MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Medan yang dipimpin Ismail Sebayang, S.H., menunda untuk kesekian kalinya sidang yang semestinya mengadili pertengkaran ayah dan anak, pertengahan Maret lalu. Entah kapan sidang itu akan dilanjutkan. Yang jelas, perkara ini sudah masuk pengadilan sejak Februari 1981. Kisah pertengkaran itu cukup panjang. Boy Hong Kie, 65, pendiri wisma pangkas Lo Moi, di Medan, menyerahkan usahanya itu kepada anaknya nomor empat, Arsyad Boy, tahun 1978. Sebagai pendiri, sang ayah menerima uang jasa Rp 20.000 sebulan. Sejak November 1980, uang jasa itu dihentikan Arsyad. "Ayah telah membelot ke tempat lain," kata Arsyad memberi alasan. Tempat lain yang dimaksud, usaha sejenis milik Arwan Boy, kakak sulung Arsyad. Tentu saja Hong Kie jadi uring-uringan. la menteror pegawai Lo Moi. Orangtua ini mengancam sudah menyebarkan 50 orang upahan untuk mengeroyok anak kandungnya itu. Dan yang juga disebarkan adalah selebaran yang berbunyi, "Arsyad anak durhaka." Hong Kie juga memasang iklan di harian Bukit Barisan dan Arialisa, terbitan Medan. Pada iklan itu tertulis nama Arsyad sebagai anak durhaka dan kualat. "Jasa ayah dianggap kosong, sikapnya sombong dan sok, berani menyakiti hati ayahnya," kata Hong Kie lewat iklan. Panas hati orangtua ini tampaknya tetap dipelihara bertahun-tahun. Oktober 1981, orangtua itu menulis surat pernyataan yang berjudul "Kabar Dukacita". Ia memutuskan hubungan dengan anaknya. "Apabila saya wafat lebih dahulu atau Arsyad yang terlebih dahulu dari saya, di antara kami tidak akan lihat-melihat," tulis pernyataan yang disebarluaskan itu. Surat pernyataan itu diakhiri dengan kalimat seram: "Semoga Tuhan menurunkan kutukan-Nya kepada Arsyad yang telah durhaka terhadap saya, ayah kandungnya, baik merupakan kutukan di atas dunia maupun pada hari pembalasan nantinya." Pernyataan keras ini dikeluarkan karena Arsyad membalas selebaran ayahnya dengan mengadukan gugatan ke pengadilan. Tertundanya sidang di pengadilan itu karena Arsyad adalah saksi utama yang mengadukan. Anak ini tampaknya sama nyentriknya dengan sang ayah. Sesekali ia teringat mengirimi ayahnya uang. Sang ayah menerima uang itu sambil melepaskan emblem (semacam simbol dari pelat besi) yang biasa dipasang di kerah baju. Kalau tidak dikirimi uang, emblem itu selalu dipasangnya. Pada emblem itu tertulis: "Arsyad anak durhaka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini