Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Angin Laut Angin Gunung, Di Sibolga

Penyebar bau dan menimbulkan penyakit bagi warga kota. diancam akan ditutup kalau tidak dapat mengatasi bau tersebut. (kt)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tak ada udara segar lagi di Sibolga -- sebuah kota yang terselip di antara kaki Bukit Barisan dan Samudera Indonesia. Bila angin gunung bertiup, warga kota di bagian utara menahan napas. Sebaliknya, jika angin laut berhembus, penduduk Sibolga menutup hidung. Bau busuk. Ini yang mengganggu penduduk kota itu sejak sebuah pabrik tepung ikan berdiri di sana pada 1974. "Baunya memang luar biasa," tutur Chairudin Siregar SH, Walikota Sibolga, "bila baju kita tidak segera diganti, baunya bisa lengket sampai berhari-hari." Akhir bulan lalu Chairudin meninjau langsung ke pabrik itu. Sebagai kota nelayan memang tak mengherankan bila di kota ini terdapat pabrik semacam itu. Ikan-ikan yang tak laku dijual oleh para nelayan atau tengkulak dan sudah membusuk rata-rata 10 ton tiap hari. Pabrik ini membeli ikan-ikan busuk itu untuk diproses menjadi tepung. Selama proses itu air yang terperas dari ikan-ikan tadi disalurkan lewat pipa dan lepas ke udara dengan bau yang sangat tidak sedap di hidung. Pabrik itu sendiri terletak di Desa Aek Habil, agak di luar kota. Tapi bila angin bertiup, bau itu mengganggu hidung hampir semua penduduk kota. Tak lama setelah berdiri, warga Sibolga memang telah berkali-kali mengajukan protes agar pabrik itu dipindah atau dibuat saringan untuk mengurangi bau itu. Tapi protes yang dikirim ke berbagai instansi pemerintah setempat itu tak pernah mendapat tanggapan. Akhirnya penduduk bosan, lalu diam. Baru dalam beberapa bulan terakhir ini protes itu terdengar lagi, lebih keras. Sehingga walikota berkali-kali merasa perlu melihat langsung keadaan pabrik itu. Kata Chairudin, "kalau sampai akhir April 1980 pabrik tak dapat mengurangi bau busuk itu, izinnya akan saya cabut." Ancaman itu rupanya tak hanya karena soal bau. Sebab dr. Bambang, Kepala Puskesmas Aek Habil, yang berdampingan dengan pabrik itu, dengan segera mengungkapkan bahwa karena bau tak sedap dari pabrik itu "dari sekian pasien yang berobat ke puskesmas ini setiap bulan, paling banyak menderita saluran pernapasan bagian atas." Yaitu antara 250 hingga 300 orang pasien. Dan kalau berkepanjangan dapat menimbulkan penyakit lebih parah lagi, kata dokter itu. Tak lupa ia menambahkan bahwa ketika penduduk beberapa desa di kawasan pabrik itu dijangkiti wabah muntah berak pertengahan 1979 lalu, "ternyata berpangkal pada bau busuk pabrik itu." Sia-sia Sebab, tutur Bambang lagi, bau busuk yang melekat di pakaian orang sampai berhari-hari itu, telah mengundang lalat berkerubung. Juga hinggap di makanan atau minuman, terutama di kedai-kedai kopi yang bertebaran di sudut-sudut kota. Dari sinilah penyakit itu menebar. Usaha dari pihak pabrik untuk mengurangi bau busuk itu bukannya tak ada. Menurut G. Frans, manajer pabrik, misalnya akhir tahun lalu telah dipasang satu unit alat peredam bau. Tapi sia-sia, bau itu tetap saja menusuk hidung. Sehingga akhirnya Frans sendiri yang mengeluh. Sebab katanya, jauh sebelum ada pabrik, sebenarnya bau busuk itu sudah menebar dari berbagai pangkalan ikan di kota nelayan itu. Terutama yang berdekatan dengan dermaga pukat harimau. "Dengan begitu, adanya pabrik ini sebenarnya hanya memusatkan bau ikan busuk yang sebelumnya terpencar-pencar," tambah Frans lagi. Karenanya pengusaha itu belum mau mengomentari ancaman Chairudin. Sementara. dari pihak balaikota tampaknya ancaman itu bukan main-main lagi. Terutama jika diingat bahwa dari pabrik ini kotamadya hanya mendapat Rp 30.000 setiap tahun sebagai uang Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Dan pabrik ini hanya mempekerjakan 20 orang warga kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus