Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Naskah Kolaboratif Dari Kangean

Sebuah film dengan metode penulisan skenario yang tak lazim. Berhasil menggambarkan lapis-lapis masalah gender di daerah perdesaan Indonesia yang terpencil.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pulau Kangean, pulau kecil di perbatasan Laut Jawa dan Selat Makassar, Endah mencoba melawan struktur patriarkis. Penonton yang berlatar kota dan berpendidikan cukup tinggi mungkin cukup karib dengan istilah “struktur patriarkis” dan gerakan feminisme yang menggugat struktur tersebut. Endah menamai keadaan itu dengan sahaja, “Ini adalah dunia lelaki,” yang diucapkan dalam bahasa Kangean.

Itulah kalimat pertama dalam film ini. Sebuah monolog dalam pikiran tokoh utamanya, Endah, yang muncul dalam adegan pertama: Endah menyiangi dan menanam rumput baru di makam ibunya yang telah wafat tiga tahun dalam seragam sekolah menengah atas dan jilbab. Endah melanjutkan monolognya, betapa di pulau itu hanya seorang perempuan yang selalu membela atau setidaknya memahami Endah, dan ia adalah ibunya. Setelah itu, “Inilah kisahku.” Kisah Endah menghadapi lima lelaki.

Film ini terasa personal, tapi penciptaan kisah dan visualisasinya adalah hasil proses kolektif. Dirmawan Hatta, yang sempat mencuri perhatian pada 2013 sebagai penulis/sutradara Toilet Blues dan Optatissimus yang terasa eksperimental, berinisiatif membuat film yang ia sebut “sinema kolaboratif” dalam credit title ini. Gagasannya adalah mendorong pembuatan film oleh warga Indonesia di daerah pinggiran atau terpencil.

Ia mendirikan organisasi Tumbuh Sinema Rakyat. Lalu, dengan bantuan beberapa lembaga donor, ia mengadakan lokakarya Sinema Rakyat di empat daerah di Indonesia dan menghasilkan empat film: Jalan Raya Pipikoro (lokakarya di Sigi, Sulawesi Tengah), Sebelum Berangkat (Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur), Di Tepi Kali Progo (Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Istri Orang. Metode pembuatan filmnya adalah partisipatoris—warga setempat yang ikut dalam lokakarya secara aktif menciptakan cerita dan membuat film bersama-sama.

Dirmawan, dalam wawancara, menerangkan bahwa Istri Orang dimulai dengan peserta lokakarya saling menceritakan kisah hidup dan penyimak akan menyajikan cerita kawannya di kelas. Proses ini ia sebut “riset”, upaya menggali kisah personal warga setempat dan mencari cerita yang akan dipilih kelas sebagai “cerita dasar”. Cerita dasar itu dipilih setelah pembandingan dan elaborasi oleh kelas hingga punya “kelengkapan naratif yang memadai”.

Kadang cerita utama dielaborasi begitu jauh dari “tema”. Misalnya, terajukan pertanyaan dalam kelas, “Kalau punya duit, kamu akan belanja apa?” Menurut Dirmawan, hal tersebut memberikan “tekstur yang lumayan pada cerita yang sedang dielaborasi”. Dengan proses seperti ini, dia menganggap cerita yang tertangkap menjadi organik karena berdasarkan pengalaman. Hasil akhirnya biasanya berupa penunjuk poin-poin cerita. Kadang, kata Dirmawan, naskah malah berupa tabel dalam program Microsoft Excel.

Proses itu memberikan peluang menjawab masalah lain, seperti soal pemeranan. Karena kisahnya organik, pemeranan pun (dalam arti nonprofesional) menjadi optimal. Kisah dalam Istri Orang adalah kisah aktual yang dialami pemeran Endah, Endang Sriwahyuni. Sebagai sebuah proses kolektif, kisah itu tak tumbuh menjadi cerita tunggal. Ada beberapa tambahan. Endang, dalam pengalaman aktualnya yang lengkap, memilih jalan yang berbeda dengan Endah pada akhir kisah. Dan, dalam beberapa adegan, Dirmawan melakukan penghalusan.

Kisah Endah/Endang berangkat dari masalah sosial di Pulau Kangean. Banyak lelaki Kangean yang bekerja di luar negeri, menjadi buruh tenaga kerja Indonesia. Jika telah menikah, lelaki itu meninggalkan istrinya untuk waktu yang lama dan tak tentu. Hal ini membuat para perempuan yang berstatus “istri orang” itu dalam posisi canggung. Di satu sisi, para istri yang ditinggalkan suaminya itu sehari-hari sendiri. Tapi, di sisi lain, mereka juga “milik” seorang lelaki yang entah di mana, yang membuatnya tak boleh didekati siapa pun.

Dan skenario ini lalu bercerita dari sudut pandang Endah tentang dunia sejumlah lelaki di sekitarnya. Lelaki pertama yang diceritakan Endah adalah yang merasa mencintainya. Tapi lelaki itu kemudian meninggalkannya karena merasa harus mengalah kepada rencana ayah Endah menikahkan Endah dengan seorang kaya anak pemilik penggilingan padi. Endah muntah. Bukan karena hamil. Endah merasa tak paham.

Adegan dalam film Istri Orang.

Lelaki kedua suaminya sendiri. Setelah didandani, dipajang, diperarak, dibawa ke rumah suaminya, Endah merasa tidur dengan seorang lelaki asing. Adegan di kamar tidur saat Endah membuka jilbab, dan ditampik, sungguh kuat. “Ia memakaikan jilbab pada kepalaku, dan membebaskanku,” ucap Endah dalam hati. Sang suami kemudian ke Malaysia meninggalkan Endah, membuat Endah kini berstatus “istri orang”. Endah muntah lagi. Endah berpikir, “Muntah adalah kebebasanku yang tersisa.”

Lelaki ketiga adalah ayah mertua Endah. Sang ayah mertua berpikiran lurus, hanya berpikir bagaimana mengurusi hartanya yang banyak.  Lelaki keempat ayah kandung Endah, yang mengawinkan Endah agar ia bisa mendapat uang. Struktur monolog yang tidak sepenuhnya kronologis menimpa adegan-adegan yang maju linear. Sudut pandang bias gender dari Endah makin terasa berulang, memberikan rasa tak nyaman, mulai terasa cerewet. Ternyata ada poin dari kecerewetan itu. Lelaki kelima menawarkan kelok tajam pada persoalan gender.

Lelaki itu membawa air ke penggilingan dan ladang mertua Endah. Mereka mendekat. “Aku sedih, aku bahagia. Atau aku tak paham, tapi aku hidup. Mungkin begitulah hidup,” Endah berpikir. Ketika jelas bahwa mereka harus memilih, bersama atau berpisah, lelaki itu berucap, “Kau berhak memutuskan karena kau perempuan.” Adegan ini memberikan lapisan baru pada persoalan patriarkis yang dihadapi Endah: ia bisa jadi memilih menjadi korban. Kisah Endah ditutup dengan pemahaman lembut akan kompleksitas masalah gender.

Istri Orang sebetulnya punya sinematografi yang patut dipuji. Nilai produksinya tentu rendah, dalam arti hanya mengandalkan cahaya alami. Musiknya pulungan gratis dari Internet, setting apa adanya, in situ. Tapi komposisi gambar, retorika kamera, dan blocking---nya penuh perhitungan matang. Setiap gambar menjadi imaji yang (bukan eksotis, melainkan) kaya. Semua berpadu menjadi naratif visual dan verbal yang optimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus