Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Asa Mencipta di Britania Raya

Dewi Nur Aisyah bersama teman-temannya menciptakan alat deteksi tuberkulosis otomatis. Memanfaatkan teknologi machine learning.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEMPATAN studi ke luar negeri ibarat pemantik bagi Dewi Nur Aisyah, 31 tahun. Tiga tahun silam, ia bertekad tidak hanya membawa pulang gelar doktor saat kuliahnya di jurusan epidemiologi dan informatika penyakit menular University College London, Inggris, rampung. Apalagi ia penerima Beasiswa Presiden Republik Indonesia. “Pokoknya saya harus bikin sesuatu yang bermanfaat buat Indonesia,” kata Dewi saat dihubungi, Selasa, 30 April lalu.

Peluang datang saat raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Microsoft, menggelar Imagine Cup Student Competition 2016. Bersama teman-temannya, perempuan kelahiran Jakarta ini menciptakan alat deteksi tuberkulosis bernama Tuberculosis Detect and Care atau TB DeCare dan mengikutkannya dalam kompetisi tersebut. Tak disangka, mereka menjadi juara kategori World Citizenship dalam ajang pencarian penemu-penemu muda dari seluruh dunia itu.

Alumnus jurusan epidemiologi Universitas Indonesia ini berkisah, ide penciptaan TB DeCare berawal dari inisiatifnya membentuk tim bernama Garuda45. Anggotanya para mahasiswa dari beragam latar belakang keilmuan. Ada Ahmad Ataka, yang mengambil jurusan robotik di King’s College London; Ali Akbar, yang ahli di bidang kecerdasan buatan dari University of Edinburgh, Skotlandia; serta Muhammad Rezqi, yang mendalami bidang keamanan dan privasi siber di kampus yang sama dengan Ali.

Diskusi pertama mereka digelar di kediaman Dewi di London. Karena ingin berfokus pada masalah kesehatan, tim Garuda45 membuat daftar penyakit yang selama ini masih menghantui masyarakat Indonesia. Lalu sampailah mereka pada tuberkulosis. Menurut Dewi, pada 2014 Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah kasus tuberkulosis terbanyak kedua di dunia. “Padahal obatnya ada. Pasti ada sesuatu yang salah di lapangan,” ujarnya.


 

Berdasarkan temuan mereka, problem dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia terletak pada diagnosis dan pengobatan yang tidak rampung. Selama ini, untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis, Indonesia menggunakan metode pemeriksaan bakteri tahan asam pada dahak pasien. Faktanya, sensitivitas metode diagnosis itu sangat rendah, hanya sekitar 50 persen. Artinya, dari 100 penderita tuberkulosis, hanya 50 yang ketahuan mengidap penyakit itu.

 


 

Berdasarkan temuan mereka, problem dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia terletak pada diagnosis dan pengobatan yang tidak rampung. Selama ini, untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis, Indonesia menggunakan metode pemeriksaan bakteri tahan asam pada dahak pasien. Faktanya, sensitivitas metode diagnosis itu sangat rendah, hanya sekitar 50 persen. Artinya, dari 100 penderita tuberkulosis, hanya 50 yang ketahuan mengidap penyakit itu.

Kapasitas laboran yang melakukan diagnosis pun berbeda-beda. Dalam mendiagnosis tuberkulosis, laboran mesti menghitung jumlah bakteri dalam sampel dahak dengan mikroskop. Mereka harus membaca minimal seratus lapangan pandang dalam mikroskop tersebut. Hal ini memungkinkan mata laboran menjadi lelah. “Kami pun berpikir untuk mengatasi keterbatasan manusia itu dengan mesin,” tutur peraih gelar magister epidemiologi modern dari Imperial College London tersebut.

Dewi menjelaskan, alat deteksi itu berupa mikroskop dengan slot telepon seluler yang terhubung dengan lensa mikroskop untuk memotret sampel dahak. Foto sampel dahak diambil menggunakan fitur kamera dalam aplikasi TB DeCare di ponsel. Dengan aplikasi itu pula foto-foto tersebut dikirim ke server untuk dianalisis dengan machine learning. Teknologi itu akan menghitung jumlah bakteri dalam sampel dahak dan menyimpulkan tingkat tuberkulosis yang diderita pasien.

Dalam perkembangannya, mengingat setiap laboratorium sudah memiliki mikroskop sendiri, Dewi dan tim Garuda45 membuat converter agar ponsel bisa dipasang pada mikroskop-mikroskop tersebut. Aplikasi TB DeCare pun dikembangkan tidak hanya untuk laboran dan dokter. Pasien juga bisa mengunduh aplikasi tersebut sehingga dapat mengetahui status penyakitnya serta menerima pengingat jadwal berobat dan minum obat otomatis.

Dewi dan timnya baru saja merampungkan uji coba akurasi TB DeCare di Surabaya. Mereka menargetkan sensitivitas metode diagnosis tuberkulosis dengan alat ini mencapai 80-90 persen. Pada akhir Mei nanti, hasil uji coba itu akan keluar. “Jika hasilnya bagus, mungkin bisa dilakukan proyek percontohan di Surabaya. Tapi diskusi lebih jauh mengenai itu belum dilakukan karena kami harus mempresentasikan hasil uji coba kami lebih dulu,” ucapnya.

Menurut Dewi, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendukung penuh temuan mereka. Pada November 2016, tim Garuda45 mendapat sponsor untuk mendanai pengembangan TB DeCare, yakni Stop TB Partnership Indonesia. Namun mereka tak kunjung mendapat mitra untuk mengumpulkan sampel dahak dalam rangka uji coba akurasi alat. Kesempatan baru datang ketika Risma berkunjung ke London pada 25 Juli 2017. “Jadikan Surabaya laboratorium penelitian kalian. Saya bantu,” ujar Risma kala itu.

Risma mengatakan banyak peneliti muda di luar negeri yang memiliki temuan luar biasa. Salah satunya tim Garuda45. “Sebetulnya sangat potensial dikembangkan di Indonesia,” katanya saat ditemui di Balai Kota Surabaya, Rabu, 8 Mei lalu. Karena itu, selain memfasilitasi tim Garuda45 mengumpulkan sampel dahak pasien, Risma membantu mereka mematenkan mikroskop TB DeCare ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 21 Mei 2018.

Dokter spesialis paru dan pakar tuberkulosis, Erlina Burhan, menyebutkan temuan Dewi dan rekan-rekannya itu bisa meningkatkan penemuan kasus tuberkulosis. Menurut Erlina, Indonesia memerlukan inovasi semacam ini untuk mengakselerasi upaya eliminasi tuberkulosis pada 2030. “Bila Indonesia hanya beraktivitas business as usual, eliminasi tuberkulosis tidak akan tercapai,” tutur Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Cabang Jakarta itu.

Dewi Nur Aisyah di laboratoriumnya di London, April 2019. Dok. Pribadi

Dewi bercerita, selain kesulitan menggaet mitra, ada banyak tantangan yang harus dihadapinya selama membangun TB DeCare. Anggota tim Garuda45 kuliah di kampus yang berbeda. Dua di antaranya, Ali Akbar dan Muhammad Rezqi, bahkan berada di Skotlandia. Mereka berdiskusi melalui konferensi video. Belum lagi Dewi memiliki kesibukan lain di luar kuliah, yakni menjadi peneliti Indonesia One Health University Network yang bertugas menjembatani kolaborasi antara lembaga tersebut dan kampusnya.

Sejak 2017, Dewi juga aktif menulis dan telah menghasilkan tiga buku bertema keluarga, yakni Awe-Inspiring Me, Salihah Mom’s Diary, dan Awe-Inspiring Us. Buku-buku itu berisi cerita kesehariannya di London, termasuk ketika harus bergantian menjaga anak dengan suaminya karena sama-sama kuliah. “Saya lebih sering mengalah. Jadi ke kampus hanya dua hari, tapi benar-benar dari jam 8 pagi sampai 8 malam,” ujar ibu dua anak tersebut.

Pada pertengahan Mei ini, Dewi kembali ke Indonesia. Selain telah menamatkan studi doktoralnya, ia sudah menunaikan misi dari awal kuliahnya dulu: menciptakan sesuatu bagi Indonesia. Meski Dewi baru mendapat honor dari investor dalam pendanaan tahap kedua, yakni pada Januari 2018, tekadnya mengembangkan TB DeCare tak pernah surut. “Buat saya, kalau temuan ini bisa meningkatkan kesehatan Indonesia, itu adalah bayaran yang lebih besar daripada uang,” ucapnya.

 


 

Dewi Nur Aisyah

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 1 Desember 1988

Pendidikan: S-1 Epidemiologi Universitas Indonesia (2006-2010); S-2 Modern Epidemiology Imperial College London, Inggris (2011-2012); S-3 Infectious Disease Epidemiology and Informatics University College London, Inggris (2014-2018)

Pekerjaan: Senior Manager of Program Implementation Department Indonesia One Health University Network (2018-sekarang), Research Associate Disease Emergence and Economic Evaluation of Altered Landscape Project (2018-sekarang), Research Associate Emerging Zoonotic and Infectious Disease -Health Policy Research Group Universitas Indonesia (2013-2018)

Penghargaan: International Digestive Disease Forum Travel Grant (2019), Asian Pacific Digestive Week Travel Award (2018), Best Abstract International Liver Congress (2017), Young Investigator Award APASL Annual Meeting (2017), Young Investigator Travel Award EASL Special Conference (2016)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus