Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Widodo, di sebuah gubuk

Pemungut puntung rokok, pak jenggot alias widodo yang tampil dalam acara aneka quiz tvri. karena pemunculannya berhasil dia dapat hadiah 60.000 rupiah dari tvri.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA Panelis dalam acara Aneka Quiz di tv terkecoh. Tebakan mereka meleset. Pak Jenggot alias Widodo bukanlah penjual batu akik meskipun ia mengenakan jas hitam, berdasi dan membawa tas echolac. Lelaki separuh baya itu adalah seorang gelandangan tulen, berpengalaman 10 tahun menjelajahi Jakarta. Peristiwa penting dalam kehidupan Jenggot itu direkam TVRI pertengahan Desember tahun lalu. Tapi baru disiarkan 1 Februari '81. Dan 4 hari setelah pemunculannya yang sukses di tv Widodo menerima Tabanas sebesar Rp 60.000. Uang ini segera dibelikan gerobak, petromaks, anting-anting emas 2 gram berikut pakaian untuk istrinya, juga sehelai sarung serta 2 potong baju bekas untuk dirinya sendiri. "Saya belum menghaturkan terimakasih sama oom Kris," ujarnya santai di gubuknya yang kecil (1« x 2 m) di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Adalah Sugito Hekosaputro, ketua Ikatan Remaja Gudang Peluru Tebet, yang menghubungkan Widodo dengan Krisbiantoro. Tapi sebelum itu Sugito pernah memberinya uang sebesar Rp 50.000 untuk modal dagang. Tapi Pak Jenggot menolak. "Saya tiak bisa dagang," katanya terus-terang. Dan uang itu dikembalikannya. Lahir di Pontianak dari ayah Madura dan ibu Jawa. Widodo pernah belajar di Sekolah Teknik sampai kelas II. Di zaman pendudukan Jepang ia sempat jadi seinendan, lalu selama satu tahun bekerja di Jawatan Perlengkapan Angkatan Darat di Pontianak. Menikah dengan gadis asal Blitar pada usia 28 tahun dan kemudian dikaruniai seorang anak lelaki yang sekarang hampir menjadi sarjana di Yogya. Tapi dengan rendah hati diakuinya bahwa ia tak punya andil apa-apa dalam membesarkan dan mendidik anak tersebut. Mungkin karena tanpa sebab-sebab yang jelas Widodo meninggalkan keluarganya begitu saja. Dia pergi dengan sebuah gitar di tangan. Tujuannya semula adalah Bali, tapi malang, di sana ia tidak mendapat izin masuk. Pengembaraan dialihkan ke Yogya, lalu ke Cirebon terus ke Cikampek. Gitarnya hilang di sini. Dalam keputus-asaan terlihat olehnya seorang pengumpul puntung rokok yang sehari bisa mengumpulkan 2 - 3 taker @ Rp 90. "Di Jakarta tentu bisa dapat lebih banyak," pikir Widodo. Dugaannya salah. Ternyata mengumpulkan puntung « taker saja (1 taker = 2 liter) di Jakarta bukan main susah. Widodo sengsara, tapi tetap bertahan. Lama berkeliaran di ibu-kota, akhirnya ia menetap di tepi Kali Malang, bersama-sama pengemis dan kaum gelandangan lainnya. Ia dituakan oleh rekan-rekannya, mungkin karena selalu sabar dan dianggap bijaksana. Kalau ada persoalan dialah menangani, kalau ada yang ingin berumah-tangga dia yang menikahkan. Widodo juga terampil. Tangannya cekatan membetulkan pelbagai barang bekas, mulai dari radio, kompor sampai boneka plastik. Kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. "Untuk mengisi waktu," katanya. Setelah 3 kali kena penertiban, Widodo menetap di tempatnya sekarang dengan risiko sewaktu-waktu harus angkat kaki. Hidup bersama dengan seorang wanita yang disebutnya sebagal istri, baginya benar-benar mendatangkan rasa tenteram. Apalagi sang istri tahu diri. Kepadanya Widodo mengingatkan: "Dapat rezeki sedikit jangan marah, dapat rezeki banyak jangan senang." Ketika Widodo sakit 1 minggu, dapurnya tetap saja berasap. Ini tentu berkat ketelitian istri dalam mengatur keuangan rumah-tangga. Meski tidak menikah di depan penghulu tapi "rasa tanggungjawab ada," ungkap Widodo. Ia tidak hanya bertanggung-jawab pada istri, tapi juga pada seekor kucing dan 4 ekor anjing yang menumpang hidup di rumahnya. Tak Kurang Rp 1.000 Jadwal kerjanya sudah dimulai pagi sekali. Sekitar pukul 5 ia keluar, mendorong gerobaknya yang diberi nama Gundah Gulana. Sekitar pukul 11 siang, ia pulang, istirahat di gubuk sekitar 2 jam, lalu menjelang kantor-kantor tutup beroperasi lagi, mengumpulkan kartun dan beling, langsung dijual. Harga kartun memang turun naik. Sekali Rp 60, lain kali Rp 40. Puntung rokok campur filter Rp 125 per liter, tanpa filter Rp 150. "Kalau musim hujan, pasaran puntung mati," ujarnya. Sekalipun demikian, pendapatan Widodo sehari tidak kurang dari Rp 1000, bahkan terkadang mencapai Rp 1.500. Sepulang kerja, biasanya Widodo mengisi waktu dengan mendengarkan radio 1 band, hasil reparasi sendiri. Sebuah kaleng dijadikan speaker yang entah bagaimana bisa mengeluarkan suara bening. Untuk perintang waktu dia juga membaca buku silat, seperti "Pedang Sinar Mas," karya Ko Ping Hoo yang disewanya Rp 15 sekali baca. Sewa sebenarnya Rp 25, tapi Widodo selalu mendapat potongan harga. Malam hari ia dapat membaca terus karena gubuknya sekarang sudah diterangi petromaks. Kendati tak punya kasur, ranjangnya empuk karena diganjal karet busa. Kelambu pun ada, siap melindunginya dari serangan nyamuk. Untuk mandi ia biasanya numpang di rumah yang sedang dibangun. Kalau kebetulan masuk angin, cukup dibarut dengan minyak kelapa lalu disedot dengan gelas. Pasti manjur. Kehidupan Widodo mencerminkan nasib gelandangan yang jauh lebih baik dari dugaan orang. Tapi ia berniat untuk meninggalkan kehidupan itu. Nanti, sekali waktu, katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus