Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selain membuat wayang, Danar Dwi Putra membuat film animasi wayang.
Danar ingin mempopulerkan wayang ke dunia digital.
Abdul Latief membantu kelompok dalang memiliki keahlian multimedia.
Danar Dwi Putra tengah menyulap tokoh wayang gedog Panji Asmarabangun dengan wajah anime, hari itu. Pria berusia 32 tahun itu membuat film animasi bertemakan wayang yang akan diluncurkan di saluran YouTube Danar Studio Melati. Karyanya diberi judul Garuda Atmaja, yang artinya anak Garuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danar sebetulnya berprofesi sebagai perajin wayang kulit. Warga Jalan Plampitan XI, Surabaya, itu beralih profesi menjadi ilustrator komik anime. Gagasan membikin konten animasi wayang muncul akhir tahun lalu. “Beberapa bulan terakhir ini, saya berfokus pada proyek pribadi membuat anime sederhana untuk di-upload di YouTube. Jadi, untuk pembuatan wayang kulit sementara off dulu,” kata Danar kepada Tempo, Rabu, 2 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danar Dwi Putra, perajin wayang kulit asal Surabaya. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Sebagai ilustrator, Danar tetap membawa falsafah pewayangan di dalam ceritanya. Misalnya, tindak angkara murka pada akhirnya akan dikalahkan budi luhur. Meski tak sama persis, kostum tokoh-tokoh dalam anime ia ciptakan seperti dandanan penari wayang orang. Aktivitasnya itu tentu akan makin mempopulerkan wayang ke dunia digital. “Animenya seperti apa, nanti tinggal nonton saja kalau sudah diunggah di YouTube,” ujarnya sambil tertawa.
Empat tahun terakhir, Danar larut dalam pembuatan wayang ketimbang menggambar. Ia berkarya di rumahnya yang sekaligus galeri pribadi. Danar pun terbuka, proses kreatifnya bisa dilihat banyak orang. Bahkan bila ada yang berminat belajar membuat wayang, ia tak keberatan membimbing.
Danar memperoleh keahlian menggambar wayang di atas kulit kerbau, menatah, dan mewarnai secara autodidak bukan dari bangku pendidikan. Ia memang menggemari wayang sejak kanak-kanak. Bahkan, ia tak pernah absen menonton setiap pentas wayang kulit di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Dari hobi menonton wayang itu, ia pun mempelajari bentuk-bentuknya dan menuangkan imajinasi tentang sosok wayang ke lembaran kertas.
Danar Dwi Putra, perajin wayang kulit asal Surabaya. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Pada 2018, Danar mulai banyak membeli wayang kulit gagrak (gaya) Jawa Timuran dari seorang kolektor. Melihat wayang-wayang tersebut usang dan kusam, Danar tergerak untuk membuat ulang dari kulit kerbau yang baru. Begitu selesai, ia mengunggah karyanya itu ke media sosial. Tak disangka banyak yang tertarik mengoleksi.
Namun ia menegaskan bahwa dirinya bukan pedagang wayang, sehingga tidak mematok harga maupun melayani pesanan. “Jika ada yang tertarik mau beli, silakan datang ke rumah saya. Kita diskusi menentukan harganya, wong saya membuat wayang ini bukan karena uang,” ujar Danar.
Danar juga hanya membuat wayang gagrak Jawa Timuran atau sering disebut juga wayang jek dong. Bentuknya agak berbeda dengan wayang gaya Jawa Tengahan. Pada wayang Jawa Timuran—disebut juga wayang kidang kencana—ukurannya lebih kecil. Namun, dari segi pakem, tidak ada perbedaan dengan Jawa Tengahan. Sama-sama menggunakan babon cerita Ramayana dan Mahabarata.
Walau tidak seterkenal wayang gagrak Jawa Tengahan, Danar merasa menemukan keasyikan sendiri membuat wayang Jawa Timuran. Apalagi setelah menyadari bahwa wayang model itu makin terdesak oleh wayang bergaya Jawa Tengahan. “Nah, di sini saya tertantang untuk melestarikan wayang Jawa Timuran.”
Yayasan Pedalangan Wayang Sasak sedang latihan pertunjukan dengan wayang botol bersama pelajar SLBN 1 Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dok. Yayasan Pedalangan Wayang Sasak
Danar berjanji, kalau proyek animenya rampung, ia akan kembali menekuni hobi lamanya membuat wayang. Bahkan tidak hanya membuat wayang Jawa Timuran, tapi ia juga ingin membuat wayang gedog yang babon ceritanya berasal dari kitab panji berlatar Kerajaan Kediri, Daha, dan Panjalu. Terlebih ia baru membuat separuh pembuatan tokoh Panji Asmarabangun akhir tahun lalu. “Kalau proyek anime Garuda Atmaja ini selesai, saya akan menyelesaikan pembuatan Panji Asmarabangun, disusul tokoh-tokoh wayang gedog yang lain.”
Ia pun terobsesi menggelar pameran tunggal. Lewat ekshibisi itu, ia berharap dapat menghidupkan wayang versi Jawa Timuran dan wayang gedog. Danar bertekad tidak akan berhenti berkarya. “Saya ingin membuktikan bahwa kesenian ini layak untuk tetap hidup,” ujarnya.
Dalang wayang Jawa Timuran asal Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Tawar, membenarkan bahwa wayang jek dong memang kalah populer dibanding wayang Jawa Tengahan. Warga Jawa Timur sendiri lebih suka menanggap dalang dari Jawa Tengah. Dengan demikian, generasi muda menjadi tidak akrab dengan pertunjukan wayang gaya Jawa Timuran.
Tawar mengapresiasi ada pemuda yang mau melestarikan wayang Jawa Timuran seperti yang dilakukan Danar. “Bagus kalau ada anak-anak muda yang peduli pada wayang Jawa Timuran, apalagi sampai mempopulerkan.”
Pertunjukan wayang botol oleh Sekolah Pedalangan Wayang Sasak dalam acara Pasar Rakyat, di Pasar Dasan Agung, Mataram, 27 Oktober 2019. Wayangsasak.org
Cara berbeda ditempuh Yayasan Pedalangan Wayang Sasak dalam mempromosikan wayang asal Lombok tersebut. Ketua yayasan, Abdul Latief Apriaman, membantu beberapa kelompok pedalangan agar tetap bisa menggelar pertunjukan wayang di kala pandemi Covid-19.
Dibantu jaringan Gusdurian Peduli, Abdul membimbing para dalang agar memiliki keahlian di bidang multimedia. Abdul membantu mereka melakukan perekaman pentas wayang dan membuat terjemahannya untuk ditayangkan di saluran YouTube. “Jadi salah satu masukan dari penonton di luar Lombok, termasuk orang Lombok yang tidak mengerti bahasa wayang, ada terjemahan agar mengerti jalan cerita,” ujar Abdul.
Rencananya, proyek tersebut akan diluncurkan pada pertengahan Maret. Selama dua bulan terakhir, Abdul juga tengah sibuk mengajari para dalang memanfaatkan ponsel mereka untuk membuat konten video. Ia meminta para dalang merekam aktivitas mereka selama latihan sebagai bagian dari pengenalan wayang sasak kepada masyarakat secara luas.
Andri Candiaman (kanan) di Padepokan Seni Rangga Setra Tasikmalaya, Jalan Bebedahan, Kelurahan Lengkongsari, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 3 Maret 2022 malam. TEMPO/Rommy Roosyana
Di Tasikmalaya, Padepokan Seni Rangga Setra menjadi salah satu komunitas yang masih eksis menjaga kelestarian wayang golek. Pemimpin padepokan, Andri Candiaman, mengakui antusiasme masyarakat terhadap pementasan wayang kian tergerus zaman. Anak muda memilih menggandrungi kesenian modern. “Ini terbukti dari minimnya undangan pementasan wayang golek dari masyarakat," tutur alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jurusan Karawitan pada 2001 itu.
Masyarakat yang menggelar hajatan pernikahan atau khitanan, kata Andri, kini lebih banyak memilih mengundang kesenian yang populer karena dari sisi biaya lebih murah dan jumlah personel lebih sedikit. Kendati begitu, Andri tak patah arang. Ia terus mensosialisasi wayang dengan rutin menggelar pelatihan di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi di Tasikmalaya.
FRISK RIANA | KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA) | ROMMY ROOSYANA (TASIKMALAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo