Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Syariat Oke, Potong Tangan Nanti Dulu

Sebuah penelitian mutakhir tentang pemahaman umat terhadap syariat Islam.

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama diklaim bahwa Islam Indonesia berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam Indonesia dianggap lebih sinkretik, bercampur baur dengan kepercayaan dan budaya lokal, sementara Islam di Timur Tengah dianggap lebih murni. Antropolog terkenal Ernest Gellner menyebut perbedaan ini sebagai "Islam tinggi" untuk Islam yang dianggap murni tadi, dan "Islam rendah" untuk Islam yang sinkretik tersebut. Clifford Geertz, antropolog terkenal yang lain, menyebut "santri" dan "abangan" untuk membedakan antara keduanya dalam konteks Islam di Indonesia. Apa yang membedakan antara dua Islam ini? Orang disebut santri setidaknya karena ia biasa menjalankan ritual seperti yang diwajibkan dalam Islam, misalnya salat lima waktu dan menjalankan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan. Ini tentu gambaran yang minimal. Lebih dari itu, seorang santri juga dihubungkan dengan ritual lain yang dianjurkan dalam Islam, misalnya mengaji, berpuasa sunah, sembahyang sunah, sembahyang berjamaah, atau bersedekah. Sedangkan abangan dihubungkan dengan gejala ritual seperti membakar kemenyan, sesajen, memohon bantuan dari leluhur sakti yang telah meninggal, meminta saran dari dukun, atau ikut serta melakukan ruwatan bumi. Mereka tergolong jarang atau bahkan tidak menjalankan ritual Islam tadi. Bila seorang muslim menjalankan ritual ini dan sekaligus juga menjalankan ritual yang diperintahkan Islam, ritual keagamaannya disebut sinkretis. Gambaran Geertz itu mungkin mencerminkan suatu kurun massa tertentu—sebutlah tahun 50-an, saat ia melakukan studi. Dalam 20 tahun terakhir, gambaran tentang Islam Indonesia semacam itu sudah mulai dipertanyakan. Sejumlah pengamat melihat bahwa dikotomi santri dan abangan sudah tidak penting lagi untuk menggambarkan keislaman umat Islam Indonesia. Robert Hefner dan Bambang Pranowo, misalnya, menemukan bahwa umat Islam Indonesia lebih mencerminkan apa yang di-sebut Geertz sebagai santri. Kalaupun abangan ada, hal itu tidak lagi penting. Bill Liddle dan Saiful Mujani dalam studinya yang merepresentasikan muslim secara nasional dua tahun lalu cenderung mendukung klaim Hefner dkk. ini. Studi yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada November 2001, juga cenderung membenarkan temuan tadi: mayoritas muslim Indonesia, atau setidak-tidaknya muslim di Pulau Jawa—yang merupakan fokus perebutan penafsiran para pengamat—umumnya masuk kategori santri. Artinya, mayoritas Islam di negeri ini biasa menjalankan ritual Islam sebagaimana diperintahkan dalam rukun Islam, termasuk pula ritual yang sifatnya sunah, dan sangat kecil proporsinya yang melakukan ritual abangan (lihat tabel). Di antara yang santri ini ada varian yang disebut Geertz modernis dan tradisionalis. Secara sosial, modernis sebagian mengacu pada muslim yang merasa dekat atau merasa bagian dari jemaah Muhammadiyah, sedangkan yang tradisionalis merasa bagian dari Nahdlatul Ulama (NU). Dari segi ritual, antara keduanya terdapat perbedaan. Dalam jemaah NU biasa dipraktekkan ritual kegamaan seperti tahlilan, tujuh harian, haul atau peringatan tahunan bagi anggota keluarga atau leluhur yang telah meninggal, memohon doa pada kiai, dan berziarah ke kuburan kiai. Ritual macam ini tidak ditemukan dalam Muhammadiyah. Temuan PPIM itu juga menunjukkan bahwa ritual keagamaan yang biasa ditemukan dalam jemaah NU ini tidak bercampur dengan ritual abangan. Keterkaitan antara keberagamaan dan dukungan umat terhadap partai politik juga menarik dicermati. Dengan proporsi abangan yang sangat kecil dibandingkan dengan yang santri, tampak jelas bahwa keberagamaan muslim tidak punya pengaruh kuat terhadap dukungan atas partai politik. Semua partai politik besar didukung oleh santri walapun eksistensi mereka sering dihubung-hubungkan oleh pengamat dan media dengan ideologi dan kultur politik masa lalu, tahun 50-an. Masa pemilih sendiri memang punya pandangan bahwa partai yang paling Islam di antara partai besar adalah PPP. Bagaimana dengan posisi keislaman partai besar yang lain seperti PDIP, Golkar, PKB, dan PAN? Kalau mengikuti sentimen massa, setelah PPP, PKB adalah partai urutan kedua paling Islam. Ini diikuti PAN, Golkar, dan PDIP—sebagai partai yang dianggap paling tidak Islam daripada partai lain. Dengan berpatokan pada sentimen massa ini, keberislaman umat tampaknya tidak punya dampak yang besar secara substantif terhadap pilihan atas partai politik. Keberislaman tidak serta-merta membuat umat menutup diri terhadap kegiatan sosial nonkeagamaan, dan tidak pula menutup diri terhadap partai yang didefinisikan mereka sebagai partai paling tidak Islam, seperti PDIP atau Golkar. Proporsi masyarakat yang terlibat dalam berbagai organisasi atau kelompok sosial masih kecil. Ini akan mempersempit interaksi sosial, karena itu mereka kurang termediasi secara optimal. Hasilnya, proporsi masyarakat yang kurang mempercayai sesama, yang masih menyimpan benih-benih ketidaksukaan sesama warga, masih besar. Di samping itu, ditemukan misalnya, hampir 87 persen dari umat yang diobservasi menyatakan ada kelompok di masyarakat yang paling tidak disukai. Mereka juga mendukung kalau kelompok ini dilarang pemerintah (80 persen). Siapa mereka? Sebagian besar (68 persen) adalah komunis. Walaupun proporsinya relatif sangat kecil (4 persen), intensitas ketidak-sukaan terhadap orang Kristen cukup signifikan untuk masalah sosial spesifik. Misalnya saja, 25 persen tidak setuju kalau orang Kristen menjadi guru di sekolah umum, 47 persen tidak setuju kalau mereka bikin kebaktian di daerah sekitar tempat tinggal muslim, dan 42 persen tidak setuju kalau gereja dibangun di daerah sekitar tempat tinggal umat. Tipisnya sikap toleran terhadap sesama warga ini, juga antara umat dan pemeluk agama lain, bisa menjadi sumber konflik sosial bagi tindakan anarkis. Masalahnya, apakah variasi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok pemeluk agama lain itu—juga terhadap perempuan—terkait dengan keberislaman umat. Dalam penelitian PPIM, tidak ada indikasi yang cukup kuat untuk sampai pada kesimpulan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap nonmuslim dan perempuan terkait dengan kesalehan personal seorang muslim. Saleh di satu sisi belum tentu toleran dalam bermasyarakat. Syariat Islam Masyarakat muslim bukan hanya entitas yang dibangun atas dasar kesalehan personal dan ritual, tapi juga oleh imajinasi tentang masyarakat dan politik yang baik. Ini kadang-kadang dihubungkan dengan nilai-nilai atau ajaran Islam sebagaimana dipahami dan diyakini umat yang pada dasarnya pluralistik itu. Dalam komunitas muslim di mana pun di dunia ini, syariat adalah kata yang sudah sangat umum dikenal. Di bumi Nusantara ini syariat biasa dipadukan dengan kata Islam, syariat Islam. Di panggung politik Indonesia, syariat Islam merupakan simbol dan identitas. Bagi partai politik seperti PBB, PK, dan PPP, syariat Islam merupakan kata kunci yang diarti-kulasikan dan mempunyai makna amat penting untuk diperjuangkan. Sudah sangat sering diungkapkan, baik oleh ahli Islam, aktivis Islam, maupun politisi Islam tertentu bahwa suatu masyarakat dan politik yang baik harus didasarkan atas syariat Islam. Pernyataan dan keyakinan yang umum ini tampaknya sudah akrab di antara umat. Cukup besar proporsi dalam umat (58 persen) yang mendukung pandangan demikian. Mayoritas umat (61 persen) juga mengungkapkan bahwa negara harus mewajibkan pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya. Cukup besar juga jumlah umat (46 persen) yang mendukung ormas-ormas Islam yang memperjuangkan penegakan syariat Islam dalam kehidupan muslim. Tapi apa yang dimaksud dengan syariat Islam? Pemahaman umat terbelah. Ini terlihat, misalnya, ketika ditanya tentang sikapnya kalau hukum rajam ditegakkan. Juga ketika ditanya soal hukum potong tangan, bunga bank, dan apakah perlu polisi mengawasi seorang muslim menjalankan salat lima waktu atau puasa pada bulan Ramadan. Yang setuju dengan penegakan hukum rajam 42 persen. Yang setuju dengan pemberlakuan hukum potong tangan 29 persen. Yang setuju dengan pelarangan bunga bank 26 persen. Yang setuju kalau polisi mengawasi apakah seorang muslim melaksanakan salat hanya 10 persen, dan yang setuju kalau polisi harus mengawasi apakah seorang muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan hanya 13 persen. Namun, sebagian responden lainnya, dalam proporsi yang cukup besar, justru menyatakan tak setuju. Jika memang pemerintahan Islam yang diinginkan, perlemen harus didominasi oleh para ahli agama Islam. Untuk memobilisasi mereka dibutuhkan partai Islam yang didukung mayoritas umat dalam pemilihan umum. Itu yang terjadi di negara-negara muslim yang berideologi Islam seperti Iran dan Sudan. Ketika dihadapkan dengan pilihan yang lebih nyata seperti ini, lagi-lagi sikap umat di Tanah Air terlihat kabur. Umat yang menghendaki agar pemilihan umum sebaiknya hanya untuk memilih calon yang ahli dalam ajaran Islam jumlahnya tak sampai mayoritas (46 persen), sedangkan yang menuntut agar pemilihan umum sebaiknya hanya untuk memilih partai-partai Islam juga tak besar (23 persen). Syariat Islam sebagai simbol keagamaan tetap dipercaya oleh mayoritas umat Islam sebagai suatu hal yang sakral. Namun, rumusan para ulama yang kemudian dipraktekkan para penguasa ini, khususnya menyangkut penerapan hudud atau hukum pidana, seperti rajam dan potong tangan, tampaknya bagi sebagian besar umat sudah tidak memadai lagi. Demikian juga halnya dengan masalah bunga bank. Ini menandakan telah terjadi perubahan orientasi keberislaman umat. Yang penting, sakralitas syariat tetap terjaga, tapi kandungan spesifiknya harus mencerminkan aspirasi umat yang telah berubah. Syariat Islam kemudian menjadi wilayah pergumulan iman. Lalu, berbagai kelompok umat berebut memberi makna. Saiful Mujani, peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus