Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah kekurangan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis menjadi peluang bisnis sekaligus aksi sosial pada masa pandemi Covid-19. Beberapa orang muda di Bandung, Jawa Barat, tergerak membuat beragam baju pelindung medis untuk dijual dan sebagian hasilnya didonasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya Ekki Veby Krismawan, 25 tahun. “Hasil penjualan APD bisa dipakai untuk subsidi silang,” kata dia, pekan lalu.
Sehari-harinya Ekki bekerja sebagai anggota staf Tata Usaha Puskesmas Cimaung, Bandung. Warga Cangkuang itu merasakan betul masalah di lapangan. Untuk membendung risiko infeksi ketika bekerja, petugas medis dan staf puskesmas memerlukan APD yang mumpuni. Ironisnya, pada masa awal pandemi Maret lalu, APD menjadi barang langka karena dibutuhkan banyak pihak.
Ide membuat pakaian hazmat dan pelindung wajah (face shield) muncul saat Ekki mendatangi rumah sakit swasta di Bandung untuk berobat. Saat itu, dia sulit berdiri dan berjalan setelah mendaki Gunung Sumbing, Maret lalu. Sambil menunggu antrean, dia melihat penawaran dan permintaan APD berseliweran di grup WhatsApp.
Ekki lantas tertarik membuat APD. Ia pun iseng membuat iklan di marketplace. Tak disangka, baru semenit membuat iklan, sudah ada permintaan 12 lusin alat pelindung di Bukalapak. “Padahal barangnya juga belum ada, baru iklan,” kata dia.
Pulang dari rumah sakit, Ekki mencari bahan baku untuk membuat APD. Berdasarkan hasil survei ke beberapa toko, banyak yang menggunakan bahan jenis spunbond. Namun bahan jenis itu dianggap kurang layak karena tidak nyaman dipakai dan hanya bisa dipakai sekali. Karena berpotensi menambah limbah, Ekki memilih bahan poliester. “Jadi, bisa dicuci dan dipakai ulang,” ujar dia.
Untuk bahan anti-air sebagai penangkis droplet, Ekki menggunakan bahan yang biasa digunakan untuk jaket, tenda kemah, atau hammock. Ekki banyak tahu soal itu karena ia punya pekerjaan sampingan sebagai pengusaha alat kegiatan luar ruangan berlabel Explore Store Project. Bisnis yang dirintisnya sejak 2015 itu hanya bermodalkan duit Rp 100 ribu. Barang pertama yang ia produksi kala itu ialah hammock.
Selama masa pandemi, produksi perlengkapan outdoor menurun. Namun Ekki malah menambah jumlah pekerjanya untuk membuat APD. Dari semula hanya 13-15 orang, kini menjadi 50 orang. Pasokan bahan pun jadi dua kali lipat. Bentuk pelindung yang dibuat berjenis gaun, jumpsuit, jas laboratorium, serta pakaian hazmat dengan tingkat anti-air 80 persen dan 100 persen.
Produksi APD milik Ekki per bulan berkisar 4.000-5.500 potong. Tiap ada pesanan 1.000 potong, Ekki mendonasikan 50 unit secara gratis. Sebanyak 1.300 potong alat pelindung dibagikan cuma-cuma, terutama untuk kalangan tenaga medis di rumah sakit dan puskesmas. Fasilitas kesehatan yang mendapat donasi tersebar dari Jabodetabek, Bandung, hingga Indonesia Timur.
Ekki mengakui produk APD buatannya belum disertifikasi. Saat ini dia berupaya mendapatkan sertifikasi sambil menyempurnakan jahitannya agar lebih tertutup dengan teknik khusus. Kelebihan APD produksinya adalah bisa dipakai dan dicuci ulang seperti baju biasa. “Atau disemprotkan disinfektan. Begitu kering, langsung disetrika,” ujar dia.
Ekki sempat mendapat tawaran untuk mengekspor ke Cina. Tapi dia menolak tawaran menggiurkan itu karena ingin usahanya memiliki dampak ekonomi dan sosial di lingkungan sekitar. “Niatnya hanya bantu produksi APD.”
Selama ini Ekki mengklaim tidak ada keluhan dan pertanyaan detail soal keamanan APD dari konsumennya. Hanya, dia kerap menghadapi kendala soal warna bahan dan harga kain yang tidak stabil. Sementara itu, Ekki ingin harga jual produksinya konsisten, berkisar Rp 120-145 ribu. Harga termahal adalah Rp 250 ribu untuk ukuran jumbo. “Sekarang mau diturunkan hingga 25 persen, hasil negosiasi dengan toko-toko kain dengan kualitas tetap terjamin,” kata dia.
Juru bicara sekaligus Sekretaris Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 Jawa Barat, Daud Achmad, mengatakan Jawa Barat menjadi provinsi yang mampu memproduksi alat kesehatan yang dibutuhkan pada masa pandemi Covid-19. Namun, Daud mengatakan, produksi alat kesehatan tidak bisa sembarangan. Ada standar yang harus dikejar. “Ada SNI, enggak bisa sembarang. Dan kalau alat kesehatan itu, termasuk APD, harus ada izin edarnya,” kata dia.
Daud mengatakan produksi APD untuk alat kesehatan juga punya standar tertentu. “Setahu saya, ada bahan-bahan tertentu. Ada yang bisa dipakai bukan untuk ruang isolasi, ada yang tidak. Enggak bisa asal,” kata dia.
ANWAR SISWADI | AHMAD FIKRI
11
11
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo