Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH memiliki awal, tengah, dan akhir. Tapi tidak harus selalu dalam urutan itu. Sebagai rangkaian peristiwa, sejarah selalu bermula dalam kondisi tak berurutan. Sejarah hanya tampak tertata ketika seseorang telah mengurai setiap peristiwanya, berdasarkan apa yang bisa dan boleh diingat, lalu merangkainya. Dengan perangkat dan keadaan yang tepat, setiap orang bisa menuliskan sejarah, entah itu seorang sutradara entah kepala negara.
Dalam The Science of Fictions, Yosep Anggi Noen mencoba menyejarah sekaligus meta-sejarah. Ia merekam sejarah dengan membongkar sejarah itu sendiri. Pada awal film, ia menampilkan suasana syuting pendaratan astronaut di tanah Jawa. Tak lama setelahnya, ia melakonkan perburuan orang-orang terduga komunis pada 1965.
Keduanya terhubung oleh Siman, pemuda desa yang tanpa sengaja masuk ke lokasi syuting pendaratan bulan. Oleh aparat setempat, lidah Siman dipotong. Atau ia dipaksa menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Entah mana yang benar. Ingatannya kabur. Yang pasti, semenjak itu Siman tak lagi bisa bicara.
Melalui kebisuan Siman, The Science of Fictions berbicara pada banyak tingkatan. Sebagai identitas tokoh, kebisuan Siman menegaskan statusnya sebagai korban ataupun penyintas di hadapan peristiwa-peristiwa historis sepanjang film. Sebagai perangkat cerita, kebisuan Siman memaksa kita, penonton; juga Anggi Noen dan tim sebagai pembuat film, selalu berserah pada gerak tubuh dan kamera sebagai landasan makna peristiwa cerita. Sialnya, atau malah cerdiknya, visual dalam The Science of Fictions justru adalah hal yang paling sukar dipercayai.
Gunawan Maryanto (kiri), yang berperan sebagai Siman, dalam sebuah adegan film The Science of Fictions. Dok. Angka Sinema/Kawan Kawan Media/Limaenam Films
Keseluruhan film terangkai melalui kontras dan kontradiksi. Sebagian film hitam-putih, sebagian lain berwarna. Pada satu momen, Siman menampung temannya yang sedang bersembunyi dari aparat pemburu komunis. Pada momen lain, Siman dikerumuni orang-orang yang ingin berswafoto dengannya. Gerak tubuh Siman sendiri selalu satu atau dua tempo lebih lambat daripada orang-orang di sekitarnya, seolah-olah ia berada pada tarikan gravitasi yang berbeda. Terkecuali hasrat untuk bicara, Siman tampak bergerak normal-normal saja.
Peran Siman sendiri hampir tidak berubah. Dia tetaplah astronaut palsu sampai akhir film. Justru masyarakat di sekitarnya yang berubah dan, seiring dengan itu, makna dari penampilan Siman sehari-hari—dari orang gila kampung menjadi obyek selfie warga. Namun Siman bukan satu-satunya. Di desanya, ada seorang jenderal yang selalu tampak lelah dengan dunia. Dari sikapnya, kita bisa menebak bahwa dia mencoba meniru semangat presiden pertama Indonesia dan pemimpin tertinggi, Sukarno. Atau, mungkin, dia sendiri Sukarno?
Tidak pernah jelas. Sepanjang film, sang jenderal ada setidaknya di tiga pesawat eksistensi. Sebagai bagian dari cerita film, jenderal itu persis seperti Siman—penyintas sejarah. Namun, dalam beberapa kasus, kita melihatnya di layar dan televisi. Sejumlah adegan bahkan menunjukkan dia melakoni kesehariannya dengan kamera menunjuk ke arahnya, menciptakan situasi film-dalam-film. Tapi, di sisi lain, kita bisa melihat sang jenderal sesederhana komponen dari roda produksi sebuah karya film—dia tak lebih dari seorang aktor yang disewa untuk berperan sebagai seorang aktor.
Melalui sosok Bung Karno jadi-jadian, The Science of Fictions mengikat narasi film tersebut dalam konotasi historis tertentu. Menggunakan kamera sebagai alat pembuat mitos, sang jenderal memunculkan pertanyaan tentang sifat penulisan sejarah itu sendiri.
Dalam salah satu novelnya, Julian -Barnes menulis, “Sejarah adalah kepastian yang dihasilkan ketika ketidaksempurnaan ingatan bertemu dengan kekurangan dokumentasi.” Sungguh menarik bagaimana Barnes menempatkan kata “kepastian” di antara dua entitas yang sedari awal tidak pernah dan tidak akan utuh. Dengan begitu, sejarah selalu dapat dinegosiasikan berulang kali hingga mencapai selaras dengan kepentingan penyunting sejarah. Apa pun yang tersisa dari masa lampau dapat selalu direproduksi, bahkan direkayasa, sampai terbentuk suatu versi masa lalu yang cukup koheren untuk diklaim sebagai narasi sejarah yang sah.
Setiap diktator mengetahui betapa lenturnya proses penulisan sejarah. Bisa dibilang setiap diktator hidup dengan prinsip yang sama: “di mana sejarah berakhir, ingatan dimulai”. Pada awal pemerintahannya, seorang diktator akan selalu menegakkan suatu versi sejarah untuk menyensor ingatan orang. Bagi Soeharto di Indonesia pada 1960-an, sejarah adalah tuduhannya terhadap kaum komunis. Di hadapan publik, ia mengatakan komunis tidak bisa dipercaya. Dengan demikian, dimulailah pembunuhan massal yang melanggengkan kekuasaannya selama tiga dekade lebih.
Dok. Angka Sinema/Kawan Kawan Media/Limaenam Films
Seorang diktator seperti Soeharto tahu betul bagaimana sejarah bisa direkayasa melalui citraan visual. Dari siaran wajib Pengkhianatan G30S PKI hingga liputan acara kepresidenan di stasiun televisi nasional, Soeharto sedang menegaskan sejarah versi dirinya. Menariknya, saat ini seseorang tak perlu menjadi diktator untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Berkat teknologi digital portabel, setiap orang punya panggung sendiri untuk tampil, menggariskan eksistensinya, dan menceritakan sejarah mereka sendiri. Apa pun, selama ia berada dalam bidang gambar atau durasi video yang sama, itu bisa dikhalayakkan sebagai sejarah.
Dalam hal ini, The Science of Fictions terasa relevan dengan suasana politik saat ini. Hampir setiap tokoh terhubung ke gawai digital—sang jenderal dengan layar televisi dan kamera video, Siman dengan smartphone para penontonnya. Ungkap-an filmnya sendiri bermain-main dengan fakta dan peristiwa sejarah hampir secara sembrono. Satu adegan menampilkan pemalsuan pendaratan di bulan, adegan lain menunjukkan pembunuhan massal 1965. Yang satu adalah hoaks yang diyakini sejumlah kalangan sebagai kisah nyata, satunya lagi adalah peristiwa bersejarah yang disegel kebenarannya. Namun, dengan berbagi lintasan cerita yang sama, kedua peristiwa memiliki kredibilitas yang sama.
Dalam The Science of Fictions, sejarah tidak selalu merupakan kebohongan para pemenang. Nyatanya, tidak ada yang menang dalam film ini. The Science of Fictions menegaskan bahwa setiap sejarah adalah kisah penyintas, yang tidak sepenuhnya menang tapi juga tidak sepenuhnya kalah. Melalui versi sejarah itu, kita bisa melihat borok peradaban kita saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo