Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jilbab di Milenium Baru

Belakangan ini jilbab makin populer dan digunakan berbagai kalangan. Tapi mengapa banyak yang merasa itu kurang Islami?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADUHAI Aida Fadilah. Gadis 20 tahun ini tampil menyala. Baju, celana panjang, dan tas tangannya berwarna merah senada. Kepalanya dihiasi jilbab bermotif bunga kuning gading yang memunculkan nuansa kontras. Ujung kerudungnya tak terjuntai menutup dada, tapi dipilin ke belakang leher sehingga mirip topi berekor. Walhasil, leher jenjang Aida pun terbebas dari kain penutup apa pun. "Ini namanya jilbab milenium," kata mahasiswi sebuah universitas swasta ternama di Jakarta itu. Sementara itu, masih di kampus yang sama, teman Aida yang bernama Nita lain lagi. Jilbab Nita, yang lebar dan berwarna krem, berjuntai panjang sampai ke pinggang. Tubuhnya dibalut jubah biru longgar berpotongan lurus tanpa hiasan apa pun. Nah, mana yang lebih pas disebut busana muslimah? "Jilbab milenium" Aida yang cerah ataukah busana Nita yang sengaja menenggelamkan diri dalam kebersahajaan? Memang tak gampang memberikan jawaban yang hitam-putih. Sesuai dengan cacatan Paula Holmer-Eber, ahli antropologi dari Universitas Washington, AS, jilbab pertama kali digunakan perempuan Mesopotamia, Mesir Kuno, sekitar 4.000 tahun silam. Lebih dari dua milenium kemudian, barulah ajaran Islam menyerap penggunaan jilbab. Di Indonesia sendiri, gairah berjilbab nyata terasa sejak akhir 1980-an. Fenomena ini mungkin tak terbayangkan saat pemerintah—tepatnya Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah pada 17 Maret 1982—merilis panduan seragam sekolah yang antara lain melarang siswi muslimah menggunakan kerudung atau jilbab. Peraturan itu langsung memicu kontroversi yang luas. Tak sedikit pula siswi yang bertahan dengan jilbab meskipun harus menghadapi risiko dikeluarkan dari sekolah. Kini zaman telah berganti. Jilbab bukan lagi barang haram di sekolah. Dan pelajar SD sampai SMU pun nyaman berseragam plus berjilbab. Seiring dengan itu, busana muslimah berkembang lebih luas. Jilbab bukan lagi monopoli gadis pesantren, tapi sudah merambah kalangan artis, pengusaha, dan eksekutif kantoran. Jilbab pun bukan cuma digunakan untuk pengajian, tapi juga saat nongkrong di kafe, melenggang di atas panggung, bahkan berjoget di hadapan umum. Gairah merebaknya busana muslimah juga dirasakan Anne Rufaidah. Pemilik delapan gerai busana muslimah di seluruh Jakarta ini mengaku kewalahan memenuhi permintaan pasar dalam beberapa tahun terakhir. Setiap menjelang Lebaran, misalnya, permintaan busana muslimah melonjak sampai lima kali lipat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Namun, di sisi lain, Anne juga prihatin dan menyayangkan mode busana muslimah yang cenderung bergeser dari arti yang sesungguhnya. Anne kemudian merujuk Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 31, yang menyebutkan muslimah hendaknya menutupkan kain kerudung ke dadanya dan tidak menampakkan perhiasannya. Nah, berdasarkan ayat tersebut, busana muslimah seharusnya menyinarkan kesan santun dan takwa. Warna boleh saja merah menyala atau hijau gemerlap, tapi busana muslimah mestinya tetap panjang dan longgar. Ujung jilbab hendaknya terjuntai lepas menutup dada. Baju pun sebaiknya tidak ketat membalut tubuh dan kainnya bukan jenis transparan alias tembus pandang. Dengan demikian, Anne menambahkan, gaya busana muslimah yang "milenium", "trendi", atau "gaul" bukanlah berlandaskan ajaran Islam. Jadi, "Belum bisa disebut busana muslimah," kata Anne yang tak sempat menamatkan kuliah di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini. Namun, tentu saja selalu ada pendapat lain. Aida memang sepakat tak memasukkan baju ketat dan tembus pandang sebagai kriteria busana muslimah. Tapi sah-sah saja jika ujung kerudung dililitkan di leher. "Ini kan tergantung pengaruh budaya," katanya sambil menyebutkan variasi kerudung yang memang sangat luas. Ada yang dijuluki burka, yang komplet menutup ujung rambut sampai kaki, seperti yang dipakai perempuan Afganistan di masa kekuasaan Taliban. Ada juga jilbab lebar yang dilengkapi cadar penutup wajah, yang digunakan wanita Iran. Sementara itu, ada pula kerudung selendang seperti yang lazim dipakai ibu-ibu kita, yang terkadang masih menampakkan sebagian leher dan rambut. Gaya kerudung selendang sampai kini juga masih dipertahankan oleh sebagian tokoh perempuan muslim. Sinta Abdurrahman Wahid, Kusnariyati Amien Rais, dan Ketua MUI Profesor Zakiah Daradjat, misalnya, sering tampil berkerudung selendang. "Apa mereka juga disebut tidak Islami?" tanya Aida. Boleh jadi pertanyaan rumit Aida memang tak bisa dijawab dengan hitam-putih. Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus