Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Siman Sampai Susi

Selain marak dengan film yang diangkat dari khazanah sastra dan film biopik, tahun 2019 diwarnai film-film indie yang lahir dari komunitas. Beberapa film indie bahkan berhasil menggebrak layar festival-festival internasional. Tempo memiliki tradisi tahunan pemilihan film sebagai alternatif bagi Festival Film Indonesia yang selama ini ada sekaligus merayakan kegairahan film nasional yang bermutu. Inilah pilihan kami.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG yang lidahnya dipotong, se-orang juara bulu tangkis, seorang remaja “queer”. Film Indonesia sepanjang 2019 banyak menyodorkan tema menarik. Ada yang bertolak dari novel tersohor dan adaptasi sinetron Korea. Ada yang mengangkat film superhero lokal yang dikemas mirip film-film Marvel. Ada juga film dengan gagasan gokil: seorang tukang sulap yang menghilangkan seorang penonton anak di kotak sulapnya. Dan bertahun-tahun anak itu tak kembali.

Tahun ini dunia sinema juga mencatat munculnya film bertema olahraga. Di samping soal bulu tangkis di atas, ada film yang diangkat dari kisah perjuangan atlet panjat tebing yang menyabet medali emas Asian Games 2018. Kita tahu beberapa film dibuat dengan biaya produksi superbesar. Kita tahu juga beberapa film mampu menarik banyak penonton—bertengger lebih dari tiga minggu di layar perak. Tapi ada juga yang bertahan hanya kurang-lebih seminggu.

Suasana penjurian Film Pilihan Tempo 2019 di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 20 November 2019. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Tidak semua film yang secara estetis menantang dan jeli mengangkat gagasan adalah film yang laku di pasar. Film Garin Nugroho, Kucumbu Tubuh Indahku, yang menjadi pemenang Festival Film Tempo tahun lalu (2018) dan kemudian menjadi pemenang Festival Film Indonesia tahun ini, misalnya, tak sampai seminggu bertahan di gedung bioskop. Bahkan Kucumbu Tubuh Indahku dianggap merepresentasikan dunia lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan di beberapa daerah dihentikan secara paksa oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan tertentu. Padahal film ini jelas bertolak dari realitas kesenian tradisional Nusantara. Tubuh transgender adalah hal yang biasa—dari ludruk di Jawa Timur sampai ritual bissu di Sulawesi mengandung unsur itu.

Karena itu, gagasan dan cara pandang sebuah film terhadap sebuah realitas adalah hal penting. Sebagaimana di dunia kreatif lain, perjuangan seorang sutradara adalah perjuangan melawan klise. Perjuangan menyodorkan sebuah masalah dengan cara yang menarik dan “lebih dalam”. Tentu saja patokan kualitas film juga harus tecermin dari kualitas akting para pemainnya. Itu tak bisa ditawar. Film mula-mula adalah dunia seni peran.

Pembaca, Tempo memiliki tradisi memilih film Indonesia terbaik beserta kategori pendukung lain sejak 2011. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, kami memilih film, sutradara, penulis skenario, aktor dan aktris, serta aktor dan aktris pendukung pilihan Tempo. Kami percaya ajang seperti Film Pilihan Tempo perlu diperbanyak karena kurasi semacam ini akan menghidupkan kompetisi. Sepak bola maju di Eropa bukan karena kegilaan penontonnya saja, tapi juga lantaran hidupnya liga-liga kecil yang secara alamiah menjadi saringan munculnya para pemain terbaik.


 

gagasan dan cara pandang sebuah film terhadap sebuah realitas adalah hal penting. Sebagaimana di dunia kreatif lain, perjuangan seorang sutradara adalah perjuangan melawan klise.

 


 

Film yang kami pilih tak harus sudah diputar di bioskop komersial. Kami memilih semua film yang dirilis selama Desember 2018-November 2019, asalkan film itu telah diputar di depan publik, seperti di festival-festival atau di komunitas-komunitas. Film-film itu juga tak harus melalui badan sensor. Kami kemudian menyeleksi, mendiskusikan, dan memperdebatkannya sebelum memilih pemenangnya.

Pembaca, tahun ini kami menobatkan The Science of Fictions atau Hiruk Pikuk Si Alkisah karya sutradara Yosep Anggi Noen sebagai Film Pilihan Tempo. Film ini kami anggap memiliki gagasan yang berani. The Science of Fictions ingin mengungkap persoalan tragedi politik 1965 tapi dengan cara tak terduga. Metaforis. Tak terbayangkan sebelumnya seorang sutradara berani mengangkat persoalan kekerasan negara melalui “angle” kisah pendaratan manusia di bulan. Dan itulah yang dilakukan Anggi. Film Anggi berkisah tentang seorang petani bernama Siman yang lidahnya dipotong lantaran tepergok mengintip rekayasa syuting pendaratan manusia di bulan yang dibikin kru asing di Pantai Parangkusumo, Daerah Istimewa Yogyakarta—pantai mistis yang sering menjadi lokasi labuhan untuk memberikan sesajen kepada Nyi Roro Kidul.

“The Science of Fictions berhasil memberi pernyataan metaforis yang kuat tentang Indonesia yang masih dibebani kekerasan kolektif pada 1965,” kata Hikmat Darmawan, yang menjadi salah satu anggota dewan juri kami. Selain diisi anggota redaksi Tempo yang biasa meliput, menulis, dan menyunting tulisan film, anggota dewan juri Film Pilihan Tempo adalah pengamat dari luar. Di samping mengundang Hikmat Darmawan, kami mengundang Adrian Jonathan Pasaribu. Keduanya juga—setelah melalui serangkaian rapat dan diskusi—kami undang untuk menuliskan argumentasi pilihan kami. Adrian menulis argumentasi Film Pilihan Tempo 2019 dan Hikmat mengulas argumentasi Skenario Pilihan Tempo 2019.

 

• • •

Pembaca, dalam menentukan film pilihan dan kategori pendukung lain, kami melakukan serangkaian diskusi maraton. Hasilnya, selain terpilih sebagai film terbaik, The Science of Fictions meraih kategori aktor dan sutradara pilihan Tempo 2019. Dalam film ini, aktor Gunawan Mar-yanto kami anggap begitu meyakinkan berperan sebagai Siman, tokoh yang lidahnya dipotong karena menyaksikan syuting pendaratan manusia di bulan. Gunawan mampu berperan menjadi seorang astronaut yang dianggap tak waras oleh masyarakat.

Akting Gunawan sehari-hari berjalan melambat bak melangkah di bulan tidak jatuh ke sebuah akting komikal, tapi sebuah akting yang menampilkan suatu trauma yang pahit. Di wajah dan gestur tubuhnya selalu terbayang-bayang sebuah tragedi. Gunawan berakting tanpa dialog sama sekali. Dia juga tak menggunakan bahasa isyarat untuk berinteraksi dengan pemain lain. Dalam penyutradaraan The Science of Fictions, Yosep Anggi Noen kami nilai mampu membuat habitat yang bagus untuk para aktor sehingga semuanya menonjol dan tampil saling mendukung. Ia berhasil menghadirkan penyutradaraan yang kuat dalam hal penciptaan adegan-adegan yang imajinatif, puitis, sekaligus simbolis.

Film Abracadabra

Pembaca, saat kami menentukan aktris pilihan, ada tiga nomine yang mengerucut menjadi kandidat: Sha Ine Febriyanti (Bumi Manusia), Marsha Timothy (Bebas), dan Laura Basuki (Susi Susanti: Love All). Setelah berdiskusi cukup lama, kami bersepakat memilih Laura Basuki, yang berperan sebagai Susi Susanti dalam film biopik Susi Susanti: Love All, sebagai Aktris Pilihan Tempo kali ini.

Film The Science of Fictions

Kami menilai Laura berhasil menaklukkan beragam kesulitan dalam memerankan Susi, dari berlatih fisik memperagakan gerak dan kuda-kuda khas Susi saat melakukan servis, jatuh-bangun menepuk kok, sampai menyelami lapisan-lapisan lain kehidupan Susi yang tak banyak diketahui publik. Di balik segudang prestasi yang dia torehkan, sesungguhnya Susi sehari-hari adalah sosok yang frustrasi karena mengalami diskriminasi ras. Dengan cemerlang Laura mampu menampilkan sosok Susi di luar lapangan bulu tangkis itu.

Film Dua Garis Biru

Akan halnya untuk Aktris Pendukung Pilihan, kami satu suara memilih Christine Hakim, yang berperan sebagai Nyi Misni, perempuan sepuh yang penuh dendam dan punya hubungan yang kompleks dengan putranya, dalam film Perempuan Tanah Jahanam karya sutradara Joko Anwar. Kami menilai Christine berhasil memerankan Nyi Misni dengan sangat memukau. Dia menjelma menjadi Nyi Misni dari kepala hingga ujung kaki. “Christine berhasil menampilkan Nyi Misni yang kompleks dan terdiri atas banyak lapis yang mengejutkan, ganjil, mengerikan, dan sungguh membuat kita jeri sekaligus ingin terus-terusan menyaksikan tingkahnya,” ujar salah satu anggota dewan juri. Masih tertancap dalam ingatan bagaimana akting Christine sebagai Nyi Misni berjalan agak terpincang-pincang sembari menjemur kulit dan buah dada seorang perempuan yang kulitnya baru disayat dari tubuhnya.

Untuk Aktor Pendukung Pilihan, kami sepakat memilih Baskara Mahendra, yang berperan sebagai Jojo dalam film Bebas. Dalam film arahan sutradara Riri Riza yang merupakan adaptasi dari film Korea Selatan, Sunny, tersebut, Baskara memerankan lelaki yang kefeminin-femininan. Karakter “lelaki queer” demikian umumnya ditampilkan stereotipe dalam jagat sinema kita. Gerak-geriknya selalu dilucu-lucukan dan kalimat-kalimat yang diucapkannya selalu dibubuhi frasa-frasa untuk mengundang tawa penonton. Banyak mereka yang menampilkan sosok lelaki yang kefeminin-femininan tersebut lalu meniru (yang tentu saja tak sampai) gaya Didi Petet, yang memainkan Emon secara cemerlang dalam film Catatan Si Boy. Baskara sebaliknya. Ia tak terjebak menampilkan gestur melambai atau ucapan dengan intonasi kebodor-bodor-an. Ia mencari sendiri bagaimana menjadi remaja dengan karakter demikian.

Film Istri Orang

Diskusi cukup alot terjadi saat kami menyeleksi Skenario Pilihan. Ada empat skenario yang kami seleksi untuk menjadi kandidat: The Science of Fictions (Yosep Anggi Noen), Dua Garis Biru (Gina S. Noer), Perempuan Tanah Jahanam (Joko Anwar), dan Istri Orang (Dirmawan Hatta). Setelah berdiskusi panjang, para juri bersepakat memilih Istri Orang sebagai Skenario Pilihan Tempo 2019. Skenario film Istri Orang karya Dirmawan Hatta berhasil menggambarkan lapis-lapis masalah gender di daerah perdesaan Indonesia yang terpencil.

Metode penulisan skenario Istri Orang juga tak lazim. Penulis skenario Dirmawan Hatta, yang dikenal lewat film Toilet Blues dan Optatissimus, mengatakan proses pembuatan film itu dimulai dengan mengadakan lokakarya di Pulau Ka-ngean, pulau kecil di perbatasan Laut Jawa dan Selat Makassar, yang menjadi lokasi sekaligus latar Istri Orang. Warga setempat yang ikut lokakarya secara aktif mencipta cerita bersama-sama dan membuat filmnya secara aktif bersama pula.

Film Mountain Song

Menurut Hikmat Darmawan, Istri Orang sangat berhasil mengangkat persoalan lokal menjadi sebuah persoalan sosial dan gugatan terhadap sistem patriarki sekaligus reflektif terhadap posisi perempuan yang belum tentu sepenuhnya jadi korban dalam sistem tersebut. “Sinematografi dan editing-nya juga sangat cerdas dan cergas,” kata Hikmat.

Pembaca, inilah argumentasi kami.

Fotografer Tempo Gunawan Wicaksono saat memotret Penulis Skenario Pilihan Dirmawan Hatta di Salaman, Magelang, Jawa Tengah, 4 Desember 2019. Dhika/Tumbuh Sinema Rakyat

 


 

TIM LAPORAN KHUSUS FILM PILIHAN TEMPO 2019

PENANGGUNG JAWAB: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim | KEPALA PROYEK: Isma Savitri | KOORDINATOR: Moyang Kasih Dewimerdeka | DEWAN JURI DAN PENULIS: Leila S. Chudori, Hikmat Darmawan, Adrian Jonathan Pasaribu, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka, Aisha Saidra, Dian Yuliastuti | PENYUNTING: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim | PENYUMBANG BAHAN : Shinta Maharani (Yogyakarta) | FOTO: Gunawan Wicaksono (Koordinator), Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih | BAHASA: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama | DESAIN: Djunaedi, Munzir Fadli, Lukmanul Hakim, Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus