Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pengurus serikat pekerja dikecam karena dituding menyetujui aturan baru JHT.
Di tengah pandemi Covid-19 dan gelombang PHK, JHT dianggap sebagai penyelamat.
Para buruh mengancam akan berunjuk rasa di berbagai daerah jika aturan baru JHT tak dicabut.
SELAMA berhari-hari akun WhatsApp milik Muhamad Sidarta kebanjiran pesan. Sebagian besar berisi kecaman dari kawan-kawannya sendiri, para aktivis serikat pekerja yang mempersoalkan aturan baru penarikan dana Jaminan Hari Tua (JHT).
“Kawan-kawan menduga saya ikut menyetujui aturan baru JHT,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia itu pada Kamis, 17 Februari lalu.
Yang dimaksud Sidarta adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang dikeluarkan pada Rabu, 2 Februari lalu. Isinya antara lain dana JHT dibayarkan ketika peserta berusia 56 tahun. Kementerian mengklaim pembuatan aturan itu telah melibatkan unsur pekerja melalui Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional.
LKS Tripartit Nasional adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan. Anggotanya terdiri atas unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja. Sidarta salah satu perwakilan pekerja yang duduk di lembaga itu. “Wajar jika kawan-kawan menduga saya menyetujui sikap pemerintah. Padahal tidak begitu,” kata Sidarta.
Pengalaman serupa dialami R. Abdullah, aktivis Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang juga anggota LKS Tripartit Nasional. Ia menilai aturan itu tak tepat diberlakukan saat ini. “Para pekerja sedang menghadapi banyak masalah, dari pandemi hingga maraknya pemutusan hubungan kerja,” tutur Abdullah.
Sidarta bercerita, sempat ada gagasan merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Badan Pekerja LKS Tripartit Nasional membahas usul itu pada 18 November 2021. Menurut Sidarta, mereka hanya berdiskusi tentang ide mengembalikan filosofi JHT sebagai tabungan hari tua. Tak ada kesepakatan apa pun dalam pertemuan itu.
Pada 21 Januari 2022, para anggota LKS Tripartit Nasional kembali mendapat undangan dari Kementerian Ketenagakerjaan untuk menghadiri dialog bertema “Pengembalian Filosofi JHT untuk Hari Tua Pekerja yang Sejahtera”. Menurut Sidarta, acara dialog yang digelar di Hotel Gran Meliá Jakarta itu juga tidak menghasilkan keputusan apa-apa.
“Kami meminta dibicarakan dulu di rapat pleno LKS Tripartit Nasional. Tapi, pleno belum diadakan, peraturannya sudah terbit pada awal Februari lalu,” ucap Sidarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi unjuk rasa buruh menuntut agar Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua baru bisa dicairkan di usia 56 tahun segera dicabut, di depan Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, 16 Februari 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbitnya peraturan baru itu mendadak sontak memantik reaksi di kalangan pekerja. Pada Rabu dan Kamis, 16 dan 17 Februari lalu, ribuan pekerja dari sejumlah organisasi membanjiri kantor Kementerian Ketenagakerjaan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Melalui koordinasi di berbagai grup WhatsApp, para buruh berunjuk rasa dan menuntut pemerintah mencabut aturan tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja sehingga membutuhkan uang untuk hidup dan modal usaha. “Mereka mengandalkan dana JHT. Kalau tidak boleh diambil hingga usia 56 tahun, lantas mereka mengandalkan apa?” ujarnya.
Pandemi Covid-19 memang menyebabkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada 2020, jumlah pekerja yang terkena PHK sebanyak 386.877. Padahal angka pada 2019 hanya 18.911. Tahun lalu, gelombang PHK masih terjadi dengan 143.065 pekerja dipecat.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerima perwakilan pekerja untuk berdialog. Dalam pertemuan itu, Ida mengatakan aturan baru pencairan dana JHT bertujuan menjamin kesejahteraan para pekerja saat mereka memasuki usia tidak produktif.
Sikap tersebut juga Ida sampaikan melalui siaran pers pada Senin, 14 Februari lalu. “Agar mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan baik,” katanya.
Seiring dengan pemberlakuan aturan baru tentang JHT, pemerintah mengeluarkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP. Pekerja yang kehilangan pekerjaan akan mendapat uang tunai sebesar 45 persen dari upah selama tiga bulan pertama, lalu 25 persen upah dalam tiga bulan berikutnya. Pemerintah menanggung iurannya sebesar 0,22 persen, sementara 0,24 persen berasal dari iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang dipotong dari gaji buruh.
Namun perwakilan pekerja tetap meminta tata cara dan syarat pencairan dana JHT dikembalikan ke aturan lama. Menurut Muhamad Sidarta, yang hadir dalam pertemuan di kantor Menteri Ida, kalangan buruh menilai dana JKP yang diberikan secara bertahap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Bukan hanya para pengunjuk rasa di Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang tidak berdemonstrasi pun resah. Mulyono, 40 tahun, tenaga kontrak juru masak di salah satu hotel di Surabaya, mengaku tak punya tabungan selain dana JHT. Sebelumnya, Mulyono diberhentikan lantaran hotel tempat dia bekerja limbung akibat pandemi Covid-19.
Mulyono lantas menjadi pekerja lepas berstatus tenaga kontrak harian di hotel lain yang masih bertahan. Jika tamu hotel ramai, ia dipanggil untuk bekerja. Sebaliknya, jika hotel sepi, Mulyono berdiam di rumah. Ia berencana menggunakan dana JHT sebagai modal usaha. “Tapi, kalau harus menunggu usia 56 tahun, saya tak punya modal,” tuturnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 18 Februari lalu.
Sebelum aturan baru berlaku pada awal Mei mendatang, Mulyono bersiap mencairkan dana JHT miliknya. Ia ingin membuka usaha berjualan roti. Aturan baru tentang JHT memang baru diberlakukan tiga bulan setelah diundangkan pada Jumat, 4 Februari lalu. Artinya, hingga 4 Mei mendatang, para pekerja masih bisa mencairkan dana JHT menggunakan aturan lama.
Fitra Akbar, 30 tahun, yang bekerja sebagai manajer produksi sebuah perusahaan teknologi informasi di Jakarta, juga berencana segera menarik dana JHT yang telah ditabungnya selama bertahun-tahun. “Kebetulan saya keluar dari perusahaan lama dan di perusahaan baru belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia Indra Munaswar menilai sikap Menteri Ida menunjukkan pemerintah tidak peka terhadap nasib pekerja. Apalagi pemerintah belum sepenuhnya mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Walhasil, sebagian pekerja mengandalkan pencairan dana JHT sebagai modal usaha.
“Jika pencairan dana JHT dibatasi, angka pengangguran berpotensi meningkat. Apalagi krisis akibat pandemi ini belum jelas kapan berakhir,” tutur Indra.
Indra dan anggota berbagai organisasi buruh lain menyatakan akan melanjutkan gelombang unjuk rasa jika Kementerian Ketenagakerjaan tak mencabut peraturan baru tentang JHT. Tak hanya di Jakarta, demonstrasi juga akan digelar di berbagai daerah lain. “Serikat-serikat pekerja sudah bersiap turun aksi karena aturan ini berdampak langsung pada nasib mereka.”
KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo