HAMPIR tak ada udara segar lagi di Sibolga -- sebuah kota yang
terselip di antara kaki Bukit Barisan dan Samudera Indonesia.
Bila angin gunung bertiup, warga kota di bagian utara menahan
napas. Sebaliknya, jika angin laut berhembus, penduduk Sibolga
menutup hidung.
Bau busuk. Ini yang mengganggu penduduk kota itu sejak sebuah
pabrik tepung ikan berdiri di sana pada 1974. "Baunya memang
luar biasa," tutur Chairudin Siregar SH, Walikota Sibolga, "bila
baju kita tidak segera diganti, baunya bisa lengket sampai
berhari-hari." Akhir bulan lalu Chairudin meninjau langsung ke
pabrik itu.
Sebagai kota nelayan memang tak mengherankan bila di kota ini
terdapat pabrik semacam itu. Ikan-ikan yang tak laku dijual oleh
para nelayan atau tengkulak dan sudah membusuk rata-rata 10 ton
tiap hari. Pabrik ini membeli ikan-ikan busuk itu untuk diproses
menjadi tepung. Selama proses itu air yang terperas dari
ikan-ikan tadi disalurkan lewat pipa dan lepas ke udara dengan
bau yang sangat tidak sedap di hidung. Pabrik itu sendiri
terletak di Desa Aek Habil, agak di luar kota. Tapi bila angin
bertiup, bau itu mengganggu hidung hampir semua penduduk kota.
Tak lama setelah berdiri, warga Sibolga memang telah
berkali-kali mengajukan protes agar pabrik itu dipindah atau
dibuat saringan untuk mengurangi bau itu. Tapi protes yang
dikirim ke berbagai instansi pemerintah setempat itu tak pernah
mendapat tanggapan. Akhirnya penduduk bosan, lalu diam. Baru
dalam beberapa bulan terakhir ini protes itu terdengar lagi,
lebih keras. Sehingga walikota berkali-kali merasa perlu melihat
langsung keadaan pabrik itu. Kata Chairudin, "kalau sampai akhir
April 1980 pabrik tak dapat mengurangi bau busuk itu, izinnya
akan saya cabut."
Ancaman itu rupanya tak hanya karena soal bau. Sebab dr.
Bambang, Kepala Puskesmas Aek Habil, yang berdampingan dengan
pabrik itu, dengan segera mengungkapkan bahwa karena bau tak
sedap dari pabrik itu "dari sekian pasien yang berobat ke
puskesmas ini setiap bulan, paling banyak menderita saluran
pernapasan bagian atas." Yaitu antara 250 hingga 300 orang
pasien. Dan kalau berkepanjangan dapat menimbulkan penyakit
lebih parah lagi, kata dokter itu. Tak lupa ia menambahkan bahwa
ketika penduduk beberapa desa di kawasan pabrik itu dijangkiti
wabah muntah berak pertengahan 1979 lalu, "ternyata berpangkal
pada bau busuk pabrik itu."
Sia-sia
Sebab, tutur Bambang lagi, bau busuk yang melekat di pakaian
orang sampai berhari-hari itu, telah mengundang lalat
berkerubung. Juga hinggap di makanan atau minuman, terutama di
kedai-kedai kopi yang bertebaran di sudut-sudut kota. Dari
sinilah penyakit itu menebar.
Usaha dari pihak pabrik untuk mengurangi bau busuk itu bukannya
tak ada. Menurut G. Frans, manajer pabrik, misalnya akhir tahun
lalu telah dipasang satu unit alat peredam bau. Tapi sia-sia,
bau itu tetap saja menusuk hidung. Sehingga akhirnya Frans
sendiri yang mengeluh. Sebab katanya, jauh sebelum ada pabrik,
sebenarnya bau busuk itu sudah menebar dari berbagai pangkalan
ikan di kota nelayan itu. Terutama yang berdekatan dengan
dermaga pukat harimau. "Dengan begitu, adanya pabrik ini
sebenarnya hanya memusatkan bau ikan busuk yang sebelumnya
terpencar-pencar," tambah Frans lagi.
Karenanya pengusaha itu belum mau mengomentari ancaman
Chairudin. Sementara. dari pihak balaikota tampaknya ancaman itu
bukan main-main lagi. Terutama jika diingat bahwa dari pabrik
ini kotamadya hanya mendapat Rp 30.000 setiap tahun sebagai uang
Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Dan pabrik ini hanya
mempekerjakan 20 orang warga kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini