Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Label dan Substansi

Penerapan syariat Islam di Indonesia masih menjadi kontroversi tiada henti. Mengapa masih banyak yang sibuk dengan label?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NANGGROE Aceh Darussalam berbeda dengan provinsi Indonesia yang lain. Di sana huruf Arab mendominasi gedung dan atribut kota. Gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan dipasangi huruf hijaiyah itu, berdampingan dengan tulisan latin. Bahkan penulisan nama-nama jalan di Bireuen sudah diganti semua dengan huruf Arab, tanpa menyisakan satu huruf latin pun. Semua kop surat dan amplop di instansi pemerintah juga sudah didobel dengan huruf Arab. Kalender memakai sistem Arab. Siswi sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas serta para guru sekolah dasar sampai sekolah menengah atas wajib berjilbab. Mulai pekan depan, Aceh Darussalam secara resmi menerapkan syariat Islam. Semua perangkat tengah disiapkan, mulai peraturan daerah (qanun) sampai lembaga-lembaga pendukungnya, termasuk lembaga peradilan. Menurut Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Pemda Nanggroe Aceh Darussalam, Husni Bahri T.O.B., Pemerintah Daerah Aceh sudah mengirim 21 rancangan qanun ke Dewan Perwakilan Rakyat setempat pada November lalu. Peraturan ini antara lain mengatur soal syariat Islam, keuangan, pertanahan, peradaban, dan sumber daya alam. Namun, DPRD baru akan membahasnya Februari mendatang. "Kami memperkirakan, dibutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan semua perangkat hukum dan pendukungnya," kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Teungku Muhammad Yus. Aceh memang sebuah perkecualian. Untuk menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lebih dari 25 tahun, Jakarta memberikan otonomi khusus kepada Aceh—mulai pembagian kekayaan alam yang berbeda dengan daerah lain sampai sistem pemerintahan yang berbeda, termasuk syariat Islam tersebut. Jika terlaksana, Aceh tentu akan jadi model yang mungkin ditiru daerah lain yang setuju penerapan syariat Islam. Selain Aceh, ada wilayah di Sulawesi Selatan yang secara tidak resmi sudah menerapkan syariat Islam (baca Jangan Pernah Mencuri di Patihoni). Bagaimana dengan ide penerapan syariat Islam di Republik Indonesia secara keseluruhan? Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menunjukkan bahwa separuh responden setuju. Tapi, mayoritas responden tak setuju hukum Islam seperti potong tangan dan rajam diber-lakukan. Hasil penelitian itu klop dengan kenyataan. Boleh dibilang, mereka yang menuntut di-terapkannya syariat Islam adalah beberapa kelompok terbatas yang itu-itu saja. Di kelompok partai politik, hanya ada dua partai yang getol mengusung ide ini, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang, yang notabene bukanlah tiga besar pemenang Pemilu 1999. Dua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sangat hati-hati bersikap tapi cenderung berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Isu penerapan syariat Islam—dengan jalan dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945—memang menjadi isu yang diramaikan di parlemen dalam beberapa tahun terakhir. Tapi isu ini tak pernah mendapat dukungan luas dan surut begitu saja. Perdebatan yang ada sekarang bisa dikatakan tak banyak berbeda dengan perdebatan menjelang kemerdekaan Indonesia. Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, secara terus terang mengatakan bahwa dia tidak memilih menerapkan syariat Islam di Indonesia dalam bentuknya yang legal formal, apalagi yang sifatnya tertutup (eksklusif). Dalam pandangannya, penerapan syariat Islam seperti itu hanya akan menimbulkan keguncangan di masyarakat. Bahkan bukan tidak mungkin muncul kesan bahwa Islam itu baik dan yang lain tidak baik. Padahal semua agama menolak kemaksiatan. "Kalau ada apa-apa, negara bisa hancur. Dan jangan lupa, umat Islam di Indonesia ini mencapai 87 persen. Artinya, umat Islam juga yang akan rugi," katanya. Tapi, Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib, tidak sependapat dengan Hasyim. Menurut dia, pemahaman masyarakat tentang penerapan syariat Islam memang sengaja dibengkokkan oleh pihak-pihak yang mengalami phobia (alergi) terhadap Islam. Akibatnya, yang muncul adalah kesan bahwa Islam berwajah keras dan garang. "Kesan ini sengaja ditiupkan agar masyarakat menolak penerapan syariat Islam," katanya. Meskipun begitu, dia tak menampik bahwa kesan seperti itu muncul juga karena faktor internal. Dia mengakui, "Memang ada kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dan ini memperkuat opini yang berkembang di masyarakat." Meskipun demikian, Jafar yakin berbagai opini yang menolak kehadiran syariat Islam akan sirna dengan sendirinya jika syariat Islam benar-benar sudah diterapkan. Perdebatan ini memang bukan hal yang baru. Jika dirunut ke belakang, perdebatan sudah dimulai dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung pada Juni-Juli 1945. Dalam berbagai sidang itu, Sukarno terlibat dalam perdebatan panjang dengan para tokoh Islam waktu itu seperti Abikoesno Tjokrosoejoso atau Abdul Kahar Moezakir. Perdebatan ketika itu menyangkut masalah dasar negara. Di satu pihak, para tokoh Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, sementara para tokoh nasionalis seperti Sukarno menolaknya. BPUPKI sendiri akhirnya membentuk Panitia Kecil untuk menyusun rancangan UUD, salah satunya adalah menyangkut soal dasar negara. Hasilnya, dalam rapatnya pada 10 Juli 1945, Ketua Panitia Kecil, Sukarno, membacakan rancangan Pembukaan (Preambule) UUD. Dalam Pembukaan itu disebutkan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Namun, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus, Hatta membacakan naskah UUD 1945 yang tak memuat lagi kalimat tersebut. Soal ini kembali jadi perdebatan pada sidang-sidang Konstituante dan belakangan sidang-sidang MPR di masa pemerintahan Megawati ini. Di negeri mayoritas Islam ini, pilihan sebetulnya sederhana: syariat Islam harus diterapkan secara legal formal ataukah cukuplah Islam mempengaruhi penyelenggaraan negara ini. Ketua Umum NU, Hasyim Muzadi, jelas memilih yang kedua. Yang penting, secara substansial prinsip-prinsip Islam bisa diakomodasi dalam hukum-hukum negara, berlaku umum, tanpa perlu lagi label Islam. Soalnya, akan semakin banyak atau semakin sedikitkah pemimpin yang berpikir seperti Hasyim Muzadi? M. Taufiqurohman, Zainal Bakrie, Adi Mawardi, Heru Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus