Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Epidemiolog mengkritik rencana pemerintah melonggarkan PPKM darurat.
Upaya deteksi Covid-19 dan pelacakan Covid-19 belum memadai, sehingga dianggap belum menggambarkan situasi pandemi secara akurat.
Organisasi perawat tetap menghendaki perpanjangan PPKM darurat untuk mengurangi beban tenaga kesehatan karena lonjakan penularan virus.
JAKARTA – Rencana pemerintah memperlonggar intensitas pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat dianggap membahayakan. Keputusan itu bisa memperparah penularan Covid-19, terutama saat pemeriksaan dan pelacakan kasus masih rendah seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, berpendapat bahwa pemerintah semestinya tak menurunkan derajat pembatasan saat angka deteksi Covid-19 masih jauh dari memadai. Sebab, penelusuran kasus yang rendah tak mampu menggambarkan kondisi penularan virus sesungguhnya di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai saat ini, capaian tertinggi pengetesan Covid-19 di Tanah Air hanya 258 ribu spesimen per hari. Angka ini sangat rendah dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan di India yang mencapai 4 juta spesimen per hari pada saat mereka menghadapi ledakan wabah pada April lalu. "Kita harus belajar dari kesalahan selama ini. Jangan salah membaca data. Berbahaya," kata Dicky, kemarin.
Ia menilai pemerintah tak pernah konsisten dalam menerapkan pembatasan masyarakat. Apalagi aturan restriksi mobilitas ini tak dibarengi dengan upaya pelacakan kasus, sehingga pemerintah tak pernah mengetahui secara akurat situasi penularan virus di lapangan. “Akibatnya, ketika pengetatan dicabut, virus kembali menular berlipat-lipat tanpa diketahui,” kata Dicky.
Dia mempertanyakan indikator pemerintah, sehingga memiliki rencana melonggarkan pembatasan. "Kita ini lebih cepat longgarnya ketimbang pembatasannya," ujarnya.
Dicky menilai penggunaan angka keterisian rumah sakit maupun jumlah kasus sebagai indikator untuk memutuskan pengurangan intensitas pembatasan sangat menyesatkan. Sebab, selama ini warga Indonesia sangat sedikit yang berobat ke fasilitas kesehatan. Dia memperkirakan sekitar 85 persen orang mengobati keluhan tanpa pengawasan dokter. Angka ini kemungkinan lebih besar pada masa pandemi karena stigma negatif terhadap pasien Covid-19 dan kolapsnya fasilitas kesehatan.
Menurut Dicky, ketika pemerintah melonggarkan pembatasan, kurva penularan semakin sulit melandai. Sebaliknya, penurunan kadar limitasi akan berisiko membuat sistem kesehatan ambruk. Akibatnya, orang yang meninggal akibat Covid-19 di luar rumah sakit akan semakin banyak. "Efek dominonya akan semakin hebat," kata dia.
Luhut Binsar Pandjaitan. maritim.go.id
Dua hari lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi sekaligus koordinator PPKM darurat di Jawa dan Bali, mengklaim bahwa situasi membaik. Kesimpulan Luhut ini mengacu pada tingkat keterisian rumah sakit rujukan atau bed occupancy rate (BOR) yang mulai menurun.
Variabel lain yang menjadi pertimbangan Luhut adalah tren pergerakan masyarakat berdasarkan indikator Google Mobility, Facebook Traffic, dan indeks cahaya malam dari stasiun antariksa nasional Amerika Serikat (NASA). Data Google Mobility selama awal Juni hingga 14 Juli lalu menunjukkan penurunan mobilitas nasional paling tinggi terjadi di tempat kerja dan transportasi umum. Namun tren mobilitas masyarakat justru naik 14 persen di area permukiman.
"Kami lihat ada beberapa daerah yang menunjukkan penurunan mobilitas dan aktivitas masyarakatnya. Sudah cukup baik dan penambahan kasusnya sudah flattening dan menurun," kata Luhut.
Menurut dia, pemerintah akan terus mengevaluasi situasi pandemi untuk menakar kemungkinan perpanjangan PPKM darurat setelah 20 Juli mendatang. Ia pun menyinggung rencana pelonggaran intensitas pembatasan jika situasi Covid-19 terus membaik.
Luhut sudah membicarakan rencana relaksasi ini bersama pemerintah daerah. Koordinator Bidang Penegakan Hukum Satgas Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta, Noviar Rahmad, mengatakan rapat koordinasi bersama pemerintah daerah dan Menteri Luhut pada Sabtu lalu turut membahas rencana pemerintah mengubah status PPKM darurat di Jawa dan Bali menjadi PPKM diperketat.
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2021, derajat pembatasan dalam PPKM diperketat lebih rendah dibanding PPKM darurat. Misalnya PPKM diperketat membolehkan pusat belanja dibuka sampai pukul 17.00. Restoran juga dapat menyediakan fasilitas makan di tempat, maksimal 25 persen dari kapasitas.
Klaim Luhut tersebut berbanding terbalik dengan keadaan di lapangan. Dalam dua hari terakhir, laju penularan Covid-19 masih sangat tinggi. Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan kemarin, kasus konfirmasi Covid-19 mencapai 44.721 orang. Angka ini turun 6.000 orang dibandingkan dua hari lalu yang mencapai 51.952 orang. Namun, dalam periode yang sama, jumlah pemeriksaan spesimen juga menurun, dari 151 ribu menjadi 125 ribu. Di sisi lain, kasus kematian terus naik—kemarin sebanyak 1.093 orang. Angka fatalitas ini termasuk yang tertinggi di dunia.
Rasio positivity harian—penambahan kasus positif dibagi jumlah orang diperiksa lalu dikali seratus—juga naik 4 persen dalam dua hari terakhir, yakni dari 27,5 persen menjadi 32,4 persen. Positivity rate ini menggambarkan penularan Covid-19 yang belum terkendali. Ahli pandemi menyepakati bahwa penyebaran wabah baru dapat dikatakan terkendali jika positivity rate di bawah 10 persen.
Lembaga advokasi penanganan wabah, KawalCovid19, mencatat bahwa rasio positivity Indonesia dalam periode mingguan tak pernah menurun sejak akhir Mei lalu. Padahal, pada awal Mei, penambahan kasus masih di angka 20 ribu orang per hari dibanding saat ini yang naik lebih dari dua kali lipat.
Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan, angka keterisian rumah sakit di Ibu Kota pada periode 2 Juli hingga 17 Juli memang menurun dari 91,50 persen menjadi 85,92 persen. Namun berbagai kalangan menilai penurunan BOR ini terjadi karena pemerintah membuat sejumlah tempat perawatan pasien, sehingga beban rumah sakit berkurang serta banyak orang yang terpaksa memilih isolasi mandiri.
Fakta lain, rasio kasus Covid-19 per seratus ribu penduduk di Ibu Kota mengalami kenaikan pada periode yang sama. Padahal jumlah pelacakan kasus selama periode tersebut turun dari 1,99 orang menjadi 1,15 orang per kasus positif.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menjawab diplomatis saat dimintai konfirmasi mengenai rencana pemerintah melonggarkan pembatasan masyarakat. Ia mengatakan pemerintah akan menyesuaikan keputusan pembatasan berdasarkan respons masyarakat. "Dan perbaikan sistem pengendalian Covid-19," kata Wiku.
Kepala Laboratorium Krisis dan Intervensi Sosial Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, meminta pemerintah melanjutkan keputusan pembatasan darurat disertai pengucuran bantuan sosial yang memadai. Dua kebijakan tersebut harus berjalan beriringan agar menjadi penolong bagi kelompok yang rentan terkena dampak pandemi dan pembatasan. Ia berpendapat bahwa masyarakat di berbagai daerah mulai marah terhadap keputusan pembatasan darurat karena bantuan sosial tak kunjung mengucur.
"Anggaran untuk kedua hal ini harus besar. Kalau dana pemerintah tak cukup, pemerintah bisa mengandalkan para pengusaha besar untuk gotong royong," kata dia.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah juga mendukung opsi perpanjangan PPKM darurat karena jumlah kasus masih tinggi—kemarin sebanyak 542 ribu. Ia mengatakan penularan Covid-19 harus segera diredam melalui pembatasan mobilitas untuk mengurangi beban tenaga kesehatan yang sudah melampaui batas.
ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo