Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung perunggu setinggi 60 sentimeter memenuhi dua ruangan di kompleks Museum Semarajaya, Klungkung. Masingmasing berukuran 6 x 8 meter, patungpatung itu menggambarkan gerak penari yang penuh kelenturan dan keluwesan, juga mantap dan bertenaga. Ada juga yang menunjukkan figur wanita Bali tanpa busana dalam proporsi yang menawan.
Dinding ruangan dipenuhi lukisan dengan obyek kehidupan sehari-hari di pasar dan pedesaan Bali. Perempuan bertelanjang dada dengan kesan yang sangat natural menjadi obyek yang gampang ditemui. Sketsa tentang barong, penari Bali, dan berbagai obyek tradisional lainnya memperkaya koleksi di museum itu. Teknik yang digunakan sangat beragam, mulai dari cat air, cat minyak, hingga penggunaan arang.
Yang mengganggu adalah cahaya di ruangan itu, yang sangat tidak memadai. Padahal baru dua pekan lalu pemerintah Italia merenovasi ruangan dengan memasang lampulampu sorot layaknya di museum seni rupa. Ada sebabnya. ”Daya listriknya kurang memadai. Kalau dihidupkan, seluruh area museum akan mati listrik. Kami baru minta kenaikan dayanya ke PLN,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Klungkung Nengah Wijana, yang kantornya persis bersebelahan dengan ruangan itu.
Patung serta lukisan itu semuanya karya seniman Italia, Emilio Ambron, yang tinggal di Bali pada 19381942. Dia menyumbangkannya, sebagai bagian dari program sister city antara Klungkung dan Kota Florence, Italia. Peneliti budaya Bali asal Italia, Idanna Pucci, yang menjadi inisiator pengiriman karya Ambron itu pada 1996. ”Dia tertarik karena Klungkung memiliki sejarah kesenian yang mirip dengan Florence,” kata Idanna, yang mendampingi Ambron pada akhir hayatnya.
Meski hanya tinggal selama empat tahun di pulau ini, Ambron mengaku semua karyanya diilhami oleh Bali. Dia sempat tinggal di Kamboja dan Filipina sebelum menetap di Florence. Tapi, setiap kali melukis, dia akan membuka kembali album fotonya mengenai kehidupan masyarakat Bali.
Lukisan Ambron, menurut Idanna, sangat terikat pada teknik palet gaya seni klasik, yang menghadirkan lukisan seperti berasal dari alam mimpi. Belakangan dia tertarik menafsirkan ekspresi tubuh, baik dalam keadaan diam maupun saat bergerak. Hampir semua karyanya menegaskan garis dan bentuk yang diletakkan dalam cahaya yang tenang. Pendekatan ini menghasilkan satu keharmonisan yang klasik dalam penampilannya. Pada usia 65 tahun, Ambron beralih ke seni patung. Ia berusaha mewujudkan sketsket penari Bali yang dibuatnya 40 tahun silam dalam media perunggu dan marmer carrara putih.
Lahir di Roma, 17 November 1905, Ambron mulai mengenal Bali ketika menyaksikan satu pameran lukisan dari Batuan, Bali, di salah satu galeri di Champs Elysees, kawasan di Paris yang dianggap sebagai salah satu tempat paling menawan di dunia. Waktu itu Oktober 1938. ”Semua lukisan itu laksana napas hangat yang mengembus dari Asia,” ujarnya suatu kali kepada Idanna ketika menceritakan kembali perasaannya saat itu.
Pada Desember 1938, Ambron berlayar dari Marseilles mengelilingi Jawa dan berencana untuk bepergian dalam satu bulan. Tapi, karena ada perang, petualangannya berlangsung selama tujuh tahun, yang kemudian membawanya terdampar di Bali. Di sini dia bertemu dengan seniman asing lainnya, seperti Walter Spies, Willem G. Hofker, Rudolf Bonnet, dan teman baiknya, pelukis dari Belgia, Adrien Jean Le Majeur. Majeur kemudian membantu Ambron mendapatkan satu tempat tinggal yang tenang di Sanur. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Ambron meninggalkan Bali bersama seorang seniman Italia, Romualdo Locatelli.
Mereka pergi ke Filipina, tempat mereka akhirnya berpisah. Ambron melanjutkan pelayarannya ke Cina terus ke Hanoi dan kemudian ke Vientiane. Dia akhirnya tiba di Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Selama tiga tahun ia bersembunyi di Kamboja, tepatnya di Siemreap, lingkungan yang berdekatan dengan monumen peninggalan Khmer, Candi Angkor Wat. Di sini ia merasa aman untuk melukis sementara perang semakin meluas di Asia Tenggara. Dia kemudian berhasil kembali ke Florence.
Setelah perang, Ambron sempat beberapa kali berkunjung ke Bali. Terakhir kali dia datang pada 1994. Selama masa itu, dia banyak menyumbangkan lukisan ke sejumlah museum. ”Dia berasal dari keluarga yang sangat kaya sehingga tidak perlu menjual lukisan,” kata Idanna. Karya Ambron dapat ditemukan di sejumlah tempat, antara lain di Museum Uffizi, Florence, Museum di Republik San Marino, Museum Nasional Cracow di Polandia, dan yayasan Cardinal Lercaro di Bologna, Italia.
Pengamat seni Jean Couteau menilai karya Ambron mewakili tradisi seni klasik masa renaisans, yang menonjolkan garis dan kontur warna. ”Tipikal seniman akademis yang sangat rapi memperhitungkan ruang dan anatomi tubuh manusia,” ujar pria asal Prancis yang menjadi dosen tamu di Institut Seni Indonesia Denpasar itu. Pada Ambron, warna yang halus menjadi ciri khusus dan membuat lukisan enak dipandang.
Sebagaimana perupa Eropa lainnya yang datang di Bali pada masa itu, obyek perempuan Bali menjadi sangat menarik bagi mereka. Latar belakangnya adalah situasi pada masa itu di Eropa, ketika tubuh perempuan sangat ditutupi dan dimaknai sebagai sumber malapetaka. Ini berkebalikan dengan kondisi Bali, yang menganggap ketelanjangan sebagai hal yang wajar dan natural dan bisa dilihat dalam kegiatan seharihari.
Para seniman itu menjadi sangat terpesona lebih dari sekadar karena sensasi sensualitasnya. Pada Ambron, ekspresi dari kekaguman itu hanya muncul samarsamar karena gaya lukisan yang cenderung sopan dan manis. Konteks yang lain selalu membungkus pesona keindahan tubuh perempuan. Ini berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh pelukis lain seperti Antonio Blanco dan Le Majeur, yang benarbenar mengeksplorasi daya tarik fisik wanita.
Sayangnya, Wijana, yang seharihari menjadi ”penunggu” museum itu, mengakui tak sepenuhnya paham lukisan Ambron. Tugas dia sekadar menjaga agar lukisan itu tetap berada di tempatnya. Bahkan, untuk perawatan dan renovasi, menurut dia, pemerintah Italialah yang berkewajiban. ”Kami sekadar memberikan tempat di sini dan tidak punya anggaran untuk itu,” ujarnya, mengenai museum yang berada di kompleks Kertagosa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo