Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap bulan, tak kurang dari 30 ribu perempuan Indonesia mengadu nasib ke luar negeri. Sebagian besar menjadi pembantu rumah tangga atau pengasuh anak di Arab Saudi, Malaysia, Hong Kong, dan sejumlah negara lain. Begitu lepas landas meninggalkan Tanah Air, mereka seperti layang-layang putus. Perlindungan tak maksimal, pemantauan nyaris nihil. Di negara tujuan, mereka diperlakukan tak ubahnya budak belian. Tak sedikit yang kemudian berakhir di penjara, di tiang gantungan, atau di rumah sakit.
Pemerintah selalu berkilah tak punya cukup biaya untuk menjamin upaya perlindungan maksimal bagi para "pahlawan devisa". Padahal setiap tenaga kerja Indonesia sudah punya polis asuransi dengan premi Rp 400 ribu per kepala yang dibayar di muka. Setiap bulan sedikitnya ada fulus Rp 12 miliar yang dibayarkan untuk asuransi buruh migran.
Tapi masalah terus berlanjut. Banyak buruh migran mengaku dipingpong ketika berusaha mencairkan klaim asuransi. Kalaupun cair, jumlahnya tak seberapa. Belakangan muncul tudingan kongkalikong antara konsorsium perusahaan asuransi dan Kementerian Tenaga Kerja. Penelusuran Tempo menemukan jejak-jejak korupsi dalam program asuransi TKI ini.
LUKA di dagu Rushani binti Matsuni, 45 tahun, sudah mengering. Tapi bekas tusukan pisau dapur sedalam dua sentimeter itu jelas terlihat. "Saya hendak dibunuh majikan saya," katanya pelan. Matanya sembap. Di Kota Saham, kawasan Al-Batinah, Oman, pada sebuah malam pertengahan April lalu, perempuan asal Banjarmasin itu sudah pasrah pada nasib.
Dia terpojok di sudut dapur. Sebilah pisau di tangan majikan perempuannya siap mengiris urat leher Rushani. Mendadak pintu didobrak, dan suami si majikan merangsek masuk. Refleks, Rushani menepis pisau di lehernya. Dagunya tertusuk. Dua hari setelah tragedi itu, dia duduk di pesawat Emirates tujuan Jakarta: dipulangkan paksa sebelum kontraknya berakhir. Ini cerita tiga bulan lalu.
"Saya dimarahi karena menuntut gaji," kata Rushani mengenang. Ditemui Tempo awal Agustus lalu di rumah penampungan TKI bermasalah milik Migrant Care—lembaga swadaya masyarakat yang aktif mendampingi buruh migran—wajah Rushani tirus dan kelam.
Perempuan beranak tiga ini bekerja di Oman sejak Juni 2009. Awalnya menyenangkan, tapi lama-lama Rushani tak betah. Gajinya tak pernah dibayarkan teratur. Kadang tiga bulan sekali. Pernah setengah tahun dia tak pegang rial.
Di malam nahas itu, Rushani memberanikan diri menuntut pembayaran gaji. Kontraknya tinggal sebulan, dan dia tak mau pulang ke Indonesia dengan tangan hampa. Bukannya fulus, justru caci maki dan ancaman pembunuhan yang dia terima.
Begitu mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, seperti ratusan TKI lain yang pulang hari itu, Rushani digiring ke Terminal 4, terminal khusus pemulangan TKI, di Selapajang, Tangerang. Seorang petugas menanyakan luka di dagunya dan mengirimnya ke Rumah Sakit Polri Dr Sukanto di Kramat Jati, Jakarta Timur. Tak ada petugas asuransi di terminal yang membantunya mengurus klaim.
Di rumah sakit, cerita Rushani mulai terkuak. Dia ditipu perusahaan pengirim tenaga kerja swasta. Semula dia dijanjikan jadi juru masak di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Baru sebulan Rushani bekerja, majikannya "menjual" dia ke agen tenaga kerja Abu Faisal Services di Kota Al-Ain, satu setengah jam dari Abu Dhabi. Sepekan di sana, seorang pria setengah baya membelinya seharga 8.000 rial dan membawanya ke Oman lewat jalan darat.
Beruntung, Rushani tahu haknya. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7/Men/V/2010 tentang Asuransi TKI, dia bisa mengklaim pembayaran asuransi untuk nasib buruk yang menimpanya. Rushani bisa mendapat pembayaran asuransi atas kekerasan fisik yang dilakukan majikannya. Juga atas pemindahannya dari Abu Dhabi ke Oman, yang melanggar kontrak kerja.
Di atas kertas, sesuai dengan peraturan menteri, Rushani seharusnya mendapat sedikitnya Rp 40 juta, plus biaya tiket pesawat pulang ke Indonesia. Belum lagi kekurangan pembayaran gajinya, yang kalau dihitung-hitung tak kurang dari Rp 10 juta.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Perusahaan asuransi hanya mau mengganti biaya rumah sakit sebesar Rp 4,9 juta. Itu pun sempat digelapkan oleh staf perusahaan jasa TKI yang mengurusnya tanpa setahu Rushani. Putus asa setelah tiga bulan berjuang, sepekan sebelum Lebaran, Rushani memutuskan pulang ke Banjarmasin.
Nur Hasono, anggota staf Migrant Care yang mendampingi Rushani, memastikan ada ratusan TKI bernasib serupa. Bahkan pencairan asuransi milik tenaga kerja yang jelas-jelas meninggal karena dianiaya pun sering ditarik-ulur. Menurut dia, Migrant Care sudah bolak-balik mendatangi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI untuk urusan ini, tapi lebih sering gagal ketimbang berhasil. "Alasannya macam-macam," katanya mengangkat bahu.
Menurut Nur, masalah mendasarnya ada pada skema asuransi TKI yang diterapkan Kementerian Tenaga Kerja. Peraturan menteri yang mengatur soal asuransi, kata dia, merugikan buruh migran. "Persyaratan pencairan klaimnya sengaja dibuat sulit dipenuhi," ujar Nur.
Dia lalu menunjuk pasal tentang klaim dan kelengkapan dokumen dalam peraturan menteri itu. Di sana, persyaratan pengajuan klaim dijelaskan satu per satu. Misalnya, syarat pengurusan klaim asuransi bagi buruh migran yang berpindah majikan adalah surat keterangan dari perwakilan Republik Indonesia di negara itu.
"Jelas itu tidak mungkin dipenuhi. Ke luar rumah majikan saja mereka tak bisa," kata Nur seraya menggelengkan kepala. Tanpa pendampingan staf lembaga swadaya masyarakat, kecil kemungkinan seorang TKI bermasalah bisa mendapatkan klaim asuransi.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis awal tahun ini menyimpulkan hal yang sama. Skema asuransi TKI dinilai bermasalah dan tidak sepenuhnya melindungi buruh migran di luar negeri. "Unsur bisnisnya lebih kuat ketimbang aspek perlindungan," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri, akhir Juli lalu.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan setuju dengan kesimpulan Badan Pemeriksa Keuangan. Seorang petinggi di sana mengaku sudah memberikan masukan kepada Kementerian Tenaga Kerja sebelum skema asuransi TKI diputuskan, pertengahan 2010. "Kami mempertanyakan peran pialang dalam asuransi TKI," katanya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pialang adalah pihak yang mewakili tertanggung—dalam hal ini tenaga kerja. "Perannya menegosiasikan besaran premi, jenis program, dan besaran pertanggungan yang paling pas untuk TKI," kata sumber Tempo itu. Nah, dalam skema asuransi TKI, ketiga aspek itu sudah diputuskan dalam peraturan menteri, sehingga peran broker tidak ada.
Pendeknya, skema asuransi TKI ini sudah bermasalah dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya: kenapa Kementerian Tenaga Kerja terus mempertahankan skema ini?
SEMUA berawal pada pertengahan 2010. Ketika itu, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar memutuskan mengubah skema asuransi TKI yang ditinggalkan pendahulunya, Erman Suparno. "Sembilan konsorsium asuransi dinilai sulit dikontrol," ujar Abdul Malik Harahap, bekas Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja. Dialah yang mengawasi proses perubahan itu setahun lalu.
Pada Juli 2010, sebuah tim seleksi pun dibentuk dengan keputusan menteri. Tugas mereka adalah menyaring kembali dan memilih konsorsium perusahaan asuransi yang bakal bertanggung jawab mengelola program asuransi buruh migran.
Persyaratan bagi peserta seleksi dibuat ketat. Setiap perusahaan asuransi yang ingin diseleksi harus menyetor uang jaminan Rp 500 juta. Pialang yang mendaftar juga harus punya modal minimum Rp 1 miliar. Perusahaan asuransi yang ingin jadi kepala konsorsium harus punya aset Rp 2 triliun dan menyetor deposito jaminan Rp 2 miliar. "Kami ingin perusahaan asuransi yang mengurus TKI adalah perusahaan asuransi yang sehat," kata Malik.
Akhirnya, pada pekan kedua Agustus 2010, verifikasi rampung. Ada 22 broker asuransi dan 48 perusahaan asuransi yang lolos seleksi. "Mereka kemudian diminta membentuk konsorsium," katanya lagi. Sepekan kemudian, terbentuklah empat konsorsium perusahaan asuransi: Dasa Sinergi dengan kepala PT Panin Insurance, Mitra Amanah dengan kepala PT Indolife Pensiontama, Sejahtera yang dipimpin PT Asuransi Sinarmas, dan Proteksi TKI yang dikepalai PT Central Asia Raya.
Terbentuknya empat konsorsium ini bisa dibilang relatif cepat. Rahasianya ada pada para broker. Merekalah yang pontang-panting mengumpulkan perusahaan asuransi untuk membentuk konsorsium. "Di lapangan, para broker yang berperan dominan," kata satu sumber Tempo, "termasuk melobi pejabat kementerian."
Dalam dua pekan terakhir Agustus, tim seleksi memeriksa kelengkapan dokumen dan melihat langsung kesiapan keempat konsorsium melaksanakan program asuransi TKI. "Kami turun ke daerah-daerah," ujar Malik.
Di Jakarta, proses "seleksi" lain berlangsung. Sejumlah broker yang mewakili konsorsium perusahaan asuransi mengaku dihubungi Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Jazilul Fawaid. Pertemuan kadang berlangsung di ruang kerja Jazil di lantai dua Kementerian Tenaga Kerja, tapi lebih sering di coffee shop hotel-hotel berbintang di Ibu Kota. "Kadang di Gran Melia dekat kantor Kementerian Tenaga Kerja, kadang di Hotel Mulia dekat Senayan," kata satu broker kepada Tempo.
Dalam setiap pertemuan, Jazil menawarkan jalur khusus untuk memenangi seleksi menjadi penyelenggara program asuransi tenaga kerja. Imbalannya? "Kami diminta menyetorkan sekian persen dari total premi asuransi yang diterima konsorsium setiap bulan," kata sumber Tempo di satu konsorsium.
Malik Harahap mengaku mendengar cerita soal "seleksi" khusus ini, tapi tidak bisa memastikan. "Saya tidak tahu," ujarnya. Yang jelas, sepekan sebelum penetapan pemenang seleksi, dia mengaku sempat diminta menemui Jazil Fawaid. "Waktu itu, saya ingat hari Minggu, saya diminta ke kantor," katanya. Meski resminya hanya Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Jazil memang dikenal sebagai orang kepercayaan Menteri Muhaimin. Karena itu, Malik tak merasa keberatan diminta menghadap Jazil.
Sayang, Malik enggan menjelaskan isi pertemuan itu. Tapi, dari seorang pejabat di Kementerian, Tempo memperoleh penjelasan tentang suasana rapat mendadak itu. Dalam pertemuan yang dihadiri empat orang itu, Jazil meminta rumusan konsep surat rekomendasi hasil seleksi konsorsium penyelenggara asuransi TKI yang disusun Malik ditinjau kembali.
Dalam rekomendasinya, Malik memang menyebutkan keempat konsorsium yang diseleksi memenuhi kriteria dan syarat yang diminta Menteri Tenaga Kerja. "Tapi Jazil ingin rekomendasi Dirjen Pembinaan dan Penempatan TKI langsung menunjuk satu konsorsium," katanya. Malik mati-matian menolak permintaan Jazil. Dia khawatir penunjukan satu konsorsium dinilai sebagai monopoli dan dipersoalkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Tapi rekomendasi Malik membentur tembok. Selasa, 6 September 2010, sekitar sepekan setelah pertemuan itu, Menteri Muhaimin memutuskan menunjuk Konsorsium Proteksi TKI sebagai penyelenggara program asuransi tenaga kerja. Pialang konsorsium itu adalah Paladin Internasional. Saat itu empat hari sebelum Idul Fitri.
SALAH satu temuan penting audit Badan Pemeriksa Keuangan adalah tingginya biaya pialang atau brokerage fee pada konsorsium asuransi TKI. Penting dicatat, ketika audit dilakukan pada awal 2010, Kementerian Tenaga Kerja masih mengizinkan sembilan konsorsium asuransi menjalankan program asuransi buruh migran.
Biaya pialang setiap konsorsium ketika itu bervariasi, tapi kisarannya 20-50 persen dari total premi. Artinya, setiap setoran premi sebesar Rp 400 ribu per tenaga kerja—yang dibayarkan oleh perusahaan penempatan TKI—seperlima sampai separuhnya dipotong dulu oleh para pialang alias broker asuransi. Sisanya baru masuk ke perusahaan asuransi.
Auditor BPK menemukan, tak semua biaya broker itu masuk ke rekening perusahaan pialang. Sebagian justru ditawarkan ke perusahaan pengirim buruh migran sebagai potongan premi atau bonus di akhir tahun. "Terjadi perang diskon," kata Hasan Bisri, pemimpin BPK yang mengepalai audit ini.
Perang diskon itu membuat nilai riil premi yang dikelola perusahaan asuransi menyusut. Otomatis nilai manfaat yang bisa diklaim tenaga kerja ikut berkurang. "Akibatnya, perusahaan asuransi kesulitan menutup klaim asuransi para TKI," ujar Hasan.
Yunus Yamani, Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan TKI, membenarkan adanya diskon besar-besaran dari konsorsium asuransi lama. "Perusahaan penempatan hanya bayar Rp 250 ribu atau Rp 300 ribu per TKI," katanya. Abdullah, pemilik perusahaan penempatan TKI lain, mengaku tidak mendapat korting premi. "Tapi, setiap akhir tahun, ada bonus dari perusahaan asuransi," ujarnya. Jumlahnya lumayan.
Yang jadi masalah, titik lemah skema asuransi lama ini justru terkesan dibiarkan saja. Dalam skema baru yang dilansir Menteri Muhaimin pada Mei 2010, yang berubah hanya jumlah konsorsium asuransi yang menangani program ini. Brokerage fee yang dinikmati Paladin sebagai pialang asuransi TKI tetap tinggi: 50 persen. Artinya, jika setiap bulan rata-rata ada 30 ribu buruh migran menyetor Rp 400 ribu per orang sebelum berangkat ke luar negeri, Paladin mengantongi bagian hingga Rp 6 miliar.
Itu baru hitung-hitungan kasar di atas kertas. Tempo memperoleh salinan surat dari Paladin untuk pemimpin Konsorsium Proteksi TKI, PT Central Asia Raya, pada November 2010. Dalam surat itu, Paladin mengaku baru saja mengirim Rp 9,2 miliar untuk pembayaran premi bulan sebelumnya.
Leonny Elimin, perwakilan PT Central Asia Raya dalam konsorsium Proteksi TKI, membenarkan ihwal surat itu. "Dana yang dikirim itu sudah dipotong bagian untuk Paladin," katanya lewat surat elektronik.
Jika dalam skema asuransi lama sebagian biaya pialang ini dikembalikan sebagai diskon dan bonus untuk perusahaan penempatan TKI, bagaimana sekarang? "Kami tidak mendapat diskon lagi," kata satu pemilik perusahaan penempatan. Bonus idem ditto: kering. Lalu ke mana uang brokerage fee itu?
Sumber Tempo di salah satu perusahaan broker asuransi menjelaskan uang itulah yang kini diduga jadi setoran ke mana-mana. "Pada proses seleksi, persentase setoran premi itulah yang diminta oleh pejabat Kementerian," katanya. Si pejabat yang dimaksud lagi-lagi Jazil Fawaid.
Jazil membantah semua tuduhan itu. "Saya orang kampung, tidak paham asuransi," katanya kepada Tempo. Surachman Jusuf, Direktur Utama Paladin, juga mengaku tidak menyetor sepeser pun ke Kementerian.
Meski begitu, ada satu hal yang membuat kecurigaan banyak orang tak pupus begitu saja. Konsorsium Proteksi TKI dan Paladin tampak begitu diistimewakan di Kementerian Tenaga Kerja. Pada Oktober 2010, sebulan setelah penunjukan Proteksi TKI sebagai konsorsium tunggal penyelenggara program asuransi, satu anggota konsorsium mengundurkan diri: PT Asuransi Takaful Keluarga.
Penyebabnya: manajemen Takaful baru diberi tahu soal besaran brokerage fee yang mencapai 50 persen dari total premi. "Secara bisnis, hitung-hitungannya jadi tidak masuk. Ini menyalahi prinsip asuransi syariah di perusahaan kami," kata sumber Tempo di sana.
Presiden Direktur Takaful, Trihadi Deritanto, menolak berkomentar soal ini. "Saya terikat perjanjian untuk tidak mengomentari masalah ini," katanya.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, mundurnya satu perusahaan otomatis membuat konsorsium itu bubar. Tapi, sampai sekarang, Konsorsium Proteksi TKI tidak mendapat sanksi apa pun. "Kami tidak mendapat laporan soal itu," kata Muhaimin ketika dimintai konfirmasi.
Tempo memperoleh salinan risalah rapat Konsorsium Proteksi TKI yang membahas pengunduran diri Takaful, 12 Oktober 2010. Dalam rapat yang dihadiri dua pemimpin Paladin itu—Surachman Jusuf dan Aan Sadnan—memang ada kesepakatan untuk tidak melaporkan insiden ini. Poin keempat dalam risalah itu menegaskan bahwa Paladin meminta pengunduran diri Takaful "tidak diterbitkan dalam surat resmi".
Surachman Jusuf membantah isi risalah rapat itu. Menurut dia, sampai sekarang, Takaful masih menjadi bagian dari Konsorsium Proteksi TKI.
MESKI sudah jelas ada peraturan yang dilanggar, sikap para pejabat Kementerian Tenaga Kerja tentang keberadaan Paladin dan Konsorsium Proteksi TKI terbelah. Sebagian menilai sudah saatnya konsorsium itu dievaluasi, sementara yang lain memilih menunggu. Awal Agustus lalu, kubu pertama mulai bergerak. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, memanggil Konsorsium dan Paladin. Dalam pertemuan itu, Konsorsium diminta memperbaiki kinerja mereka.
"Kementerian minta semua pengajuan klaim asuransi TKI langsung dibayar 25 persen, tanpa syarat," kata sumber Tempo yang mengikuti rapat itu. Kebijakan ex gratia settlement ini diambil karena banyaknya klaim asuransi buruh migran yang tidak dicairkan Konsorsium. Ini untuk pertama kalinya kinerja buruk Konsorsium dipersoalkan.
"Sampai Juni 2011, premi yang masuk konsorsium itu sudah mencapai Rp 160 miliar," katanya. "Tapi total klaim yang sudah dicairkan tak sampai Rp 10 miliar," ujar sumber Tempo prihatin. Data soal ini bisa diakses dan sudah diketahui para pejabat Kementerian. Tiga bulan sekali, mereka menerima laporan dari Konsorsium. "Tapi tak ada yang bergerak," katanya.
TIM INVESTIGASI ASURANSI HAMPA PAHLAWAN DEVISA: Penanggungjawab: Arif Zulkifli. Kepala Proyek: Wahyu Dhyatmika. Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika. Penulis: Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi, Budi Riza, Yuliawati. Penyumbang Bahan: Rumbadi Dalle (Batam), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Rofiqi Hasan (Denpasar), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya), Indra O.Y. (Makassar), Anang Zakaria (Yogyakarta), Eko Widianto (Pasuruan), Ivansyah (Cianjur), Arihta Utama (Bogor), Munawwaroh (Jakarta). Riset Foto: Bismo Agung. Desain: Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto, Agus Darmawan S., Triwatno Widodo. Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Habib Rifa’i. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo