Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah ponsel terpasang, laboran pada Laboratorium Kesehatan Daerah Surabaya itu membuka aplikasi TB DeCare—singkatan dari Tuberculosis Detect and Care—di gawai tersebut. Ali memasukkan sebuah kode dan menekan “oke”. Seketika fitur kamera dalam aplikasi itu terbuka.
Rekan Ali, Umi Widayati, lantas meletakkan sampel dahak yang telah dioleskan pada preparat ke meja mikroskop. Ali mencari fokus untuk memotret sampel dahak itu, tapi tak mudah menemukannya. Ia gagal beberapa kali. Saat akhirnya kamera bisa terfokus, ia memotret bakteri yang berbentuk bintik-bintik merah itu lalu mengulanginya seratus kali.
Alat yang digunakan Ali tersebut adalah pendeteksi tuberkulosis otomatis yang diciptakan peneliti kelahiran Jakarta, Dewi Nur Aisyah, 30 tahun, bersama koleganya. Biasanya, laboran mendiagnosis tuberkulosis dengan menghitung jumlah bakteri dalam sampel dahak secara manual. Dengan TB DeCare, diagnosis dilakukan oleh teknologi machine learning. Teknologi itu juga akan menganalisis tingkat tuberkulosis yang diderita pasien.
Menurut Ali, TB DeCare sangat membantu pekerjaannya sebagai laboran. Meski harus memotret sampel dahak seratus kali, ia tak perlu menghitung banyaknya jepretan. Secara otomatis fitur kamera akan tertutup ketika seratus foto sudah didapat. “Foto-foto itu juga langsung terkumpul dalam satu folder yang kemudian dikirim ke server Balai Besar Laboratorium Kesehatan,” ujar Ali di Laboratorium Kesehatan Daerah Surabaya, Kamis, 9 Mei lalu.
Umi Widayati sepakat dengan Ali. Menurut dia, temuan tim Garuda45 tersebut dapat mengurangi beban laboran dalam membaca sampel dahak. Ia kerap kelelahan karena harus menempelkan matanya ke mikroskop selama berjam-jam untuk menghitung jumlah bakteri dalam sampel dahak pasien. Dengan aplikasi TB DeCare, ia hanya perlu mengamati sampel dahak pada layar ponsel. “Kami berharap temuan ini bisa diaplikasikan agar pekerjaan kami lebih cepat dan kasus bisa segera diobati,” katanya.
Saat dihubungi pada Selasa, 30 April lalu, Dewi menerangkan, agar temuan itu bisa digunakan oleh pasar, ia dan timnya harus menempuh uji sertifikasi di Kementerian Kesehatan. Sebenarnya Dewi sudah bertemu dengan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 5 September 2017. Namun Kementerian masih menunggu hasil uji coba akurasi TB DeCare, yang ditargetkan keluar pada akhir bulan ini.
Dewi dan timnya juga akan menguji coba mikroskop baru dengan sistem lebih otomatis. Ahmad Ataka, salah seorang anggota tim Garuda45, mengatakan pengembangan itu dibuat berdasarkan masukan dari para laboran yang menginginkan proses pemotretan dan penggeseran sampel dahak untuk mendapatkan seratus foto berjalan secara otomatis. “Sistem saat ini mengharuskan laboran memotret dan menggeser sampel secara manual,” ujar Ataka lewat sambungan telepon, Jumat, 10 Mei lalu.
Dengan sistem baru ini, Ataka melanjutkan, laboran hanya perlu mengatur sampel dahak pada awal untuk mendapatkan perbesaran yang diinginkan dan menekan tombol kamera sekali. Laboran pun tidak membutuhkan ponsel karena mikroskop sudah dilengkapi dengan layar sentuh dan kamera. Menurut Dewi, dengan sistem yang lebih otomatis ini, hasil diagnosis akan lebih akurat. “Dengan otomatisasi, kami ingin mengurangi human error,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo