Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berserakan Di Kali Rojali

Banjir dan lahar dingin gunung semeru melanda lumajang. kerugian rp 1 milyar, 63 orang meninggal. presiden mengajurkan transmigrasi. penduduk segan meninggalkan tanahnya. (nas)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR minggu ke-2 bulan ini, mendadak Lumajang menjadi terkenal. Banjir plus lahar dingin gunung Semeru di kabupaten itu telah mengakibatkan korban 80 orang meninggal, 38 hilang, 29 luka berat, 21 luka ringan plus kerusakan rumah dan saluran irigasi. Seperti dilaporkan Bupati Soewandi, 1.045 rumah hanyut, 34 rusak, 766,134 Ha sawah dengan tanaman padi plus tebu terimbun pasir, jalan raya jurusan Lumajang-Malang lewat Turen longsor di 10 tempat dengan volume lebih dari 3.200 m3. Sementara itu, di jalan yang sama pada Km Turen 59 terputus karena retak-retak dan turun sampai 50 cm lebih sepanjang 50 m. Menurut taksiran tim Gubernur, kerugiannya bernilai Rp 336 juta. Jauh lebih kecil dari taksiran bupati, yang memperkirakan sawah, rumah dan infrastruktur yang rusak bernilai Rp Rp 1 milyar lebih. Musibah itu diawali dengan hujan deras yang turun terus menerus selama 2 hari -- Jum'at 12 dan Sabtu 13 Nopember lalu, dengan curah hujan 323 mm. Padahal, "tiap bulan rata-rata cuma 100 mm saja", tutur Soewandi, Bupati Lumajang kepada TEMPO. Sabtu siang, hujan deras tersebut disertai dengan angin kencang. Sementara itu, akibat letusan G. Semeru tahun 1908, 1946 dan 1968 endapan lava yang menumpuk di lereng-lereng Merapi semakin sarat. Di lereng Semeru saja sudah tertumpuk sekitar 2 juta m3. Sementara yang tertampung di Curah Kobokan sekitar 3 juta m3. Cuah Kobokan sendiri telah penuh sejak tahun 1974. Lantaran derasnya hujan endapan laa di lereng-lereng gunung tersebut turun dengan kecepatan tinggi lewat 4 aliran sungai kecil: Glidik, Besukbang, Roali dan Besuk Tengah. Untung kali Besuk Tengah kini terhalang gunung kecil yang beberapa tahun lalu bergeser tempatnya. Jika tidak, kota Lumajang pun terancam. Tapi, yang paling parah adalah lahar dingin yang turun dari lereng lewat Curah Kobokan terus ke kali Rojali. Dari ketinggian 1.503 m di atas permukaan air laut, lahar dingin itu pada jarak 13 Km meluncur dan menghantam desa Kebondeli yang hanya setinggi 330 m. Akibatnya mulai dari Kebondeli sampai desa Gondoruso sepanjang 10 Km menjadi belantara batu. Lahar dingin diperkirakan turun mulai malam Minggu 13 Nopember, dimulai suara gemuruh. Batu-batu besar berguling-guling dengan cepat dan benturannya menimbulkan percikan-percikan api. Karena begitu cepatnya, sebagian rakyat tak sempat mengungsi, tapi untung banyak yang berhasil menyelamatkan diri. Sebagian lari ke bukit-bukit kecil yang memang banyak di daerah itu. Bahkan sampai sekarang tak mau turun karena tak yakin bahwa daerah penampungan yang ditunjuk pamong desa setempat cukup aman. Hari Minggu, Team SAR menemukan 63 mayat di muara kali Rojali, 24 Km dari Kebondeli. Mayat-mayat lain ditemukan di sepanjang daerah lahar. Karena bertumburan dengan pohon tumbang plus batu, hampir semua mayat tak bisa dikenal lagi. Bahkan ada yang hilang kepalanya atau anggota badannya, di samping yang terpendam lumpur. Mobil Terakhir Di Pasirejo, 150 Ha sawah dari 217 Ha yang terdapat di dukuh itu musnah dan menjadi sungai. Bahkan sungainya sendiri -- Kali Glidik -- bergeser ke timur sekitar 1 Km. Hingga sisa sawah yang ada nampak seperti pulau. Ada 10 penduduk hanyut, 2 ditemukan hidup dan 2 meninggal. Akibat longsornya jalan di Km Turen 59 maka daerah ini, termasuk seluruh Kecamatan Pronojiwo dengan 40 000 penduduk terputus hubungannya dengan kota Lumajang. Meskipun siang hari Bupati sempat berkunjung ke daerah ini, namun malamnya bersamaan dengan hujan deras ternyata keretakan jalan semakin parah dan lebih turun lagi dan ada tambahan longsoran 50 m3. Berarti mobil Bupati merupakan mobil terakhir yang lewat di jalan itu sejak banjir itu. Tanggal 17 Nopember kemarin karena hujan turun cukup deras sekitar jam 22.00 - 23.30, banjir datang lagi. "Hampir sebesar yang semula", tutur Taufik petugas Ditsus Lumajang. Di Pronojiwo terasa ada gempa. Barangkali itu benar lantaran menurut Ir. Agus Abdul Manan, Kepala Seksi Binamarga DPU Lumajang, tiap hari rata-rata terjadi 5 kali letupan kecil di gunung Semeru. Dan tiap letupan selalu mengeluarkan lava kembali. Hingga, habis banjir 13 Nopember, menurut Soewandi diperkirakan endapan yang ada di Curah Kobokan telah naik 5 meter lagi. Penduduk sekitar daerah itu, terutama di Kecamatan Candipuro dan Pasirian bahkan sampai Tempeh gelisah dan mengeluarkan barang-barangnya ke tepi jalan. Pamong desa plus camat tak berhasil menenangkan mereka. Maka, jam dua malam Bupati dengan beberapa stafnya segera meninjau daerah tersebut. "Rek, aman rek. Ora ono-opo. Percoyoa toh karo Bupati" (Rek sudah aman rek. Tak ada apa-apa. Percayalah sama Bupati), teriak Soewandi. Baru mereka mau kembali ke rumah, meskipun masih nampak ketakutan diiringi jeritan-jeritan bayi. Syukur banjir kali itu tak membawa korban apa-apa. Banjir yang datang berikutnya -- yakni 19 Nopember tak seberapa sekalipun air sungai naik sampai 2 meter. Meski begitu, karena cukup deras berhasil menggelinding batu-batu besar pula. Hingga dari kejauhan percikan-percikan api dari batu yang berbenturan itu nampak jelas. Namun 1 1/2 jam kemudian air surut kembali tinggal 1/2 meter. Banjir ulangan kali ini sempat meminta korban penduduk desa Gondoroso yang karena tak menduga bakal datang banjir lagi menyeberang sungai buat mencari anaknya. Tapi begitu di tengah-tengah banjir datang. Dan si korban -- pak Pasiadi (50 tahun) tak bisa ditolong lagi Bahkan mayatnya pun belum berhasil diketemukakan. Kepanikan di kalangan penduduk kambuh lagi. Sebab, nampaknya ada seorang anak muda berkendaraan Honda bebek biru sembari ngebut berteriak: "Kamar Kajang putus, air naik sampai 8 meter". Meski hujan air reda, namun sekitar kecamatan Candipuro dan Pasirian terjadi hujan tangis. Terpaksa, Bupati turun tangan lagi buat menenangkan mereka. Baru jam 23.00 mereka mau masuk rumah kembali. Pengungsi Dari 1.045 rumah yang hanyut plus 34 buah rusak berat, kira-kira terkumpul 5.599 orang. Itu tak termasuk yang dirawat di rumah sakit dan yang mengungsi di rumah keluarganya di lumajang kota atau luar daerah. Mereka ditampung di 16 tempat penampungan. Baik di gedung SD maupun rumah-rumah penduduk. Meski begitu, tak jarang seperti di Gondoroso dan Jugosari serta Sumberejo mereka membuat barak-barak darurat di bukit-bukit, di tanah PN Perhutani. Pamong desa nampaknya juga khawatir ada musibah baru yakni tanah longsor. Namun mereka tak mau turun. "Jangan dipaksa, nanti tambah kacau", tutur Bupati. "Kirimkan saja bahan mentah ke sana". Letkol Soeprapto, Dandim Lumajang yang menjabat sebagai Dan Posko berkedudukan di SD Sumberwuluh Pronojiwo menghitung-hitung: tiap hari dibutuhkan 2.291 Kg beras plus uang lauk pauk Rp 286.450. Belum termasuk obat-obatan dan sebagainya. Padahal, diperkirakan sampai 3 bulan mendatang mereka masih harus ditampung. Dihitung-hitung, sekurang-kurangnya dibutuhkan persediaan hampir 200 ton beras plus Rp 25,7 juta lebih. Sementara itu, sampai tanggal 18 Nopember bantuan yang masuk sekitar: 13.907 Kg beras, 3951 kg beras jagung plus 10 ton jagung dan uang Rp 6 juta lebih. Juga 400 Kg gula, 820 Kg ikan asin, 2 ton kobis, 2 kwintal wortel, 8 piece kain, 5.027 plus 6 zak pakaian bekas, 11 dosin kaos, 25 koli obat-obatan, 5 set alat-alat dapur plus 1/2 ton susu bubuk. Bantuan terus mengalir. Hingga, ketika Presiden Soeharto yang langsung datang ke daerah musibah, bertanya soal kebutuhan untuk pengungsi, Bupati bilang "cukup pak". Artinya, "masa semuanya ngemis ke pusat", tutur Soewandi kepada TEMPO seusai kunjungan Presiden 21 Nopember lalu. Artinya, Soewandi yakin soal ini bisa diberesi daerah sendiri. Pangdam Vlll Brawijaya Mayjen Witarmin juga menghubungi seluruh komponen ABRI dan POLRI agar bisa menghimpun dana bantuan. Kehadiran Presiden Soeharto meninjau bencana lahar dingin Lumajang sekurang-kurangnya menegasi 2 program. Yaitu penyembuhan sarana irigasi hingga panen depan sawah telah terairi kembali dan transmigrasi. Nampaknya Bupati Soewandi pun telah pasang kuda-kuda. Lantaran, ia ketika tahun lalu melihat beberapa desa tergenang air telah pula membujuk mereka untuk pindah ke luar Jawa. Tapi rakyat -- yang hampir semuanya asal Madura -- tak mau pisah dengan tanahnya. Apalagi daerah tersebut terkenal subur. Mau dipindahkan ke tempat lain, sulit bisa memperoleh ganti tanah sesubur itu. Presiden nampaknya menyadari soal itu. Berdialog dengan seorang anak muda di bekas kampung Kebondeli -- yang seluruh sawahnya sekitar 3 ha --hancur Presiden bertanya: "Mau transmigrasi?" Si anak nampaknya tak berani menjawab. Dijawab sendiri oleh Presiden: "ya pikir-pikir dululah". Tapi, di halaman SD Sumberwuluh -- tempat penampungan terbesar -- Presiden berpidato dan menarik contoh tempat transmigrasi Dumoga, Sulawesi Utara yang baru dijenguk Presiden -- dan sekaligus meresmikan proyek irigasi. Dengan pembagian tanah 2 Ha di mana seperempat buat rumah plus pekarangan dan sisanya ladang bisa menghasilkan Rp 300 ribu per tahun dari hasil kedelainya. Belum jagung dan sebagainya. "Pada tahun ketiga mereka bisa mengambil keluarganya di Jawa dengan naik pesawat", kata Presiden. Maka, "mumpung masih panik segera saja diatur transmigrasinya", tutur Presiden kepada Bupati. Presiden juga setuju dengan konsep Menteri Ekuin segera mengirim 500 KK ke Kal-Sel, 200 KK ke Sul-Teng dan 100 KK ke SumSel. Kali ini diharap transmigrasi bedol desa -- macam daerah Wonogiri yang terkena proyek Waduk Gajah Mungkur -- dengan biaya sekitar Rp 1 milyar dari Bina Craha. "Termasuk untuk memberi makan 6 bulan di sana", tukas Bupati Soewandi. Dan kepada Bupati Presiden menginstruksikan "segera dilaksanakan". Nampaknya, Presiden kurang sependapat dengan proyek pemukiman kembali penduduk di tanah milik Perhutani yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat semula. Sebelumnya, Menteri Ekuin dan Gubernur Soenandar setuju pada tahap pertama menyediakan biaya pemukiman kembali 500 KK di tanah seluas 200 Ha. Masing-masing KK dapat bantuan biaya Rp 50 ribu. Tapi, "hendaknya itu hanya sementara saja", kata Presiden kepada Bupati, "sambil menunggu pemberangkatan ke daerah transmigrasi". Dan Bupati pun mengangguk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus