DESAIN grafis menjadi sosok yang menarik sejak pertengahan abad ini. Bidang yang dahulu tak pernah disebut-sebut itu baru mencuat nama dan eksistensinya setelah hadirnya teknologi mesin cetak modern. Terutama semenjak orang menemukan dan berhasil mengembangkan mesin ofset, sejenis alat reproduksi benda cetak canggih yang dalam mekanismenya sekonyong-konyong menuntut spesialisasi pada beberapa hal. Misalnya pengkhususan dalam penciptaan rancangan grafis itu. Gampang kita ingat: dulu, seorang Henri Tolouse Lautrec mencipta poster dengan sekaligus menggarap acuan grafisnya. Kini, seorang Bruhwiler atau Wagiono S., misalnya, tinggal menggambar apa yang akan diposterkan. Dan proses grafis diserahkan penuh kepada mesin. Dulu Kathe Koliwiu atau Thomas Rowlandson membuat etsa karikatur dengan proses reproduksi yang 100% digarap sendiri. Sekarang ' Syahrinur Prinka tinggal memainkan tinta di kertas, dan penyelesaian reproduksinya dilimpahkan ke teknologi cetak. Dengan begitu, memang, pembuat grafis sekarang dihadapkan pada berbagai kemudahan. Kemudahan untuk menggali berbagai kemungkinan Kemungkinan untuk mengeksplorasi gejala artistik, yang bisa dilakukan tanpa batas. Dan sejumlah desain grafis (atau sebut: seni grafis) hasil kerja orang-orang TEMPO ini menunjukkan bagaimana para seniman grafis masa kini memananfaatkan kemudahan serta kemungkinan yang dihadiahkan teknologi mesin itu. Pada panil bisa kita lihat puluhan desain kulit muka TEMPO, beserta sejumlah ilustrasi dan karikatur yang pernah mengimbuhi kolom atau berita di majalah ini. Tentu harus dibilang sebagai pameran yang menarik. Karena, setidaknya, pergelaran itu siap menunjukkan potensi estetik dan artistik yang dimiliki TEMPO sekarang, terutama pada tiga tahun terakhir -- karena yang dipajang tampaknya terbatas pada ciptaan sejak 1983. Pasal kulit muka TEMPO agaknya paling memikat. Sebab, sesungguhnya, di sinilah yang namanya upaya kreatif penggalian kemungkinan jelas terlihat. Dan usaha seni rupawan (plus TEMPO) untuk memanifestasikan jenis seni rupa yang topikal, bersandar pada cerita dan berita, gamblang terpampang. Dari kulit muka itu gambar Dede Eri Supria tentang perahu jung yang berlayar di atas bendera Inggris dan Cina mesti disebut sebuah manifestasi yang amat berhasil. Simbolisme yang disiratkan -- nasib peralihan Hong Kong dari Inggris ke Cina -- menggambarkan ide yang sanggup secara jauh dipikirkan. Dan dikristalkan. Lukisan Dede itu, paling tidak, sedikit di atas karya karya yang lain -- seperti garapan Cahyono Abdi mengenai terbongkarnya penjualan narkotik Aceh-Bali, atau lukisan Oentarto mengenai pencabutan subsidi BBM. Hanya, yang tentang jaringan narkotik Aceh-Bali, misalnya, harus dibilang beride jernial. Penggambaran lompatan urat darah pada lengan berpeta rute Aceh -- Bali adalah hasil pencarian kreatif yang sulit ditemukan duanya. Lukisan ini dikerjakan dengan cat sembur jenis teknik yang dominan dalam kulit muka TEMPO kurun terakhir. Karya-karya di atas tampak -- seperti halnya satu gambar Oentarto mengenai terbunuhnya Indira Gandhi -- sarat dengan gagasan, menyimpan metafora, scrta menyuguhkan drama. Walaupun, ini yang perlu diingat, gagasan dan sebagainya itu belum tentu datang dari pelukisnya sendiri. Memang. Ide atau gagasan yang lantas melahirkan sejumlah bentuk dan perumpamaan pengungkapan agaknya menjadi kunci sukses penyajian sebuah kulit muka majalah (berita), selain -- tentu saja -- pelampiasan bentuk dan teknik yang mendukung ide dan gagasan itu. Karenanya, agak aneh ketika dalam pameran ini nama penggagas gambar sama sekali tak ditampilkan S. Prinka, misalnya, yang berperan banyak pada manifestasi Dede Eri Supria dan Oentarto H., tak harus dilesakkan upayanya. Sebab, sebenarnya padanyalah terletak nilai bagaimana sebuah gambar, yang merespons berita dan cerita tak terjeblos ke dalam lukisan deskriptif dan literer belaka. Betapa pentingnya gagasan itu bisa dilihat pada kulit muka yang menggaungkan ledakan bom waktu di Jakarta, edisi Oktober 1984. Kulit muka ini adaptasi total dari karya legendaris Edward Munch, pelukis Jerman yang sanggup mengentaki orang dengan segumpal kengerian. Pencetus ide gambar ini, yang dalam pameran tak dituliskan, adalah Goenawan Mohamad. Dari gagasan pula orang akan dengan mudah menjawab, mana kulit muka yang berhasil mewakili berita dan cerita. Dan mana yang tidak. Mana yang mampu "mengganggu" khalayak dengan ide dan bentuk, sehingga makin menjerat pembaca untuk mengetahui isi. Dan mana yang tidak. DI sini lalu muncul pertanyaan: apa gunanya, misalnya, pelukisan Liem Sioe Liong yang pasif tersenyum, untuk TEMPO edisi 31 Maret 1984 ? Gambar ini, betapapun seriusnya digarap Gelar Soetopo, tidak mengungkapkan "kejadian" apa-apa. Tak ada yang mengusik orang untuk ingin lebih tahu. Seperti juga yang terjadi pada gambar (yang amat menarik) Cahyono Abdi mengenai "suaka politik" Johannes Rumbiat dan kawan-kawan, TEMPO 24 Maret 1984. Gambar ini hanya berupa lelaki brintik duduk di hamparan bendera merah putih biru. Padahal, sesungguhnya, semua materi di atas punya kemungkinan diolah lebih mendalam. Bandingkan dengan kulit muka TEMPO 18 Januari, tentang Qadhafi yang membedol bendera Amerika, dengan latar belakang Koboi Reagan close up lamat-lamat. Gambar manis ini dibuat Oentarto H. Apakah kulit muka sebuah majalah berita memang harus begitu ? Untuk sementara, tampaknya harus dijawab ya. Sebab, apa pun yang diperbuat, karya piktoral sebuah kulit muka adalah bagian dari karya jurnalistik walaupun ia sah dilepaskan sebagai karya seni rupa, seperti yang jadi tujuan pameran ini. Sementara itu, sebuah peristiwa jurnalistik adalah suatu gerak, suatu pergeseran, suatu pergolakan, segala hal yang lantas "dijual" oleh sebuah majalah. Apakah tak meleset "menjual gerak, pergeseran, dan pergolakan" dengan bahasa yang "diam"? Time dan Newsweek jauh-jauh hari sudah merintis itu -- bila tidak dengan pemanfaatan foto-foto jurnalistik, akan dilakukan eksploitasi sejumlah subyek berita lewat ilustrasi yang penuh dramatisasi. Memang, bahasa ungkap mereka harus dibedakan dari bahasa gambar TEMPO, yang (mungkin) tak diharapkan seratus persen bebas, "liar", dan liberal. Bila Time pernah membuat karikatur Gary Hart dan Mondale secara tajam dan jenaka untuk sampulnya, TEMPO tak mungkin memuat gambar Presiden Soeharto melompat gembira karena panen Nusantara melebihi target. Unggah-ungguh, etika sosial, agaknya cukup intervensinya dalam soal grafis di negeri ini. Dalam pameran ini, tema, topik, atau sumber gagasan dan gambar diinginkan lepas dari wujud gambar yang digelarkan. Suatu hal yang tak mungkin, selama orang masih mencari isi dan memburu konteks. Dan, bagaimanapun, orang memang tak mau menikmati "gambar kosong", tanpa boleh meraba apa yang ada di dalam. Karena itu, tidak discrtakannya lay out lengkap kulit muka TEMPO, yang otomatis menjelaskan tema (dalam tipografi), sedikitnya merupakan kekurangan bagi banyak orang. Nah. Yang tak punya problem dalam pagelaran itu adalah penyajian kartun dan karikatur. Getaran garis Priyanto S. bisa dibilang pembawa ciri dan gejala kartun serta ilustrasi khas TEMPO selama ini. Ada sesuatu yang tiba-tiba "Indonesiawi" di situ, yang terungkapkan entah dalam bentuk, sosok, atau garis-garis berambut yang dia tarik. Sebuah karya yang jelas bertolak dari upaya penggalian kemungkinan. Dari sejumlah kemudahan teknik yang selama ini dialami dan dirasakan. Agus Dermawan T. * Pengamat seni rupa keluaran STSRI "Asri" Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini