JUMLAH gelandangan di Jakarta menurun. Setidak-tidaknya
terlihat pada angka hasil sensus baru lalu. Dalam sensus 1971
jumlah mereka masih tercatat hampir 30.000. Sedang dalam sensus
1980 hanya tinggal 19.925 orang.
Angka-angka itu berari tiap tahun rata-rata 1.000 orang
gelandangan berhasil membebaskan diri dari status sebagai
tunawisma. Jika benar begitu, mengapa?
Kepala Kantor Sensus & Statistik DKI, Bambang Sungkono MA,
mengaitkan penurunan angka itu dengan kondisi sosial ekonomi
yang belakangan ini, katanya, menjadi lebih baik. Sedangkan
Wagub DKI, Sardjono Soeprapto, melihat angka urbanisasi yang
"berkurang karena perkembangan kota-kota di luar Jakarta".
Menurut Sardjono, ada orang yang 10 tahun lalu bergelandangan,
sekarang berhasil meningkatkan taraf hidupnya, bahkan mampu
memiliki rumah, walaupun gubuk. (lihat box).
Sayang Sardono tak menyebut angka pasti tentang kesuksesan
gelandangan di ibukota ini. Catatan terperinci juga tak terdapat
di Kantor Statistik DKI. Bahkan pimpinan Biro Penolong Keluarga
Sinar Kasih (yang berusaha membina para gelandangan dan
pengemis), Ign. Dachlan Setiawan, tanpa ragu mengungkapkan bahwa
sebenarnya tak banyak gelandangan yang mau dibina. Karena itu,
menurut Dachlan, "saya betul-betul prihatin".
Melalui transmigrasi rupanya juga tak membawa hasil banyak.
Menurut Kepala Urusan Tuna Sosial Dinas Sosial DKI, Drs. A.C.
Sedyo Sarwadi, memang selama tahun anggaran 80/81 sebanyak 313
KK gelandangan ditransmigrasikan. Sayang pelaksanaannya tidak
selalu ada dalam tiap dua tahun sekali. Tapi setidak-tidaknya
transmigrasi turut punya andil dalam mengurangi jumlah tunawisma
di Jakarta.
Karim & Sueb
Gelandangan dan pengemis berbeda. Golongan pertama punya mata
pencaharian: memungut puntung rokok mengumpulkan barang-barang
bekas, berdagang kecil-kecilan, kuli, pengemudi becak,
juruparkir, tukang cuci mobil dan lain-lain --tapi tak
punya tempat tinggal. Pengemis, umumnya berdiam di gubuk-gubuk,
bahkan ada yang menyewa tempat tinggal, dengan pekerjaan
semau-mata meminta-minta.
Perbedaan lain lagi para gelandangan ada yang berhasil
ditransmigrasikan dan dimukimkan (seperti di Jonggol, Bogor)
setelah dibina di panti-panti khusus. Tapi pengemis: jika
tertangkap dalam razia, dipulangkan ke kampung asal mereka
dengan dibekali karcis keretaapi, meskipun umumnya mereka
kembali ke Jakarta lagi.
Jumlah pengemis di Jakarta, menurut sensus 1980, lebih
membesarkan hati hanya 147 orang. Dari mana angka ini? Sebab,
selain mereka cukup lincah menghindari petugas kota, juga pada
waktu sensus 1980 berlangsung banyak mereka pulang ke kampung,
seperti Brebes, Tegal, Indramayu.
Karim dan Sueb adalah dua warga Jakarta yang secara tetap
menyewakan rumah mereka di bilangan Galur, Jakarta Pusat, kepada
para pengemis. Satu ruangan berukuran 1 x 2 meter, dipungut
bayaran antara Rp 25 sampai Rp 40 setiap orang perhari, paling
lama dua minggu.
Menurut Karim, bagaikan arus, para pengemis mempunyai jadwal
tertentu masuk ke Jakarta -- misalnya sekitar Idul Fitri.
Sesudah itu menghilang begitu saja. Waktu petugas-petugas sensus
mendatangi rumah sewaan itu, tutur Karim lagi, para pengemis
jauh hari sudah pulang ke kampung masing-masing. Dan akhir-akhir
ini mereka kembali melayapi pasar-pasar dan perempatan jalan di
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini