Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Anggapan pahlawan

Pahlawan tidak terjadi karena tugas rutin, tapi karena pengabdian. negeri yang malang, seseorang yang bertindak manusiawi dianggap pahlawan. (fk)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA namamu? Nama saya Koja, tuan. Saya petugas kecil kelas teri. Karena suatu kejadian dramatis -- suatu kecelakaan ngeri hampir terjadi, tapi terhindar karena saya menjalankan tugas -- saya mendapat hadiah. Nama saya Koja, saya rakyat biasa, miskin dan saya bersukur dapat penghargaan. Ah, Rp 25.000. Kau mengeluhkan jumlah itu? Tidak, tidak. Saya tidak mengeluh. Saya berterima kasih. Memang, hadiah uang itu kecil, mungkin sama dengan beberapa piring makanan dalam jamuan tuan setiap kali. Tapi saya tak bermaksud membanding-bandingkan. Saya tahu diri: orang kecil rejekinya juga kecil. Maksud saya berbicara kepada tuan sekarang ialah .... Apa, Koja? Maksud saya ialah untuk menyatakan rasa cemas saya, jangan-jangan, nama saya akan jadi abadi. Maaf, tuan, saya takut. Saya takut jadi pahlawan. Tapi kau memang pahlawan, Koja. Mengapa, tuan? Saya orang kecil. Banyak orang kecil seperti saya. Padahal pahlawan tidak bisa bersifat massal, bukan? Pahlawan tidak terjadi karena tugas rutin, bukan? Tuan tahu sendiri, saya hanya menjalankan tugas itu. Saya, dan jutaan orang lain. Lagipula kami lebih banyak bekerja berdasarkan kebiasaan, mungkin pula instink, bukan karena pengabdian seperti yang diminta orang-orang besar. Saya bukan tipe orang yang bercita-cita memindahkan gunung. Saya cuma ingin selalu bisa memindahkan beras menjadi nasi, di dapur saya sendiri. Kau teramat rendah-hati. Itu baik. Tapi . . . Tapi apa, tuan? Tapi kita butuh pahlawan, Koja. Kita perlu. Apakah negeri sudah begitu tak berbahagia, tuan, hingga kita memerlukan pahlawan? Maaf, ini bukan pikiran saya sendiri. Saya hanya ingat Galileo, dalam lakon Bertolt Brecht: "Tak berbahagialah negeri yang memerlukan pahlawan". Di negeri yang malang, seseorang yang memilih untuk jadi manusia, akan tampak seperti malaikat. Lucu dan menyedihkan, bukan? Atau tuan pernah baca ucapan Sir Thomas More menurut A Man for All Seasons? Bagaimana, Koja, kok kau terdengar pedantik betul? Ah, Sir Thomas sebenarnya tak ingin jadi martelar. Tapi, even at the risk of being heroes, katanya, ia bertahan dari kebangkrutan moral manusia di sekitarnya. Bertahan, tuan, bertahan, even at the risk of being heroes ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus