Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jangan Pernah Mencuri di Patihoni

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUSUN Patihoni, Desa Palae, Kabupaten Sinjai, terletak di pegunungan, sekitar enam jam bermobil ke selatan Makassar. Penduduk lelakinya bersarung, yang perempuan berkerudung. Hewan-hewan ternak pun dibiarkan berkeliaran begitu saja, tanpa perlu dikandangkan. Menurut warga desa, yang hanya berjumlah sekitar 300 jiwa, kampung halaman mereka bersih dari tindak kejahatan. Hasan, penduduk setempat berusia 32 tahun, bercerita bahwa selama 15 tahun terakhir ini tidak ada satu pun warga yang mengadukan pencurian ternak dan perampokan, seperti terjadi desa-desa lain. "Itu karena kami berpatokan pada syariat Islam," katanya. Di Patihoni, se-tiap kali terdengar azan, semua kegiatan berhenti. Ucapan assalamualaikum terdengar di mana-mana. Para perempuan yang santai ber-jalan-jalan sore tampak mengenakan mukena. Pencuri? Jangan coba-coba, karena hukumannya adalah potong tangan. Bagi pezina pun rajam diberlakukan. Semua tanpa paksaan. Dan desa penghasil cokelat dan lada itu menjadikan hukum Islam bagian dari hidup mereka sejak semula. "Motor" penggeraknya mungkin kehadiran Pesantren Darul Istiqamah—yang terkenal berhaluan keras—sejak lima tahun silam. Pesantren itu menjalankan pembinaan intensif kepada penduduk, seperti melangsungkan pengajian setiap minggu. Semua ini sudah berlangsung lama. Kawasan Sinjai pernah menjadi basis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Meskipun kelompok yang berniat mendirikan negara Islam itu secara formal sudah ditumpas pada 60-an, komitmen penduduk di sana dalam menegakkan syariat Islam tetap kuat. Pada zaman kepemimpinan Kahar Muzakkar dari DI, praktek pencuri dipotong tangannya dan pezina dirajam di depan penduduk benar-benar ditegakkan. "Seorang paman akan melakukan eksekusi hukuman itu kepada keponakannya atau sebaliknya, bila memang terbukti melanggar," cerita Ustad Yahya Abdullah, 53 tahun, dari Pesantren Syiar Islam, Sinjai. Tapi semua hukuman yang keras itu tidak lagi bisa diterapkan secara terbuka di masa Orde Baru. Nah, pada awal 1980-an, syariat Islam mulai kembali diterapkan di beberapa desa di Kabupaten Sinjai yang berpenduduk sekitar 200 ribu jiwa itu. Patihoni adalah salah satu contohnya. Sayangnya, tidak semuanya berjalan damai. Sejumlah tokoh agama Sinjai yang membentuk Forum Bersama Gerakan Anti-Maksiat (Forbes Gamas), misalnya, merazia desa-desa kawasan Sinjai. Pentolan penjahat, pencuri ternak, dan perampok diculik oleh Forbes ini. Bahkan ada lima penjahat kawakan yang sampai dibunuh. Aksi Forbes Gamas ini tidak tanggung-tanggung. Komisaris Polisi Sappewali dan Ajun Brigadir Polisi Ahmad Patudangi juga menjadi korban razia saat melintas di Desa Balampesoang, Sinjai, September 2000 lalu. Ketika diberhentikan penduduk, dua polisi itu kedapatan mengangkut beberapa botol minuman keras. Masyarakat desa itu langsung menyeret kedua polisi keluar mobil dan memukuli mereka. Tindakan penduduk desa itu mendapat balasan dari pihak polisi. Aparat dari Polda Sulawesi Selatan mengirim pasukan Sabhara Perintis dan Brimob untuk balas merazia anggota Forbes Gamas. Enam orang anggotanya ditangkap dan diadili, hingga divonis 10-14 tahun. Kini perkara mereka masih dalam proses banding. Memang, upaya-upaya untuk menerapkan syariat Islam secara total di berbagai wilayah Sinjai tidak sepenuhnya mulus, karena masuknya unsur kekerasan itu. Ustad Yahya pun mengakui bahwa penerapan hukum dengan keras malah mengakibatkan massa cepat marah dan cepat menghakimi orang, bahkan sampai membunuh. "Padahal seharusnya tidak demikian. Orang yang mencuri tapi memang benar-benar untuk makan tidak akan dipotong tangannya," kata Yahya. Untuk itu, di desa-desa Sinjai yang pelaksanaan syariat Islamnya belum setotal di Patihoni, digunakan pendekatan yang lunak. Salat tepat waktu, membayar zakat, dan mewajibkan para perempuan memakai jilbab, merupakan contoh yang terlebih dulu diterapkan. Yang juga penting adalah menjamin kenyamanan dan keselamatan penduduk non-muslim yang umumnya pendatang itu. Lalu, bagaimana komentar pemerintah daerah setempat tentang gerakan dari bawah dalam menerapkan syariat Islam itu? Sekretaris Daerah Kabupaten Sinjai, Zainuddin Fatbang, menganggap semua itu bukan persoalan. Tapi pihak pemerintah menginginkan agar pemberlakuan syariat Islam dilakukan secara bertahap, tidak radikal. "Al-Quran saja diturunkan bertahap hingga 23 tahun. Jadi, tidak boleh memaksakan kehendak," kata Zainuddin. Bukankah memang tak ada paksaan dalam ajaran Islam? Bina Bektiati, Syarief Amir (Palae)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus