WARGA Jakarta bukan malaikat, kata Gubernur Ali Sadikin pekan
lalu. Tapi apa juga bukan koboi?
Dua peristiwa penembakan beruntun dalam dua hari pekan lalu
mengingatkan orang pada keadaan kota Manila beberapa tahun lalu
sebelum diundangkannya undang-undang keadaan darurat. Bahkan
harian Kompas dalam pojoknya hari Jum'at minggu yang lewat
menggambarkan peristiwa itu bak zaman koboi-koboi "tempo doeloe"
-- di jaman wild west.
Sore itu, hari Selasa 16 Nopember yang lalu, Bambang Heru
Sunarso, 31, bersama empat temannya kongko-kongko di rumah
Brigjen Saparjo sekjen Golkar. "Kami berbincang soal perkawinan
Bambang", ujar seorang yang turut serta dalam pertemuan itu. Jam
tujuh malam mereka bubaran, kecuali Bambang yang masih terus
tinggal. Tiga jam kemudian ia baru pamit untuk pulang ke rumah
Jalan Dipati Unus Kebayoran.
Tatkala menunggu taksi bersama seorang kawannya di Jalan Persojo
Tebet sebuah Holden B-1658 SS tiba-tiba menyerempet mereka.
Bambang yang agaknya bertemperamen tinggi tidak dapat menerima
serempetan tersebut. Ia lalu berteriak. Karena diteriaki,
penumpang Holden itu turun ambil batu, lalu meIempar Bambang
kemudian kabur arah jalan Tambak.
Mendapat perlakuan seperti itu Bambang kemudian balik ke rumah
Saparjo. Oleh anak Sekjen Golkar itu, yang juga bernama Bambang,
Bambang Heru lalu diantar dengan Toyota. Namun arah jip tersebut
tidak langsung ke Dipati Unus tapi mencari jejak Holden beserta
penumpangnya. Di persimpangan Jalan Matraman, lebih kurang
seratus meter dari pos polisi setempat, kedua mobil itupun
bertemu. Jip lalu menyalib Holden. Bambang Heru yang lebih
dikenal dengan panggilan Bobby turun menuju arah mobil Holden.
Kaca pintu Holden diketok (keterangan lain mengatakan
dipecahkan). Tapi tiba-tiba penumpang Holden mencabut pistol
tipe FN terus menarik picu. Bobby kena pada dada dan perut lalu
rebah. Pertolongan yang diberikan tidak banyak membantu. Ia
segera meninggal.
Penembaknya mencoba melarikan diri, tapi petugas polisi akhirnya
menemukannya. Dua teman lainnya juga berhasil ditangkap. Begitu
pula pistol FN yang dipakai menembak. Dari pemeriksaan yang
dilakukan terhadapnya diketahui penembak itu bernama Iwan anak
Laksamana Atung Sudibya, asisten pengamanan KSAL.
Enam belas jam kemudian Bambang Heru, mahasiswa Universitas
Indonesia jurusan kriminologi dan seorang perwira cadangan AD
dengan pangkat letnan dua, dimakamkan di Tanah Kusir dengan
upacara militer lengkap. Tapi dalam suasana upacara yang besar
itu, Ketua Dewan Mahasiswd Ul Dipo Alam dengan nada pilu
berharap agar kejadian seperti itu "jangan terus terjadi".
Sebuah appeal kemudian dike]uarkan ke alamat Menhankam agar yang
terakhir ini "bertindak terhadap oknum ABRI ataupun keluarganya
yang menyalah gunakan senjata mencabut nyawa manusia dalam
peristiwa main hakim sendiri". Ajakan yang ditanda tangani Dipo
Alam selaku ketua umum DMUI dan Djodi Wuryantoro selaku sekjen,
pun meminta agar disiplin ABRI ditingkatkan dalam "memakai
haknya untuk menggunakan senjata dalam membela dan melindungi
rakyat. Bukan sebagai oknum yang menggunakan senjata mencabut
nyawa manusia bagaikan nyawa hewan".
Kejadian itu memang menarik perhatian sementara pejabat tinggi
di lingkungan ABRI. Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo yang
akhir-akhir ini hanyak mengomentari berita Newsweek, memberi
jaminan bahwa peristiwa ini akan segera diselesaikan menurut
hukum yang berlaku. Orang tua anak yang menembak itu, pun sudah
menyatakan kesediaannya dipecat jika ternyata sang anak
bersalah. Pernyataan itu mengingatkan orang pada peristiwa tiga
tahun lalu ketika beberapa anggota parlemen meminta Kapolri
Jenderal Polisi Widodo Budidamlo -- ketika itu Kadapol Metro
Jaya -- mengundurkan diri menyusul penembakan terhadap diri
sopirnya yang dilakukan oleh anaknya sendiri.
Betapapun juga harapan DM-UI dan orang banyak tetap tinggal
harapan. Sebab belum lagi karangan bunga layu di atas pusara
Bambang Heru, belum lagi seluruh pengantar jenazahnya kembali
istirahat di rumah masing-masing, peristiwa baru terjadi hanya
satu kilometer dari tempat Bambang tertembak. Kali ini korbannya
seorang sopir bis PPD yang menyerempet sebuah Holden lain.
Penembaknya sopir Holden dan ia kerabat isteri seorang perwila
menengah ABRI. Yang ditembak mati, dan penembaknya ditangkap.
Tapi selama senjata api dirasakan lebih kuasa ketimbang hukum,
orang Jakarta boleh terus cemas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini