Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang Haram Membeku

Pembekuan darah biasa diabaikan, padahal berakibat fatal. Selain pada pasien pascaoperasi, orang yang banyak bepergian jarak panjang lebih berisiko terkena pembekuan darah.

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang hidupnya, Tetty Siregar rajin berolahraga. Perempuan 65 tahun ini bahkan pernah menjadi pelatih senam Indonesia Sehat selama dua dekade. Tapi siapa sangka, ketika usianya mendekati separuh abad, lu­tutnya mulai ”bertingkah”.

Awalnya lutut kanan Tetty terasa senatsenut dan ngilu. Lamalama demikian nyeri sehingga ia tak bisa tidur sebelum dipijat. Sakitnya akan reda bila meminum obat resep dokter, namun kambuh lagi begitu obat habis. Begitu seterusnya hingga ia menyerah pada anjuran dokter agar menempuh operasi penggantian sendi lutut. Setelah menjalani terapi intensif, kini hampir satu tahun setelah operasi dilakukan pada Juli 2008—lututnya membaik. ”Memang terasa agak kaku, tapi setidaknya tidak nyeri lagi,” kata dia.

Namun ada satu pengalaman yang diingatnya hanya beberapa jam setelah operasi. Tubuhnya disuntik sejumlah obat, antara lain antibiotik dan obat antikoagulan (pencegah pembekuan darah). Menurut Andri Lubis, spesialis ortopedi yang mengoperasi Tetty, pemberian antikoagulan itu dilakukan demi menghindari risiko pengentalan darah.

Menurut Karmel L. Tambunan, pa­kar hematologi yang juga Ketua Perhimpunan Thrombosis Hemostasis Indonesia, pemberian obat antikoagulan sudah hampir menjadi prosedur standar dalam operasi besar seperti orto­pedi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2004, Karmel mendapati 9 dari 13 pasien yang menjalani operasi sendi lutut maupun sendi pinggul positif mengalami pembekuan darah pada vena dalam. Yang menarik, menurut Karmel, dari kesembilan orang tersebut, hanya dua yang mengeluh nyeri kaki, termasuk pembengkakan tungkai pascaoperasi—merupakan gejala pembekuan darah. Sisanya tidak. Alhasil, hanya dua orang tersebut yang kooperatif menjalani pengobatan.

Tujuh orang lain bisa jadi tak merasakan ada gejala. Mayoritas penderita memang cenderung mengabaikan gejala terjadinya pembekuan darah, karena tidak tahu atau tidak dianggap berbahaya. Padahal risiko di kemudian hari sama besar. ”Yang seperti ini bisa mendadak terjadi emboli (penyumbatan) paru, sesak napas sebentar, dan mening­gal,” kata Karmel mengenai penelitian yang akan diungkapkan dalam jurnal Universitas Indonesia tahun ini.

Dalam pemahaman medis, timbulnya bekuan di dalam pembuluh darah disebut trombus. Sedangkan proses pembekuan darah disebut trombosis. Proses ini bisa berakibat fatal karena menghambat jalan darah. Selain itu, sebagian bekuan bisa pecah, mengalir ke tempat lain dan kemudian menghentikan suplai darah bagi organ tubuh. Inilah yang sering disebut sebagai blood clot atau clotting.

Vena adalah pembuluh yang bertugas mengantarkan nutrisi, oksigen, dan elektrolit kembali ke jantung. Bila ada bekuan darah di vena dalam, yang lazimnya terjadi di kaki dan disebut deep vein thrombosis (DVT), gejala yang timbul antara lain tungkai memerah, membengkak, atau nyeri. Pembekuan darah yang menghambat pembuluh disebut venous thromboembolism (VTE).

Yang berbahaya adalah bila bekuan darah itu kemudian menghambat pembuluh arteri dari jantung ke paruparu. Inilah yang disebut pulmonary embolism (PE), yakni ketika ada bekuan darah yang pecah hinggap di paruparu. Gejalanya antara lain nyeri dada yang menusuk tajam, sesak napas, dan batuk darah. Kondisi inilah yang bisa ber­ujung pada kematian.

Menurut Jumhana Atmakusumah, ahli hematologi dan Sekretaris Perhimpunan Thrombosis Hemostasis, pembekuan darah bisa terjadi pada mereka yang terbatas ruang geraknya, seperti bila kita menumpang penerbangan jarak jauh, yang sering disebut economy class syndrome. Menurut penelitian yang dilansir di jurnal Annals of Internal Medicines, awal Juli ini, risiko terkena pembekuan darah bagi orang yang sering bepergian jarak jauh di atas delapan jam lebih tinggi ketimbang yang tidak melakukan perjalanan seperti itu. Apalagi orang yang bepergian tersebut pernah menjalani operasi besar, mengidap kanker, sedang mengkonsumsi pil pengontrol kehamilan.

Menurut Jumhana, pasien pascaope­rasi besar sebisa mungkin berusaha bergerak. Begitu juga bila seseorang sedang menempuh perjalanan jauh, sebaiknya tetap menggerakkan kaki, dan banyak minum air putih. Sedangkan bagi penderita kanker dan yang sedang mengkonsumsi pil kontrol kehamilan, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sebelum bepergian jauh.

Dalam kasus operasi ortopedi seperti penggantian sendi lutut atau pinggul, pembekuan darah lazim terjadi akibat waktu operasi yang terbilang lama dan rusaknya pembuluh vena akibat operasi. Di luar ortopedi, situasi ini juga bisa terjadi pada operasi pengangkatan tumor atau kanker di perut, misalnya. Faktor lain yang bisa menambah risiko adalah usia lanjut dan obesitas. Pada orang yang berusia lanjut, kondisi tulang rawan sudah rapuh. Pada orang dengan obesitas, tulang rawan di lutut maupun panggul memanggul beban ekstra.

Penelitian yang dikutip Bayer Schering Pharma atas 68 ribu orang pasien di tiga ratusan rumah sakit di 32 negara mengungkapkan, risiko terbesar pembekuan darah pada pembuluh vena terjadi sangat tinggi. Satu dari dua orang pasien rawat inap di rumah sakit bisa mengalami pembekuan darah, dengan persentase terbesar terjadi pada pasien pascaoperasi. Penelitian lain yang melibatkan 2.420 orang pasien di Asia Pasifik menyebutkan, angka kematian mendadak pada penderita pembekuan darah pada pembuluh vena mencapai 1,2 hingga 1,5 persen.

Beberapa cara yang bisa dilakukan demi mencegah terjadinya deep vein thrombosis pascaoperasi adalah memberikan obat antikoagulan kepada pasien segera setelah operasi. Obat ini akan membuat darah lebih encer, sehingga menghindari terjadinya pembekuan darah. Selain itu, obat ini bisa mencegah bekuan lama menjadi lebih besar. Obat antikoagulan bisa diberikan dalam bentuk suntik bawah kulit, atau yang terbaru adalah secara oral. Obat antikoagulan ini sudah tentu memiliki risiko tersendiri, yakni perdarahan. Namun, menurut Karmel, hal ini jarang terjadi asal dosis penggunaannya dicermati dengan baik.

Ditambahkannya, perusaha­an asuransi di Amerika Serikat kini sudah mu­lai mewajibkan penggunaan obat antikoagulan sebagai pencegahan. Nilainya lebih ekonomis dibanding ketika di kemudian hari setelah operasi terjadi pembekuan darah yang lebih serius. Selain itu, obat antikoagulan sudah banyak diproduksi sehingga muncul dalam banyak generasi. ”Ada yang untuk sepuluh hari kirakira harganya Rp 2,4 juta,” kata Karmel.

Di luar obat, Andri Lubis menyebutkan, penggunaan stocking compression atau sepatu intermittent pneumatic compression, yang memperbaiki sirkulasi dan mencegah pembekuan darah, akan membantu dengan mempercepat peredaran darah di vena kaki. Dan yang utama, setelah operasi pasien harus diupayakan segera bergerak. ”Jangan tidur melulu,” katanya.

Kurie Suditomo (Wupenthal)

  • Pembuluh arteri yang terdapat pada paru.
  • Gumpalan besar
  • Pembuluh vena yang terdapat pada paru.
  • Gumpalan kecil
  • Gumpalan darah dapat mengalir ke paru-paru dan berakibat fatal.
  • Pembekuan darah di saluran vena.
  • Aliran darah normal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus