Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Bisnis Anak Muda Asia

Tensi yang digambarkan di film Crazy Rich Asian memang realita bagi bisnis keluarga Singapura dan negara-negara Asia lainnya.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu adegan absurd di film Crazy Rich Asians menggambarkan pesta di atas sebuah kapal barang. Setelah itu seorang pria terlihat ditembakkan keluar dari moncong sebuah meriam raksasa yang menghasilkan hempasan kuat yang membuat model berbikini yang menarik pelatuknya terjungkal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di luar dari film yang menjual kehidupan mewah, glamor, dan romansa kelompok superkaya Asia, komedi romantis ini - yang diadaptasi dari novel Kevin Kwan - mengingatkan penonton akan isu krusial dalam menjalankan bisnis keluarga Asia; yaitu suksesi bisnis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film ini mengangkat isu keengganan pemain utama laki-laki dalam karir akademisnya untuk bergabung bersama bisnis keluarga. 

Tensi yang digambarkan di film tersebut memang realita bagi bisnis keluarga Singapura dan negara-negara Asia lainnya. Generasi muda mulai mengambil keputusan besar untuk masa depan mereka yang kontras dari arah bisnis keluarga. Rumitnya manajemen datang seiring bertumbuhnya bisnis sektor ini.

“Untuk kesekian kalinya, hal ini menjadi waktu dalam hidup yang penuh ketidakpastian,” sebut Richard Loi, pemimpin Deloitte Private di Asia tenggara. 

Strategi bisnis keluarga menghadapi transisi ini menjadi perhatian global terutama setelah Asia - Pasifik sudah menyalip Amerika Utara dalam hal jumlah penduduk kaya (mereka yang memiliki kekayaan aset lebih dari $1 juta diluar properti utama mereka). Menurut konsultan Capgemini, kekayaan total Individu bernilai tinggi (HNWIs) di Asia - Pasifik mencapai $21 triliun pada tahun 2018.

Berbanding terbalik dengan dinasti keluarga A.S. dan Eropa, dinasti Asia baru memasuki generasi ketiga atau kedua. Situasi inilah yang membuat banyak menganggap dinasti Asia sedang memasuki fase  manajemen bisnis yang rentan, yaitu momen dimana pendiri perusahaan telah tutup usia namun keluarga yang ditinggalkan belum mendirikan struktur institusi yang kuat. 

“Momen sentral ada di generasi ketiga ini. Dimana keluarga berpotensi kehilangan segalanya,” sebut Annie Koh, Direktur Akademi Institut Bisnis Keluarga di Universitas Manajemen SIngapura. Lembaga ini didirikan khusus untuk membantu keluarga pebisnis menghindar dari “kutukan generasi ketiga” dengan mengadaptasi pengalaman-pengalaman berharga luar untuk Asia Tenggara.

Pesatnya akumulasi kekayaan di Asia Tenggara menandakan saat ini bisnis keluarga sedang berpindah tangan “lebih masif dibandingkan 50 tahun yang lalu.” sebut Loi. Namun, generasi para pengganti ini sedang menghadapi situasi ekonomi global, politik, dan perkembangan teknologi, jauh lebih rumit yang membuat anggota keluarga muda kesulitan untuk mengandalkan data prediksi keuntungan. Hal ini dapat ketidakyakinan kapabilitas manajemen bisnis para penerus, yang berpotensi membuat konflik.

Tetapi mulai muncul banyak tanda bahwa bisnis keluarga sedang beradaptasi dengan baik terhadap berbagai tekanan. Sejarah mengajarkan bahwa pemimpin sebuah bisnis dinasti Asia kesulitan untuk melepaskan perusahaan mereka dan menunda struktur regenerasi perusahaannya.

Tiga bisnis klan Asia dengan progres regenerasi yang kontras ada pada bisnis keluarga Kuok, Wee, dan Yong dimana anggota generasi muda menunjukkan jati dirinya bahkan di bawah bayang-bayang generasi yang lebih senior. 

Tokoh patriarki senior simbol dinasti bisnis adalah Robert Kuok (96), dengan kekayaan USD12.3 billion yang berasal dari Malaysia. Orang terkaya negeri jiran ini membangun konglomerasi multinasional dari agrobisnis, properti, hingga pengiriman logistik. Pendiri hotel-hotel Shangri-La ini sesumbar bahwa dinasti dia bisa bertahan empat generasi apabila anak-anaknya mengikuti “amanatnya.”

Namun, simbol pemimpin abadi yang tersemat di diri Kuok berpeluang punah oleh laporan survei Deloitte-Singapore Management University di tahun 2013 yang mayoritas respondennya adalah bisnis keluarga Asia Tenggara. Pada studi tersebut, 62 responden generasi pertama mengatakan bahwa generasi saat ini harus melepaskan diri dari bisnis keluarga di umur 70-an. Akan tetapi, persentase tersebut menurun ke 23 dan 24 persen untuk responden generasi ketiga dan kedua, dan menjadi 10 persen untuk responded generasi turunannya. 

Kepala perencanaan bisnis keluarga dan solusi asuransi DBS Private Bank, Lee Woon Shiu, mengatakan bahwa pucuk pimpinan dinasti mulai melirik perencanaan penerus pada akhir dekade 50-an dan 60-an, satu dekade lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. 

Perkembangan Singapura menjadi pusat manajemen kekayaan dapat mengubah perencanaan regenerasi lebih jauh lagi. Keluarga keturunan Asia dalam sejarahnya mengandalkan instrumen regenerasi pada warisan atau perusahaan induk. Akan tetapi, seiring dengan gagalnya instrumen tersebut menangani kompleksitas struktur dan hubungan, Lee mengatakan bisnis keluarga mulai mengadopsi private trust dan kantor keluarga. Menurut Otoritas Moneter Singapura jumlah “kantor keluarga” tumbuh empat kali lipat antara 2016 dan 2018. 

Lee mengatakan bahwa contoh yang diperlihatkan oleh pebisnis-pebisnis internasional dengan mendirikan perusahaan keluarga,  perusahaan aset kepercayaan, atau yayasan amal guna memanfaatkan rezim pajak menggiurkan Singapura, mulai tidak menarik bagi pemain lokal. 

Kalangan penerus perusahaan juga sudah mulai berevolusi dengan keluarga pemilik yang mulai mempekerjakan diluar dari anggota keluarga sebagai pemimpin eksekutif. Keputusan seperti ini tidak mudah untuk diambil mengingat sikap orang Asia yang berharap anggota keluarga muda mengikuti jejak para pendahulu. 

“Ada tekanan tersendiri di Asia, tuntutan akan tanggung jawab dan sikap berbakti,” kata Michelle Yong, anggota keluarga generasi keempat dibalik perusahaan konstruksi raksasa berbasis di Singapura, Woh Up.

Koh mengatakan, seiring dengan tumbuhnya bisnis keluarga, “talenta di luar keluarga inti akan dibutuhkan untuk membawa bisnis ke level lebih tinggi.” Survei Deloitte-SMU mendapati 77 persen responden bisnis keluarga generasi pertama setuju anggota keluarga harus mengambil alih bisnis. Namun angka tersebut turun ke 35 persen dan 24 persen dengan responden generasi kedua dan ketiga. 


***

Keponakan Robert Kuok, Kuok Meng Ru (31), dan anak laki-laki dari salah satu pendiri Wilmar International Kuok Khoon Hong memutuskan untuk menjalankan hidup bertolak belakang dari dinasti bisnis keluarga. Setelah menjalankan sebagian besar hidupnya di sebuah sekolah asrama Inggris dan diteruskan ke jurusan matematika Universitas Cambridge, Kuok Meng Ru kembali ke Singapura dan membantu mendirikan platform kolaborasi musisi BandLab yang berbasis Cloud. Saat ini platform tersebut memiliki lebih dari 11 juta pengguna aktif dan membantu terciptanya lebih dari dua juta lagu setiap bulannya.

Pengusaha penyuka musik Blues ini tengah membangun ekosistem musik, terlepas dari Aplikasinya sendiri, perusahaan ini juga menjual gitar, alat-alat dan aksesoris musik lainnya. BandLab membeli majalah musik milik TI Media, NME dan Uncut, setelah sebelumnya menjual 49 persen saham di Rolling Stone. Perusahaan ini juga berencana menghidupkan NME music award pada bulan Februari setelah  acara penghargaan yang lahir pada tahun 1953 tersebut tidak dilangsungkan selama satu tahun. 

Strategi Kuok Meng Ru di industri musik seperti mengambil alih dan mengubah Swee Lee terinspirasi dari agribisnis ayahnya. “Segala hal yang mereka implementasikan di industri makanan, dari perkebunan hingga brand konsumen, terlihat sangat menarik dan bagaimana strategi tersebut bisa diaplikasikan ke dunia musik,” sabut Kuok Meng Ru. 

Namun, dia tidak mengesampingkan kemungkinan untuk bergabung bisnis keluarganya. “Apakah ada tekanan? Tidak. Apakah saya akan melakukan itu dengan mengorbankan orang lain yang menurutku bisa bekerja lebih baik daripada saya hanya karena saya ada hubungan keluarga? Tentu tidak,” kata Kuok dengan menggaris-bawahi bahwa tidak ada anggota keluarga dia yang berbisnis di bidang yang dia jalani.

Generasi muda lainnya yang memisahkan diri dari bisnis keluarga adalah Wee Teng Wen (39), anak tertua dari Wee Ee Cheong (66) pemimpin eksekutif bank UOB - yang menjadi satu-satunya bank di Singapura yang dijalankan bisnis keluarga. 

Awal tahun 2019 Wee Ee Cheong membuka kemungkinan untuk memberi tongkat penerus kepada seseorang yang bukan anggota keluarga untuk meneruskan bisnis yang diberdirikan oleh kakeknya lebih dari 80 tahun yang lalu. Kekayaan keluarga ini menurut Forbes di 2017 adalah USD 6,25 miliar.  

Akan tetapi, Wee Teng Wen menjatuhkan pilihan pada keramahtamahan daripada perbankan dengan memperkenalkan Lo & Behold Group yang mengelola perusahaan-perusahaan diantaranya beach club, restoran, bar, dan hotel. “Lebih banyak keterbukaan dan dukungan pada suksesi bisnis dalam banyak bentuk,” katanya. 

Saya masih sering mendengar orang berkelakar ke saya “Ok, kapan kamu akan bergabung ke bisnis keluarga?”

***

Dia merasa bersyukur dengan dukungan kedua orangtuanya dalam hal pilihan karirnya sedari kembalinya dia ke Singapura setelah menjalani pendidikan di Universitas Pennsylvania dan pekerjaan dia sebagai konsultan di A.S. Akan tetapi, dia mengakui tekanan tidak sepenuhnya tidak hadir. “Secara eksplisit memang tidak ada begitu banyak tekanan, namun secara implisit terkadang tekanan itu ada,” katanya “saya sering mendengar orang berkelakar setengah serius ‘Ok, kapan kamu akan bergabung ke bisnis keluarga?’ dan kadang pertanyaannya serius yang diperlihatkan sebagai candaan. Terus ada harapan untuk bergabung dengan bisnis keluarga, entah itu baik atau buruk.”

Namun, Wee Teng Wen tetap tidak memberikan indikasi untuk bergabung dengan UOB dalam waktu dekat. Apalagi melihat portfolio Lo & Behold yang sudah memiliki 300 staf, 16 properti, dan satu hotel lagi kedepannya. 

Dia memilih terjun ke bisnis perhotelan untuk membantu Singapura berubah lebih percaya diri secara kultural dan menanggalkan tampilan Singapura yang “efisien, bersih, dan nyaris steril. Yang sering diangkat adalah memakan permen karet bisa membuat seseorang dihukum.” 

Properti terbaru Lo & Behold yang diluncurkan pada tahun 2018 adalah klub privat Straits Clan, yang juga menjadi salah satu arus baru klub di Singapura yang didasari pada keanggotaan yang berlatar-belakang keragaman ketimbang tema tradisional; profesi, keluarga, atau gender yang sama. 

Generasi muda lainnya yang tergabung ke bisnis keluarga mereka mulai merubah tempatnya bernaung. Di Woh Hup, Michelle Yong (40) mengambil pendidikan di Inggris dan bekerja sebagai konsultan sebelum menjadi direktur Aurum - sebuah anak perusahaan yang fokus pada proyek pembangunan perumahan dengan performa kurang memuaskan. Michelle mengubah semua itu dengan meluncurkan bisnis co-working Found8 dan ruang co-working berfokus pada kebugaran para profesional bernama Core Collective. 

Kakeknya, Yong Nam Seng adalah presiden Woh Hup, sedangkan bapaknya, Yong Tiam Yoon, berperan sebagai wakilnya. Sebagai perempuan di bisnis yang didominasi oleh laki-laki, Michelle Yong sering menghadapi berbagai tantangan sebelum dapat memimpin bisnis keluarganya yang sering menggarap proyek besar Singapura. “Saudara laki-laki saya dibentuk untuk mengambil alih bisnisnya,” kata Michelle Yong. “Hal ini sudah kita ketahui dari kecil. Jatah kursi tersebut sudah diambil.”

***

Akademisi yang mempelajari kasus Aurum, Koh, mengatakan bahwa mengambil anak perusahaan itu Michelle Yong memberikan diri dia kesempatan untuk menumbuhkan gaya dia sendiri di lingkungan yang menyerupai perusahaan rintisan tapi tetap menjaga hubungan dengan koneksi pengembang dari bisnis keluarganya, Woh Hup. 

“Harapan saya adalah untuk mencapai level Virgin untuk bidang ekonomi bersama,” katanya. Michelle saat ini berinvestasi bentuk modern dari bisnis yang sedang dirintis, dan memperluas diri keluar Singapura seperti Malaysia. “Aurum sudah bukan lagi pengembang properti lagi.” katanya. 

Membayangkan apa yang akan nanti ia tinggalkan, Michelle Yong mengatakan ingin memastikan bahwa ketiga anaknya akan mendapat banyak opsi. “Generasi saya merasa ada banyak orang yang ingin menjadi pengusaha. Hal itu mungkin mempengaruhi bisnis keluarga dan bagaimana generasi berikutnya menimbang opsi yang mereka miliki.”

Sejalan dengan trend yang terjadi sebenarnya di Asia, karakter utama di Crazy Rich Asians akhirnya memilih untuk fokus menjadi akademisi yang bertolak belakang dengan bisnis keluarganya. Cerita tersebut memang fiksi, namun pada akhirnya tidak terlalu jauh dari realita yang ada.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus