Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sela pertemuan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada Senin siang pekan lalu, Darmin Nasution menarik Menteri Perhubungan Ignasius Jonan agak ke pojok ruangan. Menko Perekonomian itu bertanya kepada Jonan perihal masuknya "High Speed Train Jakarta-Bandung" ke daftar proyek strategis pemerintah.
"Jonan, siapa yang memasukkan?" kata Darmin seperti ditirukan salah satu petinggi yang menyaksikan adegan itu. Jonan, menurut si pejabat, segera menyahut. "Saya juga tidak tahu. Saya kira Bapak tahu."
Kebijakan yang diperbincangkan kedua anggota kabinet itu adalah Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Peraturan yang diteken Presiden Joko Widodo pada 8 Januari lalu itu menjadi payung hukum bagi 225 proyek untuk diberi fasilitas, termasuk jaminan negara. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berada di urutan ke-60.
Darmin terperanjat saat dimintai konfirmasi tentang peristiwa di kantornya itu. Ia tidak segera membantah atau mengiyakan. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu berhati-hati menjawab kala ditanya siapa yang "menyelundupkan" proyek tersebut ke daftar lampiran perpres. "Saya tidak punya jawaban," tuturnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Darmin sepertinya kecolongan. Sebagai Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Darminlah yang bertanggung jawab menyusun daftar proyek strategis nasional itu. Pria 67 tahun itu baru tersadar setelah belakangan isu perpres ramai diperbincangkan di media.
Pelbagai pertanyaan mencuat. Sebab, dengan status proyek strategis nasional, kereta cepat bisa mendapatkan fasilitas berupa jaminan negara. Padahal sejak awal proyek bernilai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 74 triliun lebih itu dirancang sebagai kerja sama bisnis biasa, yakni kongsian antara konsorsium perusahaan milik pemerintah Cina dan Indonesia (business to business). Proposal Tiongkok dipilih karena sejak mula mereka berjanji proyek ini tak akan menggunakan anggaran negara (APBN). Janji inilah yang kini dipertanyakan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pun mengaku tak mengusulkan. "Anda tanya saja ke Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet," ujarnya. Adapun Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, "Kereta cepat ikut Perpres 107 Tahun 2015." Artinya, proyek itu tetap tak boleh diberi fasilitas jaminan negara.
Dua peraturan presiden yang isinya bertentangan inilah yang memicu kritik dan polemik. "Patut diduga ada pasal yang diselundupkan," kata pemerhati kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio.
Seorang pejabat yang mengetahui rapat kabinet terbatas ketika penyusunan Perpres Nomor 3 tersebut bercerita, para menteri tak membubuhkan paraf dalam draf final Perpres. Menurut dia, kejadian ini menunjukkan kelemahan administrasi di Istana. Karena tidak dimintai paraf, para menteri tidak punya kesempatan memberikan koreksi. "Sudahlah, itu (dianggap) sudah selesai saja," ujar Darmin saat dimintai komentar tentang itu.
Selesai di situ? Ternyata belum. Sebab, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC)—konsorsium BUMN Cina dan Indonesia—kemudian ketahuan memasukkan klausul tentang jaminan itu ke draf perjanjian konsesinya dengan Menteri Perhubungan. Konsorsium ingin pemerintah ikut menanggung rugi bila kereta cepat gagal dibangun atau dioperasikan. "Mereka maunya, kalau gagal, dibeli pemerintah," kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko.
Kementerian Perhubungan menolak klausul itu dan tak mau memberi konsesi. "Sementara waktu pembicaraan terhenti. Mungkin pihak Cinanya sedang pulang Lebaran (Imlek)," Hermanto berseloroh.
Senin pagi pekan lalu, Direktur Utama PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan menemui Jonan di kantor Menteri Perhubungan. Jonan didampingi Direktur Jenderal Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko dan dua direktur lain. Dalam pertemuan dua jam itu, mereka membahas isi perjanjian konsesi kereta cepat, tapi kembali gagal bersepakat.
Jonan memberikan syarat berat bagi KCIC. Syarat itu mutlak. "Ini prinsip. Kalau enggak mau, enggak usah (bangun). Kok, susah," kata Jonan.
Hanggoro merasa dipersulit. "Swasta didorong, kok, di tengah-tengah dikunci," ujarnya Kamis pekan lalu. Menurut dia, sikap keras pemerintah bakal menyulitkan konsorsium mendapatkan kucuran pinjaman dari Bank Pembangunan Cina (CDB). "Pasti lender tidak setuju." Padahal, dalam rancangan mereka, bank milik pemerintah Cina ini akan menanggung 75 persen pendanaan proyek.
Dari sembilan syarat Jonan, tiga poin masih mengganjal. Pertama, soal masa konsesi 50 tahun. Kementerian Perhubungan ingin konsesi berlaku sejak ditandatangani. Alasannya, kata Hermanto, pemerintah tak ingin proyek terbengkalai setelah izin diberikan. Ia mencontohkan proyek monorel DKI Jakarta. "Tujuannya supaya benar-benar membangun. Jangan nanti kita disandera," ucap Hermanto.
Hanggoro menilai syarat ini tak adil dan tak ada yurisprudensinya. Selama ini konsesi operator jalan tol dan pelabuhan dihitung sejak beroperasi. "Masak, konsesi kita lebih buruk daripada proyek yang digarap pemerintah?" kata Hanggoro.
Penjelasan tambahan diberikan Direktur Utama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia—konsorsium empat perusahaan negara yang jadi induk KCIC—Sahala Lumban Gaol. Menurut dia, sebelum izin operasi keluar, operator belum menerima pendapatan sama sekali. "Kan, rugi kita?" ujarnya.
Poin kedua menyangkut hak eksklusif. Pemerintah menyatakan bisa memberikan izin kereta cepat lainnya di rute yang sama dengan jarak stasiun lebih dari 10 kilometer dari stasiun KCIC. Ini yang juga dianggap merugikan oleh konsorsium. "Kalau PT KAI atau yang lain mau bikin, ya, rute lain, dong," kata Sahala.
Adapun poin ketiga ialah ihwal jaminan dari negara. Hanggoro meminta kepastian hukum. "Ini proyek berisiko tinggi. Kalau konsorsium bangkrut, harus jelas. Kalau lender meminta restrukturisasi utang atau lelang proyeknya, kepada siapa?" ujar Hanggoro. "Kalau klausulnya tidak jelas, ya, mengkhawatirkan bagi kami dan investor."
Tapi pemerintah punya pendapat lain. Jaminan negara tak akan diberikan, apalagi jika itu terkait dengan soal finansial. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro tegas soal ini. "Yang jelas, tidak bisa jaminan finansial."
Kementerian Perhubungan sama saja. "Kalau dilelang, kan belum tentu ada yang mau. Ujung-ujungnya pemerintah juga (yang menanggung beban)," kata Hermanto.
Konsorsium berharap sikap Jonan melunak. Pekan ini Hanggoro meyakini proses negosiasi bisa dilanjutkan. "Kami akan berusaha jalan. Kalau sampai tidak ketemu, ya, kami akan mengembalikan kepada yang memberikan penugasan: Presiden."
Pembangunan proyek kereta cepat tersandung-sandung sejak dulu. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah menyusun rencana untuk jalur Jakarta-Surabaya pada 2009. Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2025 juga memuatnya. Namun PT KAI, yang saat itu dipimpin Ignasius Jonan, menolak dengan alasan tak layak secara bisnis. "Itu tidak berkeadilan," tutur Jonan kala itu.
Proyek mahal ini sangat Jawa-sentris. Lebih baik, kata dia, APBN mendanai pengembangan kereta api trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Wacana kereta cepat kembali dihidupkan Presiden Joko Widodo segera setelah memenangi Pemilihan Umum 2014. Jokowi kepincut memiliki kereta cepat setelah menjajal sendiri kereta serupa di Beijing menuju Tianjin, Cina, di sela pertemuan tingkat tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation pada November 2014.
Pemerintah Cina cepat menyabet peluang ini. Konsorsium BUMN mereka berhasil menyalip Jepang, yang sudah lebih dulu menggarap studi kelayakan di jalur yang sama sejak 2011. Salah satu alasan utama pemerintah ketika memilih proposal Tiongkok, ya, itu tadi: mereka menyetel proyek ini tanpa membebani keuangan negara.
Disaksikan Presiden Cina Xi Jinping dan Jokowi, nota kerja sama ditandatangani Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri BUMN Cina pada medio Maret 2015. Tapi jalan menuju dimulainya konstruksi tak otomatis mulus.
Jonan menolak permintaan konsorsium agar bisa meresmikan proyek pada 9 November lalu. Untuk bisa groundbreaking, kata Jonan dalam suratnya, setidaknya tiga syarat harus beres: terbentuk badan usaha, trase atau jalur ditetapkan, dan persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan.
Ketika Presiden Jokowi melakukan groundbreaking di kebun teh PT Perkebunan Nusantara VIII di Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, pada Kamis, 21 Januari lalu, tiga syarat awal itu belum sepenuhnya tuntas. Ini yang membuat Jonan enggan datang. Tak satu pun anak buahnya diizinkan hadir.
"Marah dia. Merasa di-fait accompli," kata petinggi yang tahu bagaimana posisi Jonan waktu itu. Tapi anggota staf khusus Menteri Perhubungan, Hadi M. Djuraid, mengatakan, "Menteri Jonan tak hadir karena masih berfokus menuntaskan aspek perizinan."
Belakangan ketahuan, sejumlah detail yang terkait dengan trase dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) memang masih bermasalah. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna, misalnya, meminta jalur kereta cepat ini digeser menjauh dari kawasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Dengan alasan berpotensi mengganggu kegiatan militer strategis, TNI AU menawarkan jalur lain melewasi lahan mereka di Cipinang Melayu.
Urusan amdal juga kisruh. Anggota tim penilai amdal, Widodo Sambodo, mengatakan dokumen yang dibuat PT KCIC tak layak. Perusahaan hanya menggunakan data sekunder dan bukan yang terbaru, sehingga patut dipertanyakan. "Dokumen amdal ini baru diserahkan seminggu setelah rapat tim teknis membahas kerangka acuan," ujarnya.
Menjawab kritik tersebut, Hanggoro mengatakan masalah trase sudah selesai. Menurut dia, Menteri Pertahanan tidak keberatan daerah Halim jadi stasiun KCIC. "Menteri Pertahanan mengirim surat persetujuan kepada Menteri BUMN," ujar Hanggoro. KCIC, kata dia, merancang terowongan sepanjang dua kilometer di Halim sebagai antisipasi atas potensi gangguan yang dikhawatirkan Kepala Staf TNI AU.
Selasa pekan lalu, Direktur Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan San Afri Awang mengatakan amdal PT KCIC sudah disahkan kementeriannya. Ia bahkan menyebut nama Widodo tak masuk anggota tim penilai mereka. "Masukannya kami tampung. Kami perbaiki."
Agus Supriyanto, Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo