Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Halo, Apa Betul Ini Suara Habibie dan Ghalib?

Rekaman percakapan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib dipublikasikan dan langsung membuat heboh. Kasusnya penyadapan atau penyebarluasan berita bohong?

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya, ada juga yang menendang "bola" itu hingga menggelinding dan menabrak-nabrak kewibawaan pemerintah. Majalah Panji Masyarakat, lewat pemberitaan sampul depan "Beredarnya Rekaman Ghalib-Habibie", yang beredar pekan lalu, menerbitkan rekaman percakapan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Walau sudah dibungkus kehati-hatian, "bola" itu sudah melesat ke mana-mana dan membuka aib baru pemerintah yang kini berkuasa. Setidaknya ada dua aib. Pertama, soal penyadapan itu sendiri, yang memperlihatkan betapa buruknya sistem keamanan lembaga kepresidenan. Kedua, kalau rekaman percakapan telepon itu benar, ini menurunkan citra pemerintah di mata masyarakat. Sebab, yang dibicarakan menyangkut pemeriksaan terhadap bekas presiden Soeharto dan dua orang pengusaha terkenal. Kaset percakapan itu sendiri sudah beredar lama dalam lingkup yang terbatas, dari tangan ke tangan, entah dari mana sumbernya. Tapi, begitu dimuat utuh dalam Panji Masyarakat, rekaman itu pun tak terbendung lagi peredarannya. Ia diperdengarkan di radio dan di televisi, diulas sejumlah pakar dan tokoh masyarakat. Masyarakat luas seperti diberi tahu?kalau memang kurang tahu?bahwa pemeriksaan mantan presiden Soeharto ternyata tak lebih dari "sandiwara politik" untuk menenteramkan masyarakat. Itu bukan, atau belum, sebuah upaya mendudukkan Soeharto sebagai pesakitan di muka hakim untuk mempertanggungjawabkan sejumlah masalah, terutama kekayaannya, selama memimpin negeri ini. Awal cerita percakapan telepon ini memang dimulai dengan peristiwa pemeriksaan Soeharto yang dilakukan di Gedung Kejaksaan Tinggi DKI, Jakarta, 9 Desember tahun lalu. Lokasi pemeriksaan itu sendiri berubah mendadak dari tempat semula di Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Pagi itu, pukul 07.30 WIB, Soeharto, didampingi sejumlah pengacaranya, menghadap tim Kejaksaan Agung di Gedung Kejaksaan Tinggi DKI di kawasan Kuningan, Jakarta. Jenderal besar itu dimintai keterangan karena adanya dugaan korupsi yang dilakukannya lewat yayasan-yayasan yang dipimpinnya. Seusai pemeriksaan yang berlangsung selama tiga jam itu, status Soeharto hanya disebut sebagai "terperiksa". Beberapa hari kemudian, sudah terdengar selentingan bahwa ada kaset rekaman hasil sadapan pembicaraan Habibie-Ghalib yang mempersoalkan pemeriksaan Soeharto itu. Bahkan berita selentingan itu sudah masuk ke Kejaksaan Agung. "Saya sudah mendengar selentingan adanya rekaman tersebut beberapa hari setelah pemeriksaan Soeharto," kata Syamsu Djalaluddin, mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, kepada Edy Budiyarso dari TEMPO. Namun kalangan Kejaksaan Agung meragukan kebenarannya, sehingga pihak kejaksaan tidak melakukan tindakan apa pun. Jumat, 18 Desember 1998, di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, seseorang membisikkan informasi bahwa ia baru saja mendengarkan kaset yang berisi percakapan telepon yang suaranya mirip dengan suara Jaksa Agung Andi Ghalib dan Presiden B.J. Habibie. Pembicaraan telepon tersebut diduga berlangsung dari telepon genggam Habibie ke telepon di rumah Andi M. Ghalib?suatu hal yang lebih memudahkan untuk disadap. Beberapa hari kemudian, seorang wartawan tabloid berita menginformasikan, ia dan teman satu kantornya sudah mendengarkan dan memiliki kaset percakapan tersebut. Sejumlah aktivis mahasiswa juga mengaku sudah mendengarkannya. Kaset rekaman telepon itu akhirnya jatuh ke media massa. Tabloid Berita Keadilan, yang diterbitkan Grup Jawa Pos, dalam terbitan Nomor 12 Tahun I/ 6-12 Januari, muncul dengan berita sampul "Percakapan Rahasia Habibie-Ghalib Soal Soeharto". Di halaman tujuh, tabloid tersebut menyinggung soal rekaman percakapan Habibie-Ghalib berdasarkan cerita seorang sumber. Disebutkan, pemeriksaan terhadap Soeharto hanyalah sebuah sandiwara, sementara Habibie mengincar Arifin Panigoro dan Sofjan Wanandi untuk diperiksa. Sampai di sini, tabloid yang menurut pemimpin redaksinya, Wawan Tunggul Alam, bertiras 70 ribu eksemplar itu adalah media massa pertama yang secara terbuka menulis adanya rekaman percakapan tersebut. Media massa lain agaknya berhati-hati karena menyebarkan hasil sadapan ini, apalagi menyangkut kepala negara, risikonya terlalu tinggi. Namun, sejak saat itu, semakin banyak orang yang mendengarkan rekaman percakapan tersebut, termasuk memiliki kasetnya, secara diam-diam. Wartawan Panji, menurut penuturan wakil pemimpin umumnya, Uni Zulfiani Lubis, baru mendapatkan kaset tersebut pada Selasa, 16 Februari 1999. "Dari seseorang di wilayah Jakarta Selatan," kataUni, yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Panji, kepada TEMPO. Begitu diterima, kaset itu langsung didengarkan bersama-sama oleh wartawan Panji. Uni mengaku kemudian membawa kaset tersebut ke "seseorang yang dekat dengan Habibie" untuk memastikan apakah suara di kaset tersebut benar suara Habibie. "Sejak awal kaset diputar, orang tersebut menyatakan betul itu suara Habibie," cerita Uni. Untuk lebih amannya, Uni mengonsultasikan keinginan memberitakan kaset tersebut dengan seorang penasihat hukum. Dari sanalah muncul kata-kata "mirip suara Habibie" dan "mirip suara Ghalib" dalam pemberitaan majalah Panji. Untuk kepentingan pemberitaan, upaya konfirmasi juga sudah dilakukan Panji. Dua orang dekat Habibie yang lain, yakni Jimly Asshidqy dan Dewi Fortuna Anwar, keduanya Asisten Menteri-Sekretaris Negara, sudah dihubungi Panji. "Ini jelas penyadapan. Itu melanggar undang-undang," kata Jimly seperti dikutip Panji. Kepada TEMPO, Jimly bilang bahwa tindakan Panji bisa menguntungkan pemerintah karena bisa menjadi pintu pembuka untuk mengungkap pelaku penyadapan. Sedangkan konfirmasi yang dilakukan Panji kepada Jaksa Agung Ghalib tidak membuahkan hasil. Akhirnya, majalah Panji memberitakan juga kasus itu. Selain menulis semacam pengantarnya, Panji memuat utuh seluruh isi percakapan telepon itu. Ini yang membedakannya dengan tabloid Berita Keadilan, yang mengutip sepenggal-sepenggal lalu mengomentarinya. Kamis, 18 Februari 1999, sehari setelah Panji beredar, keguncangan terjadi di lingkungan kepresidenan dan kabinet. Presiden Habibie, seperti yang ditirukan Menteri-Sekretaris Negara Akbar Tandjung, meminta Panglima ABRI Jenderal Wiranto menyelidiki asal usul kebocoran tersebut. Perintah Habibie yang dikeluarkan seusai rapat koordinasi bidang politik dan kemanan itu seakan menegaskan: rekaman pembicaraan tersebut autentik adanya. Akbar melanjutkan, penyadapan tersebut kemungkinan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan tinggi dan dana besar. Akbar ada benarnya. Sebab, menurut sumber TEMPO, di pasar gelap?khususnya untuk dunia intelijen?alat penyadap telepon genggam mudah didapat, tapi harganya mahal. Dengan alat tersebut, asal tahu nomor telepon yang dituju, si penyadap bisa nguping pembicaraan dalam radius 5 kilometer. Bahkan sumber TEMPO yang lain, yang mengetahui dunia intelijen, tergelak ketika ditanya kemungkinan keautentikan rekaman tersebut. Kaset bocoran itu, menurut dia, bukan barang baru. "Oknum-oknum" di kantor Telkom dengan gampang bisa diminta melakukan penyadapan. "Alamak, itu soal kecil. Lebih susah juga mencari dompet yang hilang di pasar," kata seorang perwira intelijen. Selain itu, keteledoran sistem pengaman informasi?sekalipun di tingkat tinggi?juga sering terjadi. Menurut prosedur pengamanan intelijen, presiden, para menteri, dan pejabat tinggi lainnya memiliki pesawat saluran khusus. Misalnya, pesawat warna merah saluran khusus Panglima ABRI, sedangkan putih khusus presiden. Saluran ini secure karena, menurut prosedur, pembicaraan di saluran tersebut sama sekali tak boleh direkam. "Itu prosedurnya. Entahlah yang di luar itu," kata sumber tadi sambil mengingatkan bahwa notulen rapat penting yang berceceran juga pangkal kebocoran. Dari penjelasan sumber TEMPO itu, tampaknya kaset Ghalib-Habibie ini bukan satu-satunya yang beredar. Masih ada kemungkinan kaset percakapan lainnya. Sementara itu, Jaksa Agung Ghalib justru bersikeras menyangkal. "Saya tidak pernah berbicara dengan Pak Habibie tentang masalah itu," katanya. Dalam kaset tersebut, aksen Ghalib yang fasih mengucapkan kata-kata "Alhamdulillah" dan "Insya Allah" terdengar berkali-kali. Sasaran pertama dari penyelidikan kasus penyadapan ini tentulah pihak Panji. Jumat pekan lalu, pukul 16.00 WIB, empat petugas dari Markas Besar Kepolisian RI mendatangi kantor majalah yang terletak di Jalan Kemang, Jakarta Selatan, itu. Mereka membawa perintah untuk meminta kehadiran Uni Lubis ke Markas Besar Polri. Selama enam jam, Uni beserta dua rekannya, yang didampingi pengacara T. Mulya Lubis, diperiksa. Dalam pemeriksaan ini, status Uni dan kawan-kawan adalah sebagai saksi dalam kasus penyebaran berita yang menyebabkan keonaran. Markas Besar Kepolisian RI memang membentuk tim khusus. Pertama, melakukan penyelidikan: apakah kaset rekaman itu betul-betul suara Habibie dan Ghalib. "Kalau memang betul, akan diambil tindakan dan langkah hukum lainnya. Sebab, ini menyangkut masalah membocorkan rahasia negara," kata Kepala Polri Jenderal (Pol.) Roesmanhadi kepada wartawan TEMPO di Manado, Verrianto Madjowa. Ihwal apakah itu pembicaraan resmi atau bukan, kata Roesmanhadi, penyadapan tetap tak bisa dibenarkan. Belum tampak ke arah mana "bola" ini akan ditendang kembali: ke masalah penyadapan atau penyebarluasan berita yang menyebabkan keonaran. Lakon belum ditutup. Rustam F. Mandayun, Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus