SEBUAH gerbong kereta meluncur dari stasiun kereta api Malang. Tanpa loko, Iho. Tanpa pengawal. Orang kalang kabut: sebuah tim dibentuk secara kilat untuk mengejar kendaraan bandel itu. Pakai apa, mengejarnya? Pakai loko yang sepanjang jalan membunyikan peluit. Itu peluit tentu saja bukan untuk menghentikan gerbong yang tidak bisa mendengar. Tapi untuk memberi tahu semua orang di pinggir rel: ada gerbong lari sendiri! Sanib, petugas polsus KA, juga mengambil inisiatif menghubungi beberapa pintu perlintasan, supaya ditutup. "Wah, saya kaget bukan main ketika gerbong itu nyelonong saja. Untung, tak ada kendaraan lewat," kata Bambang, petugas palang pintu itu di Mergosono. Syukur, akhirnya gerbong biru yang bertuliskan Pupuk Sriwidjaja itu berhenti juga -- di Desa Kesamben, 60 km selatan Malang, dekat Blitar. "Alhamdulillah, tak terjadi apa-apa," kata Soekardjo yang bertugas mengejar gerbong. Sebenarnya ada juga korban: sebuah becak terguling di Kepanjen, kena srempet. Si tukang becak mengumpat-umpat, tapi kemudian bengong setelah melihat gerbong lari tidak dengan lokonya. Peristiwa pertengahan Februari itu sedang diselidiki sebab-sebabnya. Ada petugas PJKA yang percaya, gerbong itu digerakkan roh halus lagi pula terjadinya tepat malam Jumat Legi, waktu lalu lintas sudah mulai sepi (syukurlah). Ada juga yang bergurau: pupuk yang mau dikirim ke Blitar itu tak sabar -- meluncur sendiri bersama gerbongnya, persis ke arah yang direncanakan. Tapi dugaan paling kuat adalah ini: rem angin tidak bekerja. Hanya, bagaimana bisa, begitu dilepaskan dari loko, gerbong yang berat itu terus saja lari? Bisa saja. Wong jalan kereta dari Malang ke Kesamben menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini