Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Seorang Jenderal, Seorang Pembunuh

Arswendy Bening Swara berhasil memerankan karakter seorang pensiunan jenderal yang kesepian. Ia kebapakan dan seorang eyang yang baik bagi keluarga. Namun ia membunuh dengan keji seorang remaja dan setelahnya tak merasa berdosa. Bahkan berpura-pura bersimpati saat melayat keluarga korban.

18 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKSPRESI muka pensiunan jenderal itu begitu menjiwai dalam sebuah remang-remang ruang karaoke ketika menyanyikan lagu “Kaulah Segalanya” dari Broery Marantika. “Memang hanya Tuhan yang tahu segalanya.” Tatkala mengucapkan lirik ini, ia sampai memejamkan mata seolah-olah meresapi kalimat itu ke dalam dadanya. Akting Arswendy Bening Swara sebagai jenderal tersebut mengesankan. Sebab, sang jenderal dalam film itu dikisahkan baru saja membunuh.

“Itu salah satu bagian tersulit dari akting saya di film Autobiography yang disutradarai Makbul Mubarak,” kata Arswendy. Adegan menyanyi itu mengingatkan kita akan kultur bapak-bapak pejabat militer era Orde Baru yang suka berkaraoke menyanyikan lagu-lagu pop cengeng. Tapi, lebih dari itu, adegan tersebut mampu menyodorkan “psikologi militer” sang jenderal yang seolah-olah tak ambil pusing atas tindakan keji yang baru diperbuatnya. Di tempat karaoke tersebut ia seperti melepaskan atau menyembunyikan diri dari pembunuhan. Lirik “hanya Tuhan” seolah-olah sebuah “katarsis” baginya. “Makbul memilihkan lagu itu,” ucap Arswendy.

Tantangan Arswendy menghayati psikologi seorang jenderal pensiunan yang kemudian menjadi pembunuh adalah kesulitan tersendiri. Jenderal itu diceritakan pulang dan tinggal sendiri bermukim di rumah besar keluarga di sebuah desa yang listriknya masih dari genset. Ia berambisi menjadi bupati. Sehari-hari sang jenderal berpembawaan tenang dan kebapakan. Tapi tiba-tiba saat melihat poster pencalonannya dirobek orang ia merasa “diserang”. Ia mencari pelaku (yang ternyata remaja), lalu menghajarnya hingga pemuda itu tewas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendy Bening Swara (kiri) saat berperan menjadi Purnawinata. Dok. KawanKawan Media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya mencoba meriset karakter-karakter jenderal yang berbeda angkatan di zaman Orde Baru. Saya membayangkan sosok jenderal Orde Baru yang kalem banget tapi kejam. Saya membayangkan seorang jenderal tua yang sehari-hari kesepian. Namun dalam tubuh jenderal itu masih tertanam kekerasan pendidikan jalur komando. Jiwa jenderalnya masih kelihatan meski tidak memakai seragam,” tutur Wendy—panggilan akrab Arswendy. Lalu ia mengimajinasikan sosok jenderal demikian ke dalam postur tubuhnya sendiri.

“Sebelum syuting saya kurus karena baru sembuh dari tifus,” Wendy mengungkapkan. Makbul memintanya menggemukkan badan sedikit. Lalu ia rajin minum susu. “Saya berolahraga dumbbell agar otot tidak lembek.”

Wendy bercerita, malam sebelum syuting ia selalu menyelami batin sang jenderal sebelum membunuh dan sesudah membunuh. “Saya juga membayangkan kultur kekerasan militer di zaman Orba. Termasuk bagaimana saat demo-demo pembredelan Tempo yang menyebabkan perupa Semsar Siahaan sampai digebukin tentara.”

Wendy menafsirkan semasa aktif sang jenderal adalah tentara hebat tapi tidak mendapat jabatan apa pun setelah pensiun. Dia memendam kekecewaan. Dia berambisi menjadi bupati. “Sang jenderal itu merindukan teman yang bisa dipercaya. Maka dari itu tatkala Rakib yang bapak dan kakeknya dulu mengabdi ke keluarga besarnya datang, dia ingin mendidik Rakib bagai anak sendiri. Apalagi jenderal itu memang tidak memiliki anak laki-laki,” tutur Wendy.

Menurut Wendy, adegan awal saat sang jenderal memotong kue lalu memberikannya kepada Rakib adalah adegan kunci. “Hubungan sang jenderal dengan Rakib selanjutnya adalah relasi bapak-anak. Saya betul-betul menempatkan bagaimana saat sang jenderal merokok berdua dengan Rakib (yang dimainkan Kevin Ardilova), saat membikinkannya Indomie, saat mengajarinya menembak, nuansanya adalah hubungan bapak-anak,” ujar Wendy.

Salah satu adegan yang dimainkan Arswendy Bening Swara saat berperan menjadi Purnawinata dalam film Autobiography. Dok. KawanKawan Media

Sementara itu, sang jenderal tua bagi Rakib adalah idola baru. Selama ini ia tidak pernah dididik ayahnya. Ayahnya mendekam di penjara. Pengidolaan ini berbalik 180 derajat tatkala ia melihat sang jenderal membunuh dan menyembunyikan pembunuhan itu. Ia ingin lari tapi tak bisa. Dalam film ada adegan Rakib saat mandi tiba-tiba sang jenderal masuk ke kamar mandi lalu memegang tubuh telanjang Rakib, mengguyur, dan memandikannya.

“Itu adegan sangat personal yang menunjukkan relasi kekuasaan, menyimbolkan bagaimana Rakib tak bisa ke mana-mana. Ia selalu di bawah kekuasaan sang jenderal,” Wendy menjelaskan.

Adegan pembunuhan itu pun oleh Makbul tidak ditampilkan. Penonton sama sekali tidak melihat penganiayaan yang dilakukan sang jenderal. Penonton hanya melihat si remaja diundang masuk rumah dan disuruh sendiri masuk ke sebuah kamar. “Saya setuju, penyiksaan itu tak ditampilkan,” kata Wendy. “Tapi mulanya saya mengusulkan kepada Makbul, bagaimana kalau ada sedikit adegan saya mencuci tangan yang berdarah. Tapi Makbul menolak. Ternyata memang lebih bagus.”

Wendy menerangkan, sosok sang jenderal tak merasa bersalah sedikit pun. “Adegan paling susah adalah bagaimana saat saya memerankan sang jenderal melayat remaja yang baru dibunuhnya,” ucap Wendy. Di depan mayat anak itu sang jenderal berpura-pura bersimpati. Kepada keluarga remaja itu ia mengucapkan belasungkawa. “Pada adegan itu saya melakukan akting dalam akting. Saya berakting sebagai jenderal tapi pada saat itu saya juga berpura-pura tidak tahu tentang pembunuhan tersebut. Bahkan berpura-pura simpati. Itu sulit.”

Di film juga ditunjukkan bagaimana pada hari-hari setelah pembunuhan itu emosi sang jenderal juga datar. Ia tetap bisa menampilkan dirinya sebagai seorang ayah yang hangat bagi putri-putrinya dan seorang eyang yang dirindukan cucu-cucunya. Tatkala putri-putrinya melakukan video call terlihat adegan sebuah keluarga Jawa yang hangat dan Intim. Wendy tampak mampu menampilkan diri sebagai sosok eyang—yang di usia senjanya selalu dirindukan anak-cucunya.

Menurut Wendy, tantangan utama adalah karakter sang jenderal yang datar. “Tidak ada adegan emosi meledak-ledak, melampiaskan amarah. Lebih mudah memerankan karakter yang ujungnya emosinya klimaks memuncak. Sang jenderal dalam film ini adalah seseorang yang mampu mengontrol emosinya,” tutur Wendy. 

Satu-satunya adegan yang memperlihatkan sang jenderal agak marah adalah saat dia diantar Rakib bertakziah ke keluarga remaja yang dibunuhnya. Rakib terlihat sedikit panik. “Sang jenderal menghardik Rakib agar jangan panik. Sebagai seorang militer ia terbiasa mampu mengendalikan situasi.”

Arswendy Bening Swara (tengah) di lokasi pembuatan film Autobiography. Dok. KawanKawan Media

Arswendy pernah belajar teater di Institut Kesenian Jakarta. Ia digembleng mempelajari teater realis oleh almarhum Wahyu Sihombing. Namun ia juga anggota Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya. Ia malang melintang dalam pentas teater. Khalayak teater ingat kedahsyatan akting Arswendy, misalnya, pada 1999 dan 2012 saat ia berduet dengan Ine Febriyanti mementaskan naskah terjemahan Miss Julie karya Strindberg yang disutradarai Joseph Ginting. 

“Bermain dalam film untuk menghayati karakter secara cepat, termasuk menjadi jenderal ini, saya justru menerapkan ajaran almarhum penata panggung Roedjito, yaitu ATM: amati, tiru, modifikasi,” kata Wendy. Pegangan lain adalah ajaran Putu Wijaya. “Mas Putu selalu mengatakan seorang aktor harus mengamati desa-kala-patra, tempat-waktu-situasi. Seorang aktor harus siap dengan segala perubahan dan harus mampu cepat menyesuaikan dengan situasi apa pun,” ujar Wendy.

Itu diterapkannya saat memerankan pensiunan jenderal pembunuh ini. Saat tiba di lokasi syuting di sebuah desa di Bojonegoro, Jawa Timur, yang kering dan panas ia langsung berusaha membayangkan bagaimana suasana batin sang jenderal. “Situasi desa yang tanpa listrik, kesepian, dan ambisi-ambisi terpendam jenderal menjadi bupati saya rasakan saat itu,” tutur Arswendy. 

Di kota kecil itu ia juga cepat menangkap bagaimana sang pensiunan jenderal masih memiliki kekuatan. Komando rayon militer di kecamatan setempat masih bisa melaksanakan perintah-perintahnya. “Dia masih punya alat,” ucap Wendy.

Adegan saat dibunuh Rakib adalah adegan seperti karma baginya. Saat malam dalam perjalanan mobil yang disopiri Rakib ia melihat spanduknya dirobek lagi (dilakukan sengaja sebelumnya oleh Rakib). Ia turun dari mobil guna mencari jejak pelakunya. Lalu Rakib mengambil bedil yang biasa dipakai sang jenderal melatihnya. Ia menembak sang jenderal. Dalam kegelapan pepohonan dan semak-semak sang jenderal tersaruk-saruk terluka. “Pada titik ini sang jenderal sadar Rakib “mengkhianatinya”. Ia tak bertanya lagi mengapa Rakib menembaknya. “Malah menantang Rakib untuk jantan menembak dari depan,” tutur Wendy.

Tahun ini boleh dibilang tahun subur bagi Arswendy. Tiga film yang dibintanginya, yaitu Autobiography, Nana, dan Ngeri-Ngeri Sedap, menunjukkan akting berkelasnya. “Film Nana suasananya feminin sekali. Sementara film Autobiography auranya sangat maskulin,” ujar Wendy. 

Tempo tahun ini memberikan penghargaan kepada Arswendy Bening Swara sebagai Aktor Pendukung terbaik dalam Film Pilihan Tempo 2022. Betapapun demikian juga harus dicatat, meski di film Autobiography dia diposisikan sebagai aktor pendukung, Marrakech International Film Festival, November lalu, juga memenangkannya sebagai aktor utama terbaik. “Sebab tokoh jenderal dipandang sebagai pembawa role cerita dan cerita berhenti ketika sang jenderal mati,” kata Arswendy.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus