Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Palestina adalah penindas kami, namun konflik kami tetap dengan Israel.
- Abdel Khaleq al-Natsche, juru bicara Hamas
Kompromi bukanlah kata yang disukai Hamas. Dalam akta organisasi yang bernama lengkap Harakat al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) itu tertulis jelas bahwa tujuan organisasi itu adalah ?mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci bumi Palestina.? Dan itu berarti penghapusan negara Israel serta negara sekuler Palestina apa pun bentuknya. Akta ini diumumkan pada Agustus 1988.
Akta itu juga menyebut sejumlah teori konspirasi anti-Semit dan menegaskan konfirmasi bahwa Protokol Para Pembina Zion (The Protocols of the Elders of Zion) misterius itu asli adanya. Protokol ini, kabarnya, merupakan sebuah esai yang menjadi panduan manual bagi anggota baru Zion untuk bisa menyetir dunia, terutama menghadapi goyim (negeri-negeri yang lemah), agar bisa mengikuti kemauan mereka. Lebih jauh lagi, akta Hamas itu juga menyebutkan bahwa lembaga seperti Freemason, Lions Club, dan Rotary Club secara rahasia ?bekerja untuk kepentingan Zionisme.
Israel musuh, tapi Otoritas Palestina adalah ?musuh? dengan perlakuan teramat khusus. Seperti terbaca di atas, pernyataan Abdel Khaleq al-Natsche, juru bicara Hamas, terdengar janggal, nyaris mustahil. Sebab, bagaimana mungkin Hamas, yang berseteru dengan Israel, juga memandang negatif Otoritas Palestina, kompanyonnya dalam upaya mencapai cita-cita yang sama: kemerdekaan sejati bangsa Palestina? Tapi ucapan Al-Natsche di Kota Al-Khalil (Hebron) yang muncul di harian The Palestine Times, Mei 2000, itu justru menggambarkan betapa tidak mudahnya hubungan di antara kedua organisasi tersebut meskipun bersumber pada udara, tanah, dan telaga air mata yang sama.
Hamas (berarti ?antusiasme? dalam bahasa Arab), yang berdiri pada 13 Desember 1987, sejatinya didirikan Syekh Ahmad Yassin dan Mohammad Taha. Kelahiran Hamas adalah bentuk ketidakpuasan atas kinerja Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)?motor utama Otoritas Palestina (The Palestinian Authority/PA) di bawah komando Presiden Yasser Arafat?yang dinilai sekuler dan terlalu kompromistis dengan mengakui eksistensi Negara Israel.
Hamas keras, tapi dialah gudangnya orang berpendidikan tinggi. Selain oleh Yassin dan Taha, kelahiran Hamas dibidani oleh sejumlah profesional: dokter spesialis anak (Abdul Aziz al-Rantissi), insinyur mesin (Isa Nashar dan Musa Muhammad Abu Marzuq), guru (Muhammad Shamaa), dosen (Syekh Salah Silada), dan farmakolog (Ibrahim al-Yazuri).
Organisasi yang lebih suka memperkenalkan diri sebagai ?cabang Palestina kelompok Ikhwanul Muslimin? ini lahir sebagai produk politik kolonial Israel. Pada 1970-an, mereka mendaftarkan diri secara legal, dan Israel mengakuinya, dengan bantuan keuangan yang antara lain didapat dari pemerintah Arab Saudi dan Suriah. Banyak pengamat politik menilai sikap toleran pemerintah Israel tak lebih dari usaha untuk menyeimbangkan kekuatan dengan kelompok Fatah pimpinan Yasser Arafat yang makin dominan. Apalagi, sepanjang dasawarsa 1970-1980, perhatian Hamas benar-benar hanya terfokus pada isu moral dan sosial, seperti memberantas korupsi, meningkatkan awqaf (kepercayaan), dan mengelola proyek-proyek pengembangan masyarakat.
Basis ideologi Hamas memang bersumber pada keterpukauan Ahmad Yassin terhadap pemikiran Hassan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ketika itu, 1928, Kekaisaran Ottoman baru saja runtuh, dan Al-Banna muak melihat sekularisme yang diterapkan pada negara-negara Islam?seperti halnya ia menolak pengaruh Barat?dan menguatnya pengaruh sufi yang cenderung mistis. Al-Banna membuat sebuah pengorganisasian yang lebih dinamis, dari ibadah hingga sosialisasi gaya hidup, dengan berpegang teguh pada interpretasinya terhadap Al-Quran.
Pola itu kemudian diadaptasi Syekh Yassin melalui empat tahap. Tahap pertama mendirikan Ikhwanul-Muslimin ?cabang Palestina? pada 1967, yang khusus beroperasi di Jalur Gaza untuk menghadapi sikap opresif Israel yang baru saja menang Perang 6 Hari. Fase kedua (1976-1981) merupakan tahap ekspansi geografis dengan berpartisipasi pada asosiasi profesional yang bertebaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat serta membentuk lembaga baru seperti Al-Mujamma? al-Islami, Al-Jam?iyya al-Islamiyya, dan universitas Islam di Gaza.
Fase ketiga berlangsung pada 1981-1987 dengan memperluas pengaruh politik melalui konsolidasi organisasi dan persiapan perlawanan bersenjata, sebelum masuk pada fase terakhir, yang dimulai tahun 1987, dengan mendirikan Hamas, dan menyerukan jihad sebagai bentuk perlawanan frontal terhadap Israel.
Fase terakhir ini menemukan momentumnya dengan kebangkitan Intifadah I, yang bergolak di sepanjang Jalur Gaza. Anak-anak Palestina melawan Tentara Pendudukan Israel dengan batu-batu sekepalan tangan, dengan risiko tangan-tangan mungil mereka dipatahkan bila tertangkap.
Sayap-sayap militer Hamas akhirnya beroperasi secara lebih transparan. Dua kekuatan utamanya adalah Brigade Izzuddin al-Qassam (diambil dari nama seorang syekh yang ditabalkan sebagai ?Bapak Perlawanan Arab Modern? yang dibunuh tentara Inggris pada 1935) dan Unit Yahya Ayyash (untuk mengenang Yahya Ayyash, insinyur bom mobil yang menewaskan lebih dari 50 warga Israel, sebelum ia sendiri terbunuh pada 1996).
Periode ini juga meroketkan nama Yassin. Karismanya memang paling bersinar dari sejumlah tokoh yang dimiliki Hamas. Sebenarnya Yassin tak menerima sebutan mulia ?syekh? berdasarkan ukuran-ukuran tradisional. Sebab, tak seperti kebanyakan pemuda di desanya yang bersekolah di madrasah, Yassin, yang lahir di dusun kecil di dekat Kota Ashkelon, sebelah utara Gaza, pada 1 Januari 1929?sesuai dengan data di paspornya?lebih suka menimba ilmu dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.
Kendati ia menderita quadriplegia, yakni kerusakan pada saraf yang menyebabkan gagalnya kemampuan menggerakkan bagian bawah tubuh dan kaki, Yassin mampu memperlihatkan kepandaian dan bakat kepemimpinannya yang tinggi. Saat itulah dipercaya Yassin berkenalan dengan ide-ide Al-Banna yang sedang berkembang pesat di Mesir.
Perkembangan Hamas itu memang terasa lebih meledak-ledak dibandingkan dengan PA, yang lebih sering menempuh meja perundingan. PA memang baru muncul pada Agustus 1993, ketika Yasser Arafat sebagai Ketua PLO bersepakat dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dalam Kesepakatan Oslo (Oslo Accord), yang digagas Menteri Luar Negeri Norwegia Johan Jorgen Holst. Rabin bersedia menarik pasukan Israel dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberikan kesempatan kepada Arafat untuk menjalankan sebuah lembaga semi-otonom yang bisa ?memerintah? di kedua wilayah itu.
Kiprah PLO yang membawahkan delapan payung organisasi yang bermarkas di Damaskus dan Beirut itu membawa Arafat makin dikenal sebagai corong Palestina ketimbang tokoh lainnya. Perbedaan metode perjuangan antara PLO dan (cikal bakal) Hamas di era 1970-an rupanya meruncing pada era 1980-an. Polarisasi itu makin terlihat jelas setelah pecahnya Intifadah I, 1987, yang menghasilkan Kesepakatan Oslo, 13 September 1993.
Empat hari sebelum kesepakatan tersebut ditandatangani Israel dan PLO, Arafat mengeluarkan pernyataan bahwa ?PLO mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara damai dan aman.? Sebagai bagian dari kesepakatan itu, dibentuklah PA yang berpusat di Kota Ramallah, Tepi Barat. Sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban, PA mulai bertindak cukup keras terhadap para anggota Hamas. Tak jarang aparat PA menangkapi anggota Hamas. Sikap inilah yang memunculkan ucapan Al-Natsche di atas.
Meskipun begitu, tak pernah terjadi benturan terbuka antara Hamas dan PA (PLO) yang mengakibatkan terpecahnya dua organisasi terkuat itu di tengah bangsa Palestina sekarang ini. Ketika Syekh Yassin gugur akibat dirudal Israel pada 22 Maret lalu, Arafat menyebut kematian pemimpin Hamas tersebut sebagai ?gugurnya seorang martir?, sebuah bentuk belasungkawa yang menyejukkan di telinga anggota Hamas.
Karena itu, bisa dimengerti bila dalam wawancaranya dengan wartawan Majalah TEMPO Zuhaid el-Qudsy, April lalu, salah seorang petinggi Brigade Izzuddin al-Qassam, Shalah Abu al-Hija, menyatakan, sekalipun ada anggota Hamas yang ditahan oleh Otoritas Palestina, dan ada perbedaan visi yang besar dalam memperjuangkan Palestina yang merdeka dan berdaulat, target keduanya jelas: Israel. ?Soal para pejabat (PA yang dituding banyak) korup dan lebih suka bersenang-senang, biarlah rakyat Palestina sendiri yang akan menurunkan mereka.? (Lihat ?Sharon Target Utama Kami?.)
Dan Hamas, ?antusiasme? terakhir bangsa Palestina, tampaknya akan terus bergerak dengan caranya sendiri. Tanpa kompromi.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo