Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda bahwa sekarang ada gerakan-gerakan radikal yang menggunakan massa untuk menggoyang Megawati? (10 - 17 Januari 2003) | ||
Ya | ||
47.1% | 680 | |
Tidak | ||
49,6% | 716 | |
Tidak tahu | ||
3,3% | 48 | |
Total | 100% | 1.444 |
TURUNKAN Mega-Hamzah!? Teriakan itu berulang-ulang disuarakan sejumlah elemen masyarakat, terutama mahasiswa, dalam aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan tarif telepon sepanjang pekan lalu. Aksi dengan tema seperti ini tak hanya terjadi di depan Istana Negara, tapi juga di seantero kota di Tanah Air. Di luar jalanan juga terdengar suara serupa. Eros Djarot, Ketua Partai Nasionalis Bung Karno, misalnya, lantang berbicara, ?Sudah saatnya duet kepemimpinan Mega-Hamzah turun!? Alasannya, beban rakyat semakin berat, terutama setelah digencet kenaikan harga ?kado tahun baru Mega.?
Teriakan-teriakan itu, tak ayal, menguatkan sinyalemen Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, yang dilontarkan dua pekan lalu. Ia menyebut, aksi menggoyang Mega dilakukan oleh kelompok post-power syndrome, golongan yang tak puas, dan aliran-aliran radikal yang tak nyaman dengan kebijakan pemerintahan. Wakil Presiden Hamzah Haz menguatkan tuduhan itu. Baginya, moto ?Mega-Hamzah turun? cukup menjadi bukti adanya upaya makar. Tuntutan seperti itu, ?Tak relevan dengan soal penurunan harga BBM, tarif dasar listrik, dan tarif telepon,? katanya.
Benar begitu? Tidak, itu kata 49,6 persen dari total 1.444 responden jajak pendapat www.tempointeraktif.com. Mereka menyatakan tak setuju dengan sinyalemen adanya gerakan-gerakan radikal yang menggunakan massa untuk menggoyang Megawati. Tapi jumlah yang setuju juga tak sedikit, yakni 47,1 persen.
Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, pendapat Ketua Centre for Electoral Reform (Cetro), Bambang Widjojanto, rasanya layak disimak. ?Pergantian Presiden RI sebaiknya tetap dilakukan melalui pemilu. Sebab, hanya lewat pemilulah pemerintah memiliki legitimasi dari rakyat. Kalau mau memotong di tengah jalan, ?negara? bisa hancur,? ujarnya.
Jajak Pendapat Pekan Depan: Hati Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung benar-benar kecut. Harapannya untuk bebas dari jerat hukum kasus tindak korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kembali terganjal. Maklum, pekan lalu, hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam keputusan bandingnya tetap memvonis Akbar 3 tahun penjara, sama persis dengan vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, September tahun lalu. ?Saya tak bersalah. Mestinya saya bebas,? ujar Akbar masygul. Ia pun bertekad tetap melakukan upaya hukum, yakni mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Yang menarik, Hakim Ridwan Nasution menambah hukuman penjara untuk terpidana II, Dadang Sukandar, dan terpidana III, Winfried Simatupang. Keduanya sama-sama divonis 3 tahun penjara, dua kali lipat dibandingkan dengan vonis sebelumnya. Alasannya, selain merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri, keduanya dinilai melakukan perbuatan tercela dengan memasukkan dokumen penyaluran sembilan bahan pokok sehingga tampak seolah-olah uang sebesar Rp 40 miliar telah dibelanjakan. Menghadapi vonis banding itu, Akbar boleh mangkel. Dadang dan Winfried juga boleh terenyak. Tapi sebuah pertanyaan besar layak diajukan, ?Adilkah vonis banding bagi Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang sehingga ketiganya sama-sama diganjar tiga tahun penjara?? Apa pun jawaban Anda, suarakan lewat www.tempointeraktif.com. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |