dua komoditas itu tetap, subsidi jelas harus lebih besar, kendati tak sebesar subsidi tahun lalu yang sekitar Rp 32 triliun.

Para wakil rakyat di Senayan rupanya sudah membuat hitung-hitungan bagaimana caranya menambah subsidi ini. Ada beberapa sumber duit yang kata mereka bisa dikais pemerintah, antara lain dari sisa anggaran tahun lalu (SAL). Dari sini pemerintah diperkirakan bisa merogoh Rp 5 triliun. Kemudian dari cadangan umum bisa diambil Rp 8,2 triliun.

Sumber lain berasal dari rekening dana investasi (RDI). Dari rekening yang merupakan wadah untuk menampung pinjaman luar negeri untuk BUMN atau perusahaan daerah itu diperkirakan bisa dipungut Rp 4 triliun. Selebihnya diambil dari kenaikan harga minyak, yang sekarang mencapai US$ 24 per barel, sedangkan asumsi di APBN masih US$ 22 per barel. Bahkan ada suara untuk menambah subsidi dari jatah anggaran pembangunan.

Namun rencana menggunakan RDI tampaknya bakal sulit dilakukan. Sumber TEMPO di Departemen Keuangan menegaskan RDI berasal dari pinjaman luar negeri, sehingga sebaiknya digunakan untuk membayar utang luar negeri juga. Terlebih tahun depan bakal ada utang jatuh tempo senilai US$ 3 miliar. Dan saat itu Indonesia tak lagi bisa melakukan penjadwalan ulang melalui Paris Club karena sudah tak ada Dana Moneter Internasional (IMF). Jadi, RDI yang tahun depan diperkirakan mencapai Rp 20 triliun itu bisa menjadi bumper agar Indonesia tak lagi terbentur gara-gara utang.

Sementara itu, ekonom Faisal Basri lebih setuju bila menurunkan harga BBM dengan cara meningkatkan efisiensi. Contohnya mengurangi pajak penghasilan dari minyak dan gas sebesar 10 persen. Tapi, sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak tetap harus bisa mengumpulkan penerimaan pajak penghasilan minyak dan gas sebesar Rp 14,78 triliun sebagaimana tertera dalam APBN. Bila pengurangan pajak itu dilakukan, otomatis harga BBM akan turun.

Cara lain adalah dengan menurunkan patokan harga minyak yang ditetapkan Pertamina, dari semula 15 persen di atas harga pasar Singapura, kembali menjadi 10 persen saja. Bila cara itu dijalankan, harga BBM otomatis akan turun. Dengan demikian, penurunan harga dilakukan tanpa mengganggu prinsip penetapan berdasarkan harga pasar. "Saya pada prinsipnya setuju pengurangan subsidi, tapi janganlah hal itu ditunggangi inefisiensi Pertamina dan kemalasan Dirjen Pajak," katanya tegas.

Apa pun kebijakan yang diambil, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla sejak pagi-pagi sudah berpesan agar penurunan tarif listrik dan harga BBM tak mendatangkan kerugian bagi rakyat miskin. Ia tak setuju bila penambahan subsidi diambil dari pos-pos kesejahteraan rakyat dan membuat batalnya program beras untuk rakyat miskin, obat murah, sekolah, dan sebagainya. "Jangan karena ingin memenuhi tuntutan ini, program lain jadi terabaikan," ujar menteri yang terang-terangan menyebut subsidi cuma menguntungkan orang kaya itu.

Tito sendiri tampaknya punya persamaan cara pandang dengan Faisal Basri. Ia mengisyaratkan pemerintah akan menurunkan tarif listrik dan harga BBM dengan cara mengurangi patokan harga minyak oleh Pertamina dan menghilangkan komponen pajak dalam penentuan harga BBM. Bila harga BBM turun, tarif listrik biasanya juga akan turun karena banyak pembangkit listrik masih menggunakan BBM.

Selebihnya, untuk menjinakkan para pengusaha yang kemarin ikut berunjuk rasa, pemerintah kelihatannya akan memberikan diskon tarif listrik. Tapi itu pun terbatas pada industri yang produktif dan mendatangkan manfaat bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN), bukan untuk pelanggan yang konsumtif.

Jadi, akan terjadi revisi APBN? "Tidak, kita cuma melakukan pemindahan beberapa pos di APBN," ujar Tito. Kalaupun ada perubahan, revisi APBN akan tetap dilakukan melalui mekanisme anggaran tambahan dan perubahan pertengahan tahun mendatang.

Pertamina sendiri tampaknya pasrah dengan jurus penghematan pemerintah itu. Toh, mereka tak akan merugi. Cuma, keuntungan yang diperoleh bakal berkurang. Selama ini, Pertamina menyediakan BBM dengan sistem cost and fee. Maksudnya, Pertamina memperoleh penggantian atas biaya yang telah dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan BBM di dalam negeri beserta imbalan.

Karena itu, kata Ridwan Nyak Baik, Pertamina tidak berkeberatan terhadap segala kebijakan yang akan diambil pemerintah. "Soalnya, berapa pun harga BBM di dalam negeri, biaya yang dikeluarkan Pertamina tetap diganti," ujar Manajer Humas Pertamina itu.

Masalahnya, harga barang-barang lain sudah keburu latah mengikuti naiknya harga bahan bakar dan tarif listrik. Dan, untuk yang satu itu, pemerintah tak menyiapkan sebuah cara pun untuk menurunkannya.

Nugroho Dewanto, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus