TELAH terjadi keributan di sebuah kampung. Pasalnya dalang yang sedang memainkan lakon Arjuna Wiwaha tidak membunuh Niwatakwaca, meski panah Pasupati Arjuna sudah bersarang di mulutnya. Ki Dalang hanya mengatakan monster itu kalah perang, sehingga Dewi Supraba jatuh ke pelukan Arjuna. Niwatakwaca, dengan mulut berlumur darah, diterbangkan kembali ke angkasa dan hilang dalam gumpalan awan. "Tetapi aku tidak mati. Aku masih mengembara di jagat raya. Aku, Niwatakwaca yang perkasa dan tidak bisa mati, setiap kali akan menculik lagi Dewi Supraba atau dewi-dewi yang lain. Wahai Arjuna, jangan jumawa!" Demikian Ki Dalang memainkan wayangnya. Nyaris terjadi perkelahian: keluarga mempelai merasa tersinggung, dan para pencinta wayang menganggap itu menyalahi pakem. Tetapi Ki Dalang hanya tersenyum. "Betul," katanya, untuk menyenangkan lebih dulu semua orang yang protes. "Tetapi," sambungnya perlahan-lahan, "bukankah bencana kehidupan, terutama ancaman terhadap perkawinan, misalnya, selalu ada setiap saat? Tidak hanya orang yang baru menikah. Orang yang sudah bertahun-tahun dan sudah sempat menikahkan anaknya sendiri ada kemungkinan diancam bahaya Niwatakwaca. Mengapa kita menipu diri? Itulah. Dengan membiarkan Niwatakwaca tetap hidup, saya ingin memberikan pesan kepada mempelai bahwa harus tetap selalu berhati-hati -- bahkan justru mulai sekarang. Justru karena musuh itu tidak kelihatan wujudnya seperti dulu. Ya tidak?" Orang-orang termenung. Ada yang segera hilang marahnya, tetapi ada juga yang curiga kalau-kalau Ki Dalang sudah disuap seseorang yang merasa dirinya Niwatakwaca dalam pernikahan itu. Keluarga mempelai mengadakan pertemuan kilat. Akhirnya, atas nama seluruh keluarga mempelai berdua, seorang juru bicara menyampaikan ke hadapan hadirin supaya jangan gusar. Karena, katanya, apa yang dikatakan Ki Dalang memang sudah merupakan pesanan yang punya hajat. "Kita hidup di zaman modern. Kedua mempelai juga orang-orang modern, meskipun kebetulan tinggal di kampung," kata juru bicara itu. "Karena itu, peralatan ini mengambil suguhan wayang, tetapi juga sebagai orang modern mereka berusaha menempatkan agar bagian tradisi kita yang luhur ini memiliki guna yang nyata, dengan cara membuat pengarahan. Itu sebabnya jalan ceritanya sedikit berbeda. Tetapi hikmahnya, tujuannya, justru lebih jelas. Justru lebih jelas. Dus, ini penggalian tradisi, sekaligus semacam pembaruan. Dus, begitulah seharusnya para mempelai kita, harus tetap awas pada bahaya, karena pernikahan barulah langkah pertama dalam kehidupan yang masih panjang ini." Ki Dalang tersenyum simpul. Pada kesempatan peralatan lain ketika ia diminta kembali memainkan Arjuna Wiwaha, ia memberikan tiga alternatif. Niwatakwaca mati, dengan tarif biasa. Niwatakwaca masih hidup, dengan tarif istimewa. Dan, Niwatakwaca menang dengan tarif luar biasa. "Mengapa?" tanyanya sendiri, untuk menjelaskan mengapa alternatif ketiga paling mahal. "Karena, bila Niwatakwaca menang, Arjuna akan sadar bahwa ia tidak perlu memaksa diri sendiri untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Dewi Supraba bukanlah pasangannya yang langgeng: bidadari itu hanya akan menemaninya beberapa saat. Arjuna harus sadar bahwa jodohnya adalah Sembadra, manusia biasa yang klop dengan dia. Menerima kenyataan ini memerlukan keberanian. Memerlukan keberanian. Memainkan cerita ini juga memerlukan keberanian seorang dalang, dalam menempatkan arah sehingga tidak terjadi salah paham. Karena itu, mahal." Dalam praktek, versi kedua, yang memperlihatkan Niwatakwaca kalah tetapi tetap mengancam, makin hari semakin laris. Lakon itu seperti menjadi mode. Para keluarga mempelai diam-diam merasa harkatnya bertambah satu tangga bila mampu mempergelarkan versi itu. Sebab, selain lebih segar dan berani, juga lebih mahal. Ki Dalang, sebaliknya, tak henti-hentinya sesambatan: versi ketiga, yang selalu ditawarkannya, belum ada yang mencoba. "Masyarakat kita, meskipun sudah maju, masih suka bermimpi. Tidak berani melihat kenyataan. Selalu mengira kekalahan itu buruk. Selalu menyangka bahwa kita harus mengalahkan musuh, padahal di dalam kenyataan sering terjadi kebalikannya. Masyarakat kita masih takut-takut menerima ilmu hidup yang baru," kata Ki Dalang tak putus-putusnya. Ketika Ki Dalang sendiri pada gilirannya harus menyelenggarakan upacara pernikahan putrinya, beliau menjadi terlalu repot mengurus segala macam untuk bisa manggung. Muridnya yang paling pintar diberi tugas memainkan lakon tersohor itu. Di luar dugaan semua orang, ternyata bintang baru telah lahir: Ki Dalang Muda memainkan cerita dengan sempurna. Pada bagian akhir lakon, semua menahan napas. Dan, ternyata, Ki Dalang Muda telah memutuskan membuat kejutan dan sekaligus penerapan ajaran gurunya: membiarkan Arjuna kalah, sementara Niwatakwaca, si penggoda itu, terus tertawa terbahak-bahak mengepit Dewi Supraba yang bagai pengantin itu, sambil mematahkan panah dari Arjuna yang menancap di mulutnya, terus melesat ke angkasa. Hilang. Ki Dalang Tua tersentak di kursinya. Buru-buru ia mengirimkan perintah kilat lewat belakang. "Cepat bunuh Niwatakwaca. Bunuh! Jangan macem-macem."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini