Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunti bermimpi tentang Pandu, suaminya, dan Madrim, madunya: mereka berdua berada di dalam bejana tembaga berkepala sapi di neraka yang dikuasai oleh Batara Yama. Karena mimpi inilah Bima, satu dari lima putra Pandu, bertekad membebaskan mereka. Di perjalanan untuk misi itu dia melihat aneka akibat perbuatan manusia saat berada di dunia dari sanksi lidah terpotong bagi orang yang suka mencemooh hingga hukuman bagi para penghobi perselingkuhan. Seluruhnya menggambarkan ajaran tentang hukum karmapala.
Adegan demi adegan dari kisah Bimaswarga itu diabadikan dalam lukisan wayang dari Desa Kamasan. Turuntemurun sejak abad ke16 pada masa jaya Kerajaan Klungkung, karya para seniman yang tinggal 5 kilometer arah selatan dari pusat kota itu menghiasi langitlangit Kertagosa. Ini merupakan bagian dari kompleks Keraton Semarapura yang tersisa ketika tentara kolonial Belanda menghancurkan istana raja pada peristiwa Puputan Klungkung, 28 April 1908. Ada dua bangunan. Yang satu Bale Kertagosa, tempat raja mengadili kasuskasus pelanggaran hukum. Satunya lagi adalah Bale Kambang di tengah kolam air, yang menjadi tempat upacara metandes (potong gigi) bagi putraputri raja.
Di Bale Kertagosa terdapat lukisan berseri terdiri atas 144 bagian yang dikelompokkan dalam enam tingkatan. Mulai dari kisahkisah Tantri atau cerita tentang kehidupan binatang di deret terbawah, berlanjut ke cerita Bimaswarga dan Swargarakanaparwa. Di atasnya adalah lukisan wayang dari kisah Bagawan Kasyapa. Sedangkan deret keempat mengurai kisah Palalindon, yang melambangkan makna gempa bumi secara mitologis. Lanjutan lakon Bimaswarga muncul pada deretan kelima, yang letaknya sudah hampir pada kerucut bangunan, dan berpuncak pada kisah tentang kehidupan di nirwana. "Lukisan di Bale Kambang berasal dari Kakawin Ramayana dan Sutasoma," kata pelukis senior Kamasan, Nyoman Mandra, 65 tahun.
Setelah bertahuntahun digempur cuaca di ruang terbuka serta polusi asap kendaraan karena letaknya yang berdekatan dengan jalan raya, lukisanlukisan itu bakal kembali turun panggung. Kondisinya lusuh, kehilangan warna, bahkan jebol di beberapa bagian. Penggunaan asbes, sebagai media yang tidak sempurna menyerap cat, mendorong kerusakan yang lebih cepat sejak restorasi total pada 1960. Hal inilah yang membuat pemerintah Italia tertarik membiayai restorasi ulang mulai tahun ini bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung, dengan melibatkan Bali Purnati Foundation dan Italian Institute of Culture.
Restorasi bukan sekadar memperbaiki bagian lukisan yang telah rusak sebagaimana pengertian dalam tradisi Eropa. Tapi yang akan dilakukan adalah penggantian semua lukisan dengan karya baru yang sama persis dari segi tema, figur, dan warnanya. "Sebab pembuatan lukisan yang sama bisa terus mereka kerjakan," kata peneliti budaya Bali dari Italia, Idanna Pucci, yang menggagas upaya itu.
Rencananya, karya itu akan digarap oleh 22 seniman dari Desa Kamasan di bawah komando Mandra. Mereka adalah generasi keempat dari seniman yang pertama kali menggarap lukisan Kertagosa.
Upaya ini tak pelak disambut gembira para pelukis Kamasan. Untuk keperluan itu, sejak delapan bulan lalu mereka sudah mulai menyiapkan kanvas khusus, yang dibeli sendiri dari hasil penjualan lukisanlukisan karya mereka. Kanvas itu berupa kain putih double cotton yang lumayan tebal. Untuk menciptakan kesan tua, mereka membasuhnya dengan perasan bonggol pisang sehingga berwarna kecokelatan, yang kemudian dikeringkan dan disetrika. "Kami bersyukur bisa mengganti asbes, yang membuat lukisan jadi sangat buruk," ujar Mandra, yang terlibat dalam perbaikan lukisan pada 1981.
Penggarapan lukisan dengan medium asbes juga sangat berbahaya karena pelukisnya harus menghirup unsur kimia dalam bahan itu. "Setiap beberapa menit harus berhenti untuk mencari napas segar," katanya.
Media double cotton telah diuji di Italia untuk kelayakan dari segi keawetan dan kemampuan menyerap warna dari bahan alami. Mandra telah menyiapkan kain sepanjang 100 meter dengan lebar 80 sentimeter. Nantinya, lukisan akan ditempelkan pada kayu bengkirai yang sudah disiapkan sejak enam bulan lalu. Untuk teknik penempelannya, sejumlah eksperimen dilakukan dengan melibatkan pakar dari Florence yang telah lama menekuni keahlian itu. Mereka biasa menggarap pemasangan lukisan di gereja, rumah mewah, serta bangunan kuno.
Yang tak kalah rumit adalah penyiapan bahan warna yang semuanya berasal dari alam, yakni dari batu pere atau batu berwarna yang bisa ditemukan di sejumlah pantai. Semuanya ada lima warna: cokelat, hijau muda, kuning emas, kuning tua, dan merah tua. Warna biru diperoleh dari kristalisasi don taum (sejenis tanaman semak), untuk warna putih bersinar diperoleh dari tulang tanduk menjangan. "Kita pesan dari Sumbawa," kata Mandra. Untuk menjamin keawetan warna, lukisan nantinya akan disemprot dengan lapisan kaca.
Sementara itu, pendekatan spiritual juga dilakukan. Sesuai dengan tradisi, semua seniman telah dilibatkan dalam upacara pakeling (pemberitahuan) kepada penguasa alam gaib. Juga kepada para leluhur di alam baka agar memberikan jalan untuk kelancaran pengerjaan.
Restorasi diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun. Saat ini Mandra sudah mulai mengerjakan sket yang akan disempurnakan dan diwarnai oleh pelukis lain yang lebih muda dan sebagian besar adalah muridnya. "Mereka belum terbiasa membuat sket untuk lukisan yang cukup lebar," ujarnya. Mandra sudah berulang kali membuat lukisan di ruangan yang cukup lebar seperti 1.500 lembar lukisan di Hotel Inna Putri Bali dan ratusan lukisan untuk ornamen dinding ballroom Hotel Grand Bali Beach, Sanur.
Upaya itu memberikan gairah baru bagi para pelukis di Desa Kamasan. Maklum saja, sejak peristiwa bom Bali pada Oktober 2002, pengunjung yang datang dan membeli karya mereka menurun drastis. Gaya lukisan Kamasan juga sudah banyak ditiru dan diproduksi dengan harga yang jauh lebih murah, karena tidak menggunakan bahan natural, sehingga sekadar menjadi suvenir. Bagi mereka, proyek restorasi lukisan di Bale Kertagosa merupakan kesempatan untuk membuktikan keindahan karya yang akan diwariskan kepada anak cucu. "Ini bisa menjadi masterpiece terakhir saya," ujar Mandra.
Dukungan dari Kedutaan Besar Italia diberikan atas dasar hubungan sister city antara Florence dan Klungkung. Lagi pula, separuh dari seribuan residen tetap asal Italia tinggal di Bali. "Ini bisa jadi food for thoughts yang baik bagi mereka," kata Duta Besar Italia Roberto Palmieri kepada Tempo di Jakarta.
Idanna mengatakan, Klungkung dan Florence samasama memiliki karya seni monumental yang punya makna paralel: bangunan Kertagosa dengan lukisan Kamasannya di Klungkung serta seniman Dante dengan puisi panjang La Divina Commedia di Florence. "Keduanya bercerita tentang kehidupan setelah mati dan hukum karma," katanya. Kekayaan tradisi di Klungkung seperti terlihat pada produksi tekstil, kerajinan perak, dan lukisan Kamasan bisa juga ditemui di Florence. Florence juga terkenal dengan bangunan kuno serta lukisan klasik peninggalan maestro seperti Michelangelo dan Leonardo Da Vinci.
Program sister city diharapkan sebagai pembuka saling pengertian bagi kedua bangsa. Bagi Idanna, yang menulis buku khusus tentang Kertagosa berjudul Bima Swarga: The Balinese Journey of the Soul, lukisan Kertagosa merupakan pintu masuk yang tepat untuk mempelajari keseluruhan budaya Bali. Di situlah terdapat dasardasar seni klasik Bali yang terungkap dalam tarian, musik, serta pewayangan. Ia berharap ribuan turis yang berkunjung ke tempat itu setiap tahunnya, khususnya dari Italia, akan semakin tertarik memahami budaya Bali. "Sebagaimana puisi Dante menjadi bacaan wajib bagi semua pelajar sejak sekolah dasar di Italia," kata Idanna.
Kedekatan itu juga didukung oleh keberadaan sejumlah seniman Eropa yang pernah tinggal di Bali di masa lalu. Di antara mereka ada W.O.J. Nieuwenkamp, pelukis Eropa pertama yang datang di Bali pada 1920an dan membuat laporan mengenai tingginya kebudayaan Bali dari sisi seni musik dan tari. Garagara laporan yang bertentangan dengan sikap resmi pemerintah kolonial ini, Nieuwenkamp yang kelahiran Amsterdam dilarang memasuki wilayah Hindia Belanda. Selama hidupnya di Florence, dia mempromosikan kebudayaan Bali dan Jawa melalui karyakaryanya serta artefakartefak yang dibawanya dari Bali dan Jawa.
Maestro lainnya adalah Emilio Ambron, yang tinggal di Bali pada 19381942 setelah diundang oleh pelukis Adrien Jean Le Majeur. Karyanya dalam bentuk lukisan dan patung terinspirasi oleh kehidupan seharihari seperti suasana pasar dan daerah pedesaan. Ambron menyebarkan karyakarya itu ke museum terkemuka di seluruh dunia. Ada pula desainer populer Emilio Pucci, paman Idanna, yang mengangkat busana tradisional Bali dalam nuansa seni renaisans.
Bantuan berupa dana untuk restorasi itu sangat melegakan Pemerintah Daerah Klungkung. Kepala Dinas Kebudayaan Nengah Wijana mengatakan, mereka sudah lama ingin memperbaiki lukisan dan bangunan bersejarah itu. Tapi, "Terpaksa secara bertahap karena kurangnya anggaran kita," ujarnya. Awalnya, Italia hanya mau membantu untuk Bale Kertagosa. Pihaknya kemudian meminta seluruh kompleks bangunan bisa diperbaiki meski bertahap. Yang diharapkan, restorasi akan mengembalikan kejayaan Klungkung sebagai daerah tujuan wisata dengan puluhan ribu turis yang khusus datang mengunjungi Kertagosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo