AKHIR minggu ke-2 bulan ini, mendadak Lumajang menjadi terkenal.
Banjir plus lahar dingin gunung Semeru di kabupaten itu telah
mengakibatkan korban 80 orang meninggal, 38 hilang, 29 luka
berat, 21 luka ringan plus kerusakan rumah dan saluran irigasi.
Seperti dilaporkan Bupati Soewandi, 1.045 rumah hanyut, 34
rusak, 766,134 Ha sawah dengan tanaman padi plus tebu terimbun
pasir, jalan raya jurusan Lumajang-Malang lewat Turen longsor di
10 tempat dengan volume lebih dari 3.200 m3. Sementara itu, di
jalan yang sama pada Km Turen 59 terputus karena retak-retak dan
turun sampai 50 cm lebih sepanjang 50 m. Menurut taksiran tim
Gubernur, kerugiannya bernilai Rp 336 juta. Jauh lebih kecil
dari taksiran bupati, yang memperkirakan sawah, rumah dan
infrastruktur yang rusak bernilai Rp Rp 1 milyar lebih.
Musibah itu diawali dengan hujan deras yang turun terus menerus
selama 2 hari -- Jum'at 12 dan Sabtu 13 Nopember lalu, dengan
curah hujan 323 mm. Padahal, "tiap bulan rata-rata cuma 100 mm
saja", tutur Soewandi, Bupati Lumajang kepada TEMPO. Sabtu
siang, hujan deras tersebut disertai dengan angin kencang.
Sementara itu, akibat letusan G. Semeru tahun 1908, 1946 dan
1968 endapan lava yang menumpuk di lereng-lereng Merapi semakin
sarat. Di lereng Semeru saja sudah tertumpuk sekitar 2 juta m3.
Sementara yang tertampung di Curah Kobokan sekitar 3 juta m3.
Cuah Kobokan sendiri telah penuh sejak tahun 1974.
Lantaran derasnya hujan endapan laa di lereng-lereng gunung
tersebut turun dengan kecepatan tinggi lewat 4 aliran sungai
kecil: Glidik, Besukbang, Roali dan Besuk Tengah. Untung kali
Besuk Tengah kini terhalang gunung kecil yang beberapa tahun
lalu bergeser tempatnya. Jika tidak, kota Lumajang pun terancam.
Tapi, yang paling parah adalah lahar dingin yang turun dari
lereng lewat Curah Kobokan terus ke kali Rojali. Dari ketinggian
1.503 m di atas permukaan air laut, lahar dingin itu pada jarak
13 Km meluncur dan menghantam desa Kebondeli yang hanya setinggi
330 m. Akibatnya mulai dari Kebondeli sampai desa Gondoruso
sepanjang 10 Km menjadi belantara batu. Lahar dingin
diperkirakan turun mulai malam Minggu 13 Nopember, dimulai suara
gemuruh. Batu-batu besar berguling-guling dengan cepat dan
benturannya menimbulkan percikan-percikan api. Karena begitu
cepatnya, sebagian rakyat tak sempat mengungsi, tapi untung
banyak yang berhasil menyelamatkan diri. Sebagian lari ke
bukit-bukit kecil yang memang banyak di daerah itu. Bahkan
sampai sekarang tak mau turun karena tak yakin bahwa daerah
penampungan yang ditunjuk pamong desa setempat cukup aman.
Hari Minggu, Team SAR menemukan 63 mayat di muara kali Rojali,
24 Km dari Kebondeli. Mayat-mayat lain ditemukan di sepanjang
daerah lahar. Karena bertumburan dengan pohon tumbang plus batu,
hampir semua mayat tak bisa dikenal lagi. Bahkan ada yang hilang
kepalanya atau anggota badannya, di samping yang terpendam
lumpur.
Mobil Terakhir
Di Pasirejo, 150 Ha sawah dari 217 Ha yang terdapat di dukuh itu
musnah dan menjadi sungai. Bahkan sungainya sendiri -- Kali
Glidik -- bergeser ke timur sekitar 1 Km. Hingga sisa sawah yang
ada nampak seperti pulau. Ada 10 penduduk hanyut, 2 ditemukan
hidup dan 2 meninggal. Akibat longsornya jalan di Km Turen 59
maka daerah ini, termasuk seluruh Kecamatan Pronojiwo dengan 40
000 penduduk terputus hubungannya dengan kota Lumajang. Meskipun
siang hari Bupati sempat berkunjung ke daerah ini, namun
malamnya bersamaan dengan hujan deras ternyata keretakan jalan
semakin parah dan lebih turun lagi dan ada tambahan longsoran 50
m3. Berarti mobil Bupati merupakan mobil terakhir yang lewat di
jalan itu sejak banjir itu.
Tanggal 17 Nopember kemarin karena hujan turun cukup deras
sekitar jam 22.00 - 23.30, banjir datang lagi. "Hampir sebesar
yang semula", tutur Taufik petugas Ditsus Lumajang. Di Pronojiwo
terasa ada gempa. Barangkali itu benar lantaran menurut Ir. Agus
Abdul Manan, Kepala Seksi Binamarga DPU Lumajang, tiap hari
rata-rata terjadi 5 kali letupan kecil di gunung Semeru. Dan
tiap letupan selalu mengeluarkan lava kembali. Hingga, habis
banjir 13 Nopember, menurut Soewandi diperkirakan endapan yang
ada di Curah Kobokan telah naik 5 meter lagi. Penduduk sekitar
daerah itu, terutama di Kecamatan Candipuro dan Pasirian bahkan
sampai Tempeh gelisah dan mengeluarkan barang-barangnya ke tepi
jalan. Pamong desa plus camat tak berhasil menenangkan mereka.
Maka, jam dua malam Bupati dengan beberapa stafnya segera
meninjau daerah tersebut. "Rek, aman rek. Ora ono-opo. Percoyoa
toh karo Bupati" (Rek sudah aman rek. Tak ada apa-apa.
Percayalah sama Bupati), teriak Soewandi. Baru mereka mau
kembali ke rumah, meskipun masih nampak ketakutan diiringi
jeritan-jeritan bayi. Syukur banjir kali itu tak membawa korban
apa-apa. Banjir yang datang berikutnya -- yakni 19 Nopember tak
seberapa sekalipun air sungai naik sampai 2 meter.
Meski begitu, karena cukup deras berhasil menggelinding
batu-batu besar pula. Hingga dari kejauhan percikan-percikan api
dari batu yang berbenturan itu nampak jelas. Namun 1 1/2 jam
kemudian air surut kembali tinggal 1/2 meter. Banjir ulangan
kali ini sempat meminta korban penduduk desa Gondoroso yang
karena tak menduga bakal datang banjir lagi menyeberang sungai
buat mencari anaknya. Tapi begitu di tengah-tengah banjir
datang. Dan si korban -- pak Pasiadi (50 tahun) tak bisa
ditolong lagi Bahkan mayatnya pun belum berhasil diketemukakan.
Kepanikan di kalangan penduduk kambuh lagi. Sebab, nampaknya ada
seorang anak muda berkendaraan Honda bebek biru sembari ngebut
berteriak: "Kamar Kajang putus, air naik sampai 8 meter". Meski
hujan air reda, namun sekitar kecamatan Candipuro dan Pasirian
terjadi hujan tangis. Terpaksa, Bupati turun tangan lagi buat
menenangkan mereka. Baru jam 23.00 mereka mau masuk rumah
kembali.
Pengungsi
Dari 1.045 rumah yang hanyut plus 34 buah rusak berat, kira-kira
terkumpul 5.599 orang. Itu tak termasuk yang dirawat di rumah
sakit dan yang mengungsi di rumah keluarganya di lumajang kota
atau luar daerah. Mereka ditampung di 16 tempat penampungan.
Baik di gedung SD maupun rumah-rumah penduduk. Meski begitu, tak
jarang seperti di Gondoroso dan Jugosari serta Sumberejo mereka
membuat barak-barak darurat di bukit-bukit, di tanah PN
Perhutani. Pamong desa nampaknya juga khawatir ada musibah baru
yakni tanah longsor. Namun mereka tak mau turun. "Jangan
dipaksa, nanti tambah kacau", tutur Bupati. "Kirimkan saja bahan
mentah ke sana".
Letkol Soeprapto, Dandim Lumajang yang menjabat sebagai Dan
Posko berkedudukan di SD Sumberwuluh Pronojiwo
menghitung-hitung: tiap hari dibutuhkan 2.291 Kg beras plus uang
lauk pauk Rp 286.450. Belum termasuk obat-obatan dan sebagainya.
Padahal, diperkirakan sampai 3 bulan mendatang mereka masih
harus ditampung. Dihitung-hitung, sekurang-kurangnya dibutuhkan
persediaan hampir 200 ton beras plus Rp 25,7 juta lebih.
Sementara itu, sampai tanggal 18 Nopember bantuan yang masuk
sekitar: 13.907 Kg beras, 3951 kg beras jagung plus 10 ton
jagung dan uang Rp 6 juta lebih. Juga 400 Kg gula, 820 Kg ikan
asin, 2 ton kobis, 2 kwintal wortel, 8 piece kain, 5.027 plus 6
zak pakaian bekas, 11 dosin kaos, 25 koli obat-obatan, 5 set
alat-alat dapur plus 1/2 ton susu bubuk.
Bantuan terus mengalir. Hingga, ketika Presiden Soeharto yang
langsung datang ke daerah musibah, bertanya soal kebutuhan untuk
pengungsi, Bupati bilang "cukup pak". Artinya, "masa semuanya
ngemis ke pusat", tutur Soewandi kepada TEMPO seusai kunjungan
Presiden 21 Nopember lalu. Artinya, Soewandi yakin soal ini bisa
diberesi daerah sendiri. Pangdam Vlll Brawijaya Mayjen Witarmin
juga menghubungi seluruh komponen ABRI dan POLRI agar bisa
menghimpun dana bantuan.
Kehadiran Presiden Soeharto meninjau bencana lahar dingin
Lumajang sekurang-kurangnya menegasi 2 program. Yaitu
penyembuhan sarana irigasi hingga panen depan sawah telah
terairi kembali dan transmigrasi. Nampaknya Bupati Soewandi pun
telah pasang kuda-kuda. Lantaran, ia ketika tahun lalu melihat
beberapa desa tergenang air telah pula membujuk mereka untuk
pindah ke luar Jawa. Tapi rakyat -- yang hampir semuanya asal
Madura -- tak mau pisah dengan tanahnya. Apalagi daerah tersebut
terkenal subur. Mau dipindahkan ke tempat lain, sulit bisa
memperoleh ganti tanah sesubur itu.
Presiden nampaknya menyadari soal itu. Berdialog dengan seorang
anak muda di bekas kampung Kebondeli -- yang seluruh sawahnya
sekitar 3 ha --hancur Presiden bertanya: "Mau transmigrasi?" Si
anak nampaknya tak berani menjawab. Dijawab sendiri oleh
Presiden: "ya pikir-pikir dululah". Tapi, di halaman SD
Sumberwuluh -- tempat penampungan terbesar -- Presiden berpidato
dan menarik contoh tempat transmigrasi Dumoga, Sulawesi Utara
yang baru dijenguk Presiden -- dan sekaligus meresmikan proyek
irigasi. Dengan pembagian tanah 2 Ha di mana seperempat buat
rumah plus pekarangan dan sisanya ladang bisa menghasilkan Rp
300 ribu per tahun dari hasil kedelainya. Belum jagung dan
sebagainya. "Pada tahun ketiga mereka bisa mengambil keluarganya
di Jawa dengan naik pesawat", kata Presiden.
Maka, "mumpung masih panik segera saja diatur transmigrasinya",
tutur Presiden kepada Bupati. Presiden juga setuju dengan konsep
Menteri Ekuin segera mengirim 500 KK ke Kal-Sel, 200 KK ke
Sul-Teng dan 100 KK ke SumSel. Kali ini diharap transmigrasi
bedol desa -- macam daerah Wonogiri yang terkena proyek Waduk
Gajah Mungkur -- dengan biaya sekitar Rp 1 milyar dari Bina
Craha. "Termasuk untuk memberi makan 6 bulan di sana", tukas
Bupati Soewandi. Dan kepada Bupati Presiden menginstruksikan
"segera dilaksanakan".
Nampaknya, Presiden kurang sependapat dengan proyek pemukiman
kembali penduduk di tanah milik Perhutani yang letaknya tak
terlalu jauh dari tempat semula. Sebelumnya, Menteri Ekuin dan
Gubernur Soenandar setuju pada tahap pertama menyediakan biaya
pemukiman kembali 500 KK di tanah seluas 200 Ha. Masing-masing
KK dapat bantuan biaya Rp 50 ribu. Tapi, "hendaknya itu hanya
sementara saja", kata Presiden kepada Bupati, "sambil menunggu
pemberangkatan ke daerah transmigrasi". Dan Bupati pun
mengangguk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini