Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akun Facebook Amy Dowd tampak normal dengan foto profil seorang wanita muda tersenyum dengan latar belakang dedaunan musim gugur dan sebuah tanggal ketika pemiliknya mulai bekerja di Universitas Negeri Southeast Missouri. Tapi, jika dilihat lebih detail, ada keanehan di sana. Tidak seperti kebanyakan wanita berusia 29 tahun, Amy tidak punya teman, ketertarikan, dan foto. Hanya ada satu tulisan yang ia muat, yaitu tinjauan mendalam tentang perusahaan jasa pengiriman AS. “Akun palsu,” komentar seorang pengguna. Mereka benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amy Dowd tidak nyata. Akun palsu itu dibeli oleh Financial Times sebagai bagian penyelidikan tentang jutaan akun palsu yang mengotori jaringan media sosial meski banyak upaya dilakukan untuk memverifikasi pengguna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proliferasi identitas palsu mencapai rekor tertinggi. Hal ini jadi masalah bagi Facebook yang mengklaim telah mendapat pertumbuhan jumlah pengguna, sementara pihak ketiga mengkritiknya karena gagal mencegah penyebaran informasi palsu atau hoax. Pertumbuhan pengguna dianggap sebagai barometer sehat tidaknya suatu platform jaringan sosial oleh para investor.
Data-FT
Facebook memperkirakan 11 persen dari pengguna aktif bulanan merupakan akun duplikat, dan 5 persen lainnya merupakan akun palsu. Pihak lain mengklaim jumlah yang lebih banyak. Namun, Facebook terus menyatakan pengguna aktifnya berjumlah 2,45 milyar per bulan, yang mana hampir sepertiga populasi global.
Pertumbuhan pengguna Facebook tidak begitu mengesankan setelah disesuaikan dengan jumlah akun duplikat dan abal-abal, yang mana hanya naik 7 persen dalam dua tahun terakhir, bukan 18 persen seperti yang diklaim.
Perbedaan data ini menunjukkan kurangnya transparansi tentang metrik yang digunakan salah satu perusahaan paling bernilai di dunia itu. Mengingat pentingnya pengguna bagi pertumbuhan pendapatan dan profitabilitas perusahaan, Facebook perlu membuka datanya untuk hasil audit yang lebih rinci dan membuat metrik baru yang disesuaikan untuk menghitung jumlah pengguna.
Mark Zuckerberg saat menghadiri sidang Senat dan Komite terkait dengan keamanan data pengguna Facebook di Capitol Hill, Washington, April 2018.
Mark Zuckerberg selalu mengatakan bahwa perusahaan yang ia dirikan adalah platform yang menunjukkan orisinalitas. Tidak seperti ruang obrolan yang anonim, Facebook meminta nama dan foto asli.
Layanan perpesanan WhatsApp dan platform berbagi foto Instagram milik Facebook dipromosikan dengan cara yang sama. Tahun lalu, kepala eksekutif Facebook itu berbicara di hadapan Kongres AS bahwa pengguna "tidak diizinkan" memiliki akun palsu.
Namun yang diperlukan untuk membuat sebuah akun hanyalah nama dan alamat email, tidak ada verifikasi lain yang diharuskan. Vendor daring pihak ketiga, seperti pvacart.com dan residentialpva.com, mengeksploitasi kebijakan terbuka ini. Mereka bersaing menawarkan profil unik, buatan tangan, dan terverifikasi kepada pembeli dengan pembayaran via PayPal atau bitcoin. "[Akun-akun tersebut] sangat dipercaya oleh Facebook dan tahan akan pemblokiran," klaim salah satu vendor.
Data-FT
Proses pembeliaan akun palsu itu mudah. Harga yang ditawarkan hanya 25 dolar Amerika untuk 50 akun atau lebih mahal jika akun-akun tersebut disempurnakan dengan gambar profil, minat seperti tim olahraga bahkan ulasan tentang perusahaan yang bergerak jarak jauh. Setelah pembayaran online dilakukan, akun tersebut dikirimkan melalui email pada hari berikutnya dalam sebuah list yang terdiri atas nama pengguna dan kata sandi. Pemeriksaan keamanan Facebook curiga pada akun baru yang dibeli FT saat ditambahkan rincian. Tetapi akun yang dibuat bertahun-tahun lalu - seperti Amy Dowd - tidak menimbulkan kecurigaan sampai saat akun itu diakses di beberapa negara secara bersamaan. Akun Amy Dowd diblokir pada hari Jumat.
Apa yang terjadi selanjutnya terserah pada pembeli. Akun palsu dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah pengikut, yang mana berguna bagi influencer atau selebriti online yang dibayar untuk mengulas suatu produk atau layanan. Bahkan mungkin, pengguna dapat menggunakan identitas palsu itu untuk menyebarkan informasi sesat atau pesan komersial, konten, atau permintaan.
Facebook menyadari masalah ini. Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) menyatakan bahwa menjual pengikut palsu merupakan tindakan ilegal. Tetapi minggu lalu, Facebook mengklaim telah menutup 5,4 miliar akun palsu dalam sembilan bulan pertama tahun ini - lebih dari dua kali lipat jumlah pengguna sebenarnya.
Maret lalu, Facebook mengumumkan bahwa mereka menuntut empat perusahaan Cina karena penjualan akun Facebook dan Instagram palsu serta penggunaan ilegal merek dagang perusahaan. Sejak itu para terdakwa menutup laman mereka.
"Hal ini berlawanan," kata Alex Schultz, wakil presiden Facebook. “Saat kita menutup satu area, spammer datang dan akan menyerang area lain. Jadi kami menghadapi tantangan baru.”
Pendeteksian akun palsu sulit dilakukan karena tidak semua orang menggunakan Facebook dengan cara yang sama.
"Ada banyak ragam perilaku pengguna," kata Schultz. “Pengguna baru internet yang belum pernah menggunakan aplikasi atau situs web akan berperilaku sangat berbeda dengan remaja yang sangat terkoneksi internet di barat atau tempat lain seperti Jepang atau Korea Selatan."
Pada 2017, Facebook menyesuaikan perhitungannya dan menaikkan perkiraan jumlah akun palsu dan mengakui bahwa masalah itu tumbuh saat berekspansi ke pasar negara berkembang. Ketika perusahaan mengajukan dokumen S-1 ke Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) sebelum penawaran umum perdana pada Mei 2012, perkiraan jumlah pengguna palsu atau duplikat tidak dimasukkan. Pada akhir tahun itu, Facebook memprediksikan bahwa 5 persen dari seluruh akun aktif merupakan duplikasi, 1,3 persen "salah klasifikasi" dan 0,9 persen "tidak diinginkan".
Data-FT
Pengguna palsu menjadi lebih sulit untuk diidentifikasi sejalan dengan berkembangnya platform itu. Ketika diluncurkan pada awal 2004, Facebook menawarkan sebuah keistimewaan. Keanggotaan hanya terbatas untuk mahasiswa Harvard dan kemudian diperluas ke beberapa universitas Ivy League. Pada 2006, cara ini ditinggalkan demi meraih dominasi global. Sejak itu jumlah keanggotaan meningkat tajam. Pada 2008, jejaring sosial itu memiliki 100 juta pengguna dan meroket hingga 1 miliar pengguna di 2012.
Pertumbuhan pengguna Facebook dan meningkatnya pendapatan meningkatkan harga sahamnya di tengah skandal dan kampanye global #deletefacebook atau #hapusfacebook di seluruh dunia. Ekspektasi pertumbuhan di masa mendatang menjadi alasan bagi Facebook melakukan perdagangan atau trading senilai 21 kali lipat dari pendapatan yang diharapkan.
data
Kekayaan informasi yang dibagikan pengguna - di mana mereka tinggal, apa yang mereka sukai, dan apa yang mereka beli - memberi Facebook seperangkat data yang sangat besar untuk menjual iklan. Bersama dengan Google, Facebook menciptakan duopoli iklan digital. Tahun lalu, pendapatan Facebook mendekati US$56 miliar dan diperkirakan naik lebih dari US$70 miliar tahun ini.
Para pengguna dan pengiklan mengeluh Facebook tidak lagi menawarkan konsep asli. Di sebagian besar industri mulai dari jasa keuangan hingga minyak dan gas, auditor independen memastikan bahwa aset yang dimiliki Facebook dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi perusahaan-perusahaan teknologi yang model bisnisnya dibangun dengan mengumpulkan data pengguna menganggap diri mereka pengecualian, mengingat masalah privasi dan kesalahan teknis yang memungkinkan orang lain mendapat celah.
Sebagai contoh, cara Facebook mengidentifikasi jumlah akun palsu dan duplikat tidak dijelaskan secara rinci. Tumpang tindih data mungkin terjadi. Perusahaan hanya akan mengelak bahwa hal itu dikarenakan peninjauan internal terhadap sampel akun yang terbatas dan "penilaian yang signifikan".
Pemilik merek dan agen periklanan telah lama meminta Facebook membuka platformnya untuk memungkinkan verifikasi metrik lain dari pihak ketiga secara independen. Mereka menuduh perusahaan "mengada-ada pekerjaan rumahnya sendiri". Dina Srinivasan, mantan eksekutif periklanan dan penulis The Antitrust Case Against Facebook, menggambarkan hal ini sebagai “perilaku yang biasa dilakukan para pelaku monopoli” di dunia periklanan yang mana mereka tidak ingin orang lain mengetahui data milik mereka.
Banyak pengiklan menginginkan data yang lebih mendalam tentang bidang-bidang seperti jangkauan pengguna dan konten yang sejalan dengan iklan. "Bisa dikatakan, [kemajuannya] lebih lambat daripada yang diharapkan orang-orang," kata Wendy Clark, kepala eksekutif agensi periklanan DDB Worldwide Omnicom Group.
Permintaan itu semakin mendesak sejak Facebook mengakui bahwa tahun 2016 mereka telah salah menghitung rata-rata jumlah tayang beberapa video iklan. Marketer atau pemasar berargumen bahwa rata-rata jumlah tayang meningkat hingga 900 persen saat sidang gugatan, yang diselesaikan dengan uang damai sejumlah US$40 juta.
Sejak saat itu, Facebook berupaya untuk membuka statistik tertentu. Tahun lalu, Dewan Rating Media AS memberi akreditasi kepada Facebook untuk jumlah tayangan iklannya yang memverifikasi metrik internal tentang terpaan pengguna (users’ exposure) terhadap iklan. Facebook lalu membentuk grup penasihat independen yang bertugas menilai metrik (Data Transparency Advisory Group).
Namun di laporan pertamanya, kelompok itu menyatakan bahwa mereka tidak berhubungan langsung dengan para system engineers atau penanggungjawab sistem.
"Sebuah perusahaan memang selalu bisa berbuat lebih banyak," kata Schultz. “Tapi kami sudah banyak berubah sejak 2016... Saya bangga dengan kemajuan yang sudah kami capai." Ditambah, katanya, hal itu terlihat dari jumlah pendapatan. "Pengiklan terus kembali karena hasil yang mereka dapatkan."
Jumlah tepat berapa banyak akun palsu yang dimiliki Facebook masih dalam perdebatan. Mantan teman sekelas Zuckerberg di Harvard, Aaron Greenspan, yakin setengah jumlah akun aktif adalah palsu. Ia memberikan bukti kepada Parlemen Inggris tentang disinformasi di Facebook yang ia sebut sebagai kotak hitam bulan Juni lalu. "Kami sering mendengar bahwa Facebook memiliki lebih dari 2 miliar pengguna dan saya pikir itu tidak benar," katanya.
Namun, Greenspan mengakui sejarah permusuhannya dengan Zuckerberg. Dia menyelesaikan perselisihan hukum dengan perusahaan itu satu dekade lalu yang mana menurunkan saham Facebook. Facebook membantah klaim Greenspan.
Meski begitu, mereka yang tidak memiliki hubungan pelik dengan Facebook juga meragukan data itu.
Profesor riset dari Universitas George Washington, Trevor Davis, mengklaim telah menemukan 200.000 profil Facebook dengan "kualitas tidak autentik" saat menemukan akun yang terhubung dengan partai politik sayap kanan Jerman AfD. Facebook mengatakan pihaknya telah meneliti temuan itu dan menghapus akun-akun yang melanggar standar komunitas.
Brian Wieser, seorang analis periklanan dan presiden global intelijen bisnis GroupM, memperkirakan jumlah akun Facebook yang tidak autentik sebenarnya mungkin sekitar 20 persen. Dua tahun lalu, ia menerbitkan penelitian yang menunjukkan ketidakcocokan antara data sensus dan jumlah pengguna Facebook yang diberikan kepada pengiklan potensial.
FT menemukan bahwa ketidakcocokan tersebut masih ada. Pengelola Iklan Facebook-fitur online untuk membantu pengiklan membangun kampanye- mengklaim bahwa iklan yang ditujukan untuk orang berusia 30-an di AS dapat mencapai hingga 51 juta orang. Tapi data sensus AS dari Juni menunjukkan kurang dari 44 juta orang dalam demografi ini. Facebook mengelak dan mengatakan angka yang ditampilkan Pengelola Iklan merupakan perkiraan.
Penelitian Wieser mendorong pemilik usaha kecil di California untuk menggugat Facebook. Dalam protes itu disebutkan bahwa seorang mantan karyawan Facebook yang bekerja di tim infrastruktur mengatakan orang-orang yang bertanggung jawab untuk memastikan keakuratan estimasi Facebook untuk target pengguna iklan "tidak peduli dengan angka aktual."
Seorang juru bicara Facebook berujar: "Kami pikir kasus ini tidak berdasar dan kami akan sungguh-sungguh membela diri".
Semakin banyak jumlah pengguna suatu platform, semakin banyak nilai yang ditawarkan bagi pengguna dan investor. Sementara seorang manajer keuangan mengatakan meningkatnya pengguna palsu tidak akan merugikan Facebook selama pengiklan percaya bahwa mereka mendapatkan hasil yang baik, tapi pihak lain memilih untuk lebih berhati-hati.
Rupert Krefting, kepala keuangan perusahaan M&G Investments, percaya masalah transparansi adalah salah satu dari banyak hal yang belum ditangani oleh investor dengan baik. "Apakah ada investor yang cukup besar untuk menerima Facebook?" ia bertanya. "Kurasa tidak ada."
Manajer keuangan Fidelity Amit Lodha berhenti berinvestasi di Facebook tahun 2017 setelah skandal privasi. "Saya pikir penting untuk melihat hal-hal di luar data akuntansi atau spreadsheet dan melihatnya dari perspektif pemerintahan," katanya. “Pengiklan akan membayar perhatian. Jumlah interaksi atau engagement akan jauh lebih menarik daripada pertumbuhan pengguna tetapi Facebook tidak akan menyediakan datanya,” tambah Lodha.
Pada Juli 2018, Facebook merasakan kemungkinan yang bisa terjadi jika pertumbuhan penggunanya melambat. Sejak kuartal sebelumnya, tidak ada pengguna baru di AS dan Kanada, sementara di Eropa jumlah pengguna turun 1 juta. Pendapatan masih tumbuh meski melambat. Harga saham Facebook pun turun 19 persen, mengurangi nilai pasar sebesar $120 miliar, yang mana adalah kerugian terburuk dalam satu hari di nilai pasar perusahaan AS yang pernah tercatat sepanjang sejarah.
Solusi perusahaan untuk ketidakpastian akan angka-angka ini adalah dengan menawarkan nomor akun pengguna "keluarga" yang menyatukan pengguna Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Namun, hal ini mungkin akan terus mengurangi transparansi.
Facebook saat ini dalam serangan akun palsu. Tanpa audit eksternal, independen, dan terperinci secara waktu nyata, investor dan pengiklan tidak mungkin mengetahui berapa banyak pengguna yang sebenarnya yang dimiliki jejaring sosial itu. Facebook perlu mengekspos jumlah asli penggunanya untuk pemeriksaan luar. Hingga saat itu terlaksana, kecurigaan bahwa harga saham perusahaan dan iklan sebagian bergantung pada data yang salah akan mendalam.
Pertama kali dipublikasikan di FT.com pada 18 November 2019
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo