Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat umum pemegang saham PT Kereta Api Indonesia (Persero) awal Januari lalu punya banyak agenda. Salah satunya membahas modal awal untuk megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Forum yang memegang kewenangan tertinggi perseroan itu akhirnya menyepakati modal KAI harus diambil dari pemanfaatan lahan perusahaan. "Hasil RUPS-nya begitu," ujar Komisaris KAI Danang Parikesit, Rabu pekan lalu.
Tapi rupanya direksi KAI punya kebijakan lain. Seorang pejabat BUMN mengatakan Direktur Utama KAI Edi Sukmoro justru mengambil kas perusahaan Rp 125 miliar. Duit itu kemudian ditransfer ke rekening PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai setoran modal ke PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), yakni perusahaan patungan antara Pilar Sinergi dan konsorsium BUMN Cina.
KAI memegang 25 persen saham di Pilar Sinergi, yang berisi kongsi empat BUMN Indonesia. Adapun PSBI menguasai 60 persen saham KCIC, sementara sisanya dipegang konsorsium Tiongkok.
Bukan hanya KAI, PT Perkebunan Nusantara VIII juga mesti merogoh kocek internal. Masalahnya, kantong perusahaan sedang kempis. Pengelola Kebun Panglejar, Bandung Barat—lebih dikenal dengan nama Perkebunan Walini—itu akhirnya minta duit ke "orang tua"-nya, PT Perkebunan Nusantara III, selaku holding PTPN, dengan skema pinjaman. "Dari holding, ada pinjaman modal kerja dan bukan hanya ke PTPN VIII," ujar Direktur Utama PTPN VIII Bagas Angkasa lewat pesan WhatsApp, Kamis pekan lalu.
Dengan porsi 25 persen saham di PSBI, PT Perkebunan Nusantara VIII mesti merogoh Rp 187,5 miliar untuk modal awal KCIC. "Duit sebesar itu kami tidak ada," kata Kepala Bagian Pengembangan Aset dan Usaha PTPN VIII Hendra Mardiana, Rabu pekan lalu.
Ratusan miliar tunai sebagai modal awal tersebut meleset dari rencana bisnis kereta cepat Jakarta-Bandung. Mulanya, modal empat BUMN di PSBI disebutkan tidak dalam bentuk duit kontan.
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, pemrakarsa proyek sekaligus leader PSBI dengan porsi saham 38 persen, pun dirancang akan bermodalkan penghasilan pekerjaan sipil proyek kereta cepat. Adapun KAI, PTPN VIII, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk akan mengandalkan hasil dari pemanfaatan lahan mereka yang digunakan untuk jalur, stasiun, dan transit-oriented development alias pengembangan area pemberhentian kereta cepat.
Kewajiban menyetor tunai baru ketahuan pada Desember tahun lalu, dua bulan setelah KCIC berdiri. Kementerian Perhubungan meminta KCIC menyetor modal Rp 1,25 triliun sebagai syarat: Rp 1 triliun untuk penetapan badan usaha prasarana dan Rp 250 miliar untuk badan usaha sarana kereta cepat.
"Di rekening koran KCIC sekarang sudah ada Rp 1,1 triliun," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwi Atmoko, Kamis pekan lalu. Karena itu, Kementerian sudah menetapkan KCIC sebagai badan usaha prasarana kereta cepat pada 15 Januari lalu, tapi belum untuk badan usaha sarananya.
Direktur Utama PTPN VIII Dadi Sunardi membantah anggapan bahwa modal awal tersebut tak masuk hitungan perusahaan. Total biaya kereta cepat yang mencapai US$ 5,585 miliar disebut sudah termasuk untuk modal awal badan usaha. Tapi Dadi mengakui modal PTPN VII memang bukan tunai. "Ada kepentingan yang mendesak untuk izin. Ya, harus kami selesaikan," kata Dadi di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Sedangkan Direktur Utama KAI Edi Sukmoro tak bersedia memberi tanggapan soal ini.
Wijaya Karya juga disebut sempat kelabakan ketika diharuskan menyetor tunai. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan Wika sampai berutang Rp 280 miliar dengan suku bunga 11 persen demi mendapat modal awal. Namun Direktur Utama Wika Bintang Perbowo buru-buru membantahnya. "Kami ambil dari kas," ujarnya di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Bintang mengatakan duit itu sudah masuk rencana jangka pendek Wika sampai 2019.
Jauh sebelumnya, KAI sebetulnya telah memprediksi kesulitan ini. Seorang pejabat KAI mengatakan sepuluh direkturnya bahkan tak bulat ketika memutuskan bersedia ikut di proyek kereta cepat. Musababnya, proyek tersebut tak dijamin pemerintah. Padahal, dalam hitungan KAI, potensi penumpang kereta cepat itu tak seberapa. Sedangkan biaya pembangunan infrastruktur yang biasanya menggunakan duit pemerintah kini harus ditanggung penuh konsorsium.
Pejabat itu mengatakan estimasi 28 ribu penumpang per hari ketika kereta beroperasi pada 2019 jelas mengada-ada. Acuannya, penumpang harian kereta Argo Parahyangan Jakarta-Bandung pulang-pergi saat ini cuma 3.300-3.500 per hari. "Dari 3.000 jadi 28 ribu per hari. Coba bayangkan…," ujarnya.
Tapi KAI tidak bisa membantah perintah yang turun langsung dari Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Bunyinya, KAI harus ikut berkongsi dengan Wijaya Karya menggarap kereta cepat. "Perintah ya perintah. Tapi, buntutnya, direksi juga yang menanggung," kata pejabat lain di perusahaan itu.
Repotnya lagi, jejak perintah lisan Rini itu kini kabur. Pada 9 September 2015, Rini menyurati empat BUMN anggota konsorsium. Isinya antara lain meminta Wijaya Karya, Jasa Marga, KAI, dan PTPN VIII menyusun kajian kelayakan dan rencana bisnis kereta cepat yang lengkap.
"Bersih dia. Seolah-olah kereta cepat ini merupakan keinginan BUMN sendiri," ujar pejabat tadi. Artinya, dia menambahkan, bila terjadi apa-apa dengan empat BUMN, Rini bisa bilang, "Kan, saya sudah minta BUMN mengkaji lagi".
Sampai Presiden Joko Widodo mencanangkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung pada 21 Januari lalu di Panglejar, acuan proyek masih menggunakan kajian kelayakan garapan Wijaya Karya. Kepada Tempo yang mewawancarainya Oktober tahun lalu, Rini mengatakan BUMN sendiri yang memprakarsai megaproyek kereta cepat. Peran dia cuma menjembatani keempat BUMN.
Awalnya, anggota konsorsium BUMN Indonesia berjumlah delapan. Kini tinggal Wijaya Karya, KAI, Jasa Marga, dan PTPN VIII. "Saya tidak akan memaksa BUMN mengerjakan apa yang tidak dapat mereka kerjakan," kata Rini ketika itu.
Kekhawatiran KAI soal potensi penumpang dibantah Harun Al Rasyid dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB). LAPI ITB mengkaji potensi penumpang kereta cepat atas order Wijaya Karya. Dia memperkirakan 40 persen pengguna semua jenis transportasi Jakarta-Bandung mau pindah ke kereta cepat.
Dari situlah keluar angka potensi penumpang kereta cepat 28 ribu per hari. Semula angka itu mencapai 61 ribu penumpang per hari dengan kalkulasi moderat. "Itu survei tahun 2015," ujarnya Rabu pekan lalu. Harun juga ikut menggarap studi kelayakan kereta cepat orderan Japan International Cooperation Agency sejak 2011.
Seorang pejabat BUMN mengatakan sebetulnya negara tak akan rugi. "Cuma urusan kantong kanan dan kiri. Wika yang paling banyak mendapat pekerjaan," ujarnya. Sebanyak 93,4 persen dari total biaya proyek US$ 5,585 miliar, atau US$ 5,2 miliar, akan habis untuk biaya infrastruktur.
Prasarana itu meliputi pekerjaan sipil, rel, sistem komunikasi, persinyalan, power, dan pembangunan stasiun. Wijaya Karya-lah yang bakal mengerjakan itu. "Wika sudah mendapat duit sebagai kontraktor. Mau kereta jalan atau mangkrak, masa bodoh." Cerita akan lain bagi KAI, Jasa Marga, dan PTPN VIII, yang hanya mengandalkan pendapatan dari pemanfaatan lahan dan operasi kereta cepat.
Bintang Perbowo menyangkal anggapan bahwa cuma perusahaannya yang akan diuntungkan. PTPN VIII disebut bisa untung dengan pemanfaatan lahan Walini di Panglejar, sementara Jasa Marga bisa mengurangi kepadatan jalan tol dengan hadirnya kereta cepat. Sedangkan KAI tetap bisa menangguk penghasilan dari pemanfaatan lahan untuk KCIC di Bandung. "Lihatlah secara bisnis," katanya.
Rini Soemarno tidak menjawab permohonan wawancara Tempo soal ini. Anggota staf khusus Rini, Sahala Lumban Gaol, mengatakan surat Rini kepada empat BUMN itu wajar saja. Ditemui di kantornya, Jumat pekan lalu, Sahala juga mengakui Rini yang memerintahkan keempat BUMN itu berkongsi. "Tapi tak selalu manajemen harus melaksanakan perintah pemegang saham. Nyatanya mereka berempat sepakat."
Khairul Anam, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo