PARA Panelis dalam acara Aneka Quiz di tv terkecoh. Tebakan
mereka meleset. Pak Jenggot alias Widodo bukanlah penjual batu
akik meskipun ia mengenakan jas hitam, berdasi dan membawa tas
echolac. Lelaki separuh baya itu adalah seorang gelandangan
tulen, berpengalaman 10 tahun menjelajahi Jakarta.
Peristiwa penting dalam kehidupan Jenggot itu direkam TVRI
pertengahan Desember tahun lalu. Tapi baru disiarkan 1 Februari
'81. Dan 4 hari setelah pemunculannya yang sukses di tv Widodo
menerima Tabanas sebesar Rp 60.000. Uang ini segera dibelikan
gerobak, petromaks, anting-anting emas 2 gram berikut pakaian
untuk istrinya, juga sehelai sarung serta 2 potong baju bekas
untuk dirinya sendiri.
"Saya belum menghaturkan terimakasih sama oom Kris," ujarnya
santai di gubuknya yang kecil (1« x 2 m) di bilangan Tebet,
Jakarta Selatan. Adalah Sugito Hekosaputro, ketua Ikatan Remaja
Gudang Peluru Tebet, yang menghubungkan Widodo dengan
Krisbiantoro. Tapi sebelum itu Sugito pernah memberinya uang
sebesar Rp 50.000 untuk modal dagang. Tapi Pak Jenggot menolak.
"Saya tiak bisa dagang," katanya terus-terang. Dan uang itu
dikembalikannya.
Lahir di Pontianak dari ayah Madura dan ibu Jawa. Widodo pernah
belajar di Sekolah Teknik sampai kelas II. Di zaman pendudukan
Jepang ia sempat jadi seinendan, lalu selama satu tahun bekerja
di Jawatan Perlengkapan Angkatan Darat di Pontianak. Menikah
dengan gadis asal Blitar pada usia 28 tahun dan kemudian
dikaruniai seorang anak lelaki yang sekarang hampir menjadi
sarjana di Yogya. Tapi dengan rendah hati diakuinya bahwa ia tak
punya andil apa-apa dalam membesarkan dan mendidik anak
tersebut. Mungkin karena tanpa sebab-sebab yang jelas Widodo
meninggalkan keluarganya begitu saja. Dia pergi dengan sebuah
gitar di tangan.
Tujuannya semula adalah Bali, tapi malang, di sana ia tidak
mendapat izin masuk. Pengembaraan dialihkan ke Yogya, lalu ke
Cirebon terus ke Cikampek. Gitarnya hilang di sini. Dalam
keputus-asaan terlihat olehnya seorang pengumpul puntung rokok
yang sehari bisa mengumpulkan 2 - 3 taker @ Rp 90. "Di Jakarta
tentu bisa dapat lebih banyak," pikir Widodo. Dugaannya salah.
Ternyata mengumpulkan puntung « taker saja (1 taker = 2 liter) di
Jakarta bukan main susah.
Widodo sengsara, tapi tetap bertahan. Lama berkeliaran di
ibu-kota, akhirnya ia menetap di tepi Kali Malang, bersama-sama
pengemis dan kaum gelandangan lainnya. Ia dituakan oleh
rekan-rekannya, mungkin karena selalu sabar dan dianggap
bijaksana. Kalau ada persoalan dialah menangani, kalau ada yang
ingin berumah-tangga dia yang menikahkan.
Widodo juga terampil. Tangannya cekatan membetulkan pelbagai
barang bekas, mulai dari radio, kompor sampai boneka plastik.
Kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. "Untuk mengisi waktu,"
katanya.
Setelah 3 kali kena penertiban, Widodo menetap di tempatnya
sekarang dengan risiko sewaktu-waktu harus angkat kaki. Hidup
bersama dengan seorang wanita yang disebutnya sebagal istri,
baginya benar-benar mendatangkan rasa tenteram. Apalagi sang
istri tahu diri. Kepadanya Widodo mengingatkan: "Dapat rezeki
sedikit jangan marah, dapat rezeki banyak jangan senang." Ketika
Widodo sakit 1 minggu, dapurnya tetap saja berasap. Ini tentu
berkat ketelitian istri dalam mengatur keuangan rumah-tangga.
Meski tidak menikah di depan penghulu tapi "rasa tanggungjawab
ada," ungkap Widodo. Ia tidak hanya bertanggung-jawab pada
istri, tapi juga pada seekor kucing dan 4 ekor anjing yang
menumpang hidup di rumahnya.
Tak Kurang Rp 1.000
Jadwal kerjanya sudah dimulai pagi sekali. Sekitar pukul 5 ia
keluar, mendorong gerobaknya yang diberi nama Gundah Gulana.
Sekitar pukul 11 siang, ia pulang, istirahat di gubuk sekitar 2
jam, lalu menjelang kantor-kantor tutup beroperasi lagi,
mengumpulkan kartun dan beling, langsung dijual. Harga kartun
memang turun naik. Sekali Rp 60, lain kali Rp 40. Puntung rokok
campur filter Rp 125 per liter, tanpa filter Rp 150. "Kalau
musim hujan, pasaran puntung mati," ujarnya. Sekalipun demikian,
pendapatan Widodo sehari tidak kurang dari Rp 1000, bahkan
terkadang mencapai Rp 1.500.
Sepulang kerja, biasanya Widodo mengisi waktu dengan
mendengarkan radio 1 band, hasil reparasi sendiri. Sebuah kaleng
dijadikan speaker yang entah bagaimana bisa mengeluarkan suara
bening. Untuk perintang waktu dia juga membaca buku silat,
seperti "Pedang Sinar Mas," karya Ko Ping Hoo yang disewanya Rp
15 sekali baca. Sewa sebenarnya Rp 25, tapi Widodo selalu
mendapat potongan harga.
Malam hari ia dapat membaca terus karena gubuknya sekarang sudah
diterangi petromaks. Kendati tak punya kasur, ranjangnya empuk
karena diganjal karet busa. Kelambu pun ada, siap melindunginya
dari serangan nyamuk. Untuk mandi ia biasanya numpang di rumah
yang sedang dibangun. Kalau kebetulan masuk angin, cukup dibarut
dengan minyak kelapa lalu disedot dengan gelas. Pasti manjur.
Kehidupan Widodo mencerminkan nasib gelandangan yang jauh lebih
baik dari dugaan orang. Tapi ia berniat untuk meninggalkan
kehidupan itu. Nanti, sekali waktu, katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini