Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"JIKA Anda ingin mengurus keperluan, bisa lewat Mas Jazil sebagai Wakil Menteri," kata Muhaimin Iskandar pada satu kesempatan di kantor Partai Kebangkitan Bangsa, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, dua tahun lalu. Ketika itu Ketua Umum PKB tersebut baru diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski hal itu disampaikan dengan nada bercanda, pria yang namanya disebut Muhaimin ini langsung terperangah. Jazilul Fawaid, demikian nama lengkapnya, memang sudah lama dikenal sebagai orang kepercayaan Muhaimin. Tapi pria kelahiran Bawean, Jawa Timur, ini merasa tak nyaman dengan pengumuman itu. "Saya khawatir blunder. Hal-hal seperti itu sebaiknya tidak disampaikan di depan umum," katanya serius kepada Tempo pertengahan Agustus lalu.
Nasi sudah jadi bubur. Pernyataan Muhaimin menembus dinding kantor PKB hingga ruang kerja para direktur jenderal di Kementerian Tenaga Kerja. Posisi Jazil sebagai tangan kanan Menteri pun kian kukuh. Meski resminya hanya anggota staf khusus, Jazil memiliki kekuasaan melebihi pejabat eselon satu. Dia bisa masuk ke ruang kerja dirjen, mengatur ini-itu atas nama Menteri. Pendeknya, tak ada urusan yang lepas dari campur tangan Jazil.
Meski tak ada yang berani terang-terangan, hampir semua orang di ring satu Muhaimin mengakui besarnya peran Jazil. "Gayanya melebihi Menteri," kata satu orang. "Kalau ada apa-apa, Cak Imin selalu meminta Jazil yang menyelesaikan," kisah yang lain.
Lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran di Jakarta ini pun tampak menyadari posisi istimewanya di mata Muhaimin. Tak jarang dia menyikut koleganya sesama staf khusus untuk mengegolkan program atau meloloskan anggaran. "Pak Maktub sampai pernah menegur Jazil," kata sumber Tempo di Kementerian Tenaga Kerja. Maktub yang dimaksud adalah Abdul Wahid Maktub, anggota staf khusus Muhaimin yang lain. Ditanya soal ini, Maktub menolak berkomentar.
Kedekatan Jazil dan Muhaimin punya sejarah panjang. Mereka berdua akrab sejak sama-sama aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 1990-an. Ketika pada 1994 Muhaimin terpilih sebagai ketua umum organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama itu, Jazil adalah Ketua PMII Jakarta Selatan.
Karier keduanya naik berbarengan, meski Muhaimin selalu lebih cemerlang. Pada 1998, ketika Muhaimin dipercaya menjadi Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa, Jazil adalah pengurus Garda Bangsa, organisasi kepemudaan partai itu.
Jazil mulai bekerja untuk Cak Imin ketika sang bos menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004. Posisinya ketika itu adalah tenaga ahli, meski sehari-hari dia lebih sering berperan sebagai asisten pribadi. Tugasnya membawakan tas dan menyediakan berbagai keperluan Muhaimin. "Saya memang pembantunya," kata Jazil enteng saja.
Loyalitasnya berbuah manis. Segera setelah Muhaimin diangkat jadi Menteri Tenaga Kerja dua tahun lalu, Jazil ikut diboyong ke kantor baru atasannya. Posisinya kini mentereng: staf khusus menteri. Seiring dengan itu, kesejahteraannya menanjak. Ketika bertugas di Senayan, Jazil hanya mengontrak rumah di Ciputat dan bepergian dengan kendaraan umum. Sekarang dia punya rumah sendiri di sebuah kompleks perumahan di Tangerang Selatan. Ketika Tempo berkunjung ke sana pada akhir Juli lalu, di depan rumahnya ada tiga mobil: Toyota Avanza, Fortuner, dan sebuah Alphard hitam.
Banyak cerita tentang Alphard hitam Jazil ini. Seorang bekas pejabat eselon satu Kementerian Tenaga Kerja berbisik bahwa kendaraan mewah seharga sekitar Rp 1 miliar itu adalah pemberian seorang pejabat Kementerian yang ingin naik pangkat. "Kabar ini santer di dalam," katanya.
Sumber Tempo lain punya cerita berbeda. Menurut dia, mobil Alphard itu adalah hadiah untuk jasa Jazil meloloskan Konsorsium Proteksi TKI menjadi satu-satunya penyelenggara asuransi TKI pada September 2010. Kala itu Jazil memang aktif menemui perwakilan dari empat konsorsium yang tengah bersaing.
"Beberapa kali kami diminta menghadap ke ruang kerja dia di Kementerian," kata satu petinggi pialang asuransi. Meski akhirnya tersisih, dia sempat menemui Jazil untuk "tawar-menawar". Setiap pertemuan, Jazil memancing kesanggupan konsorsium untuk menyetor fulus. Negosiasi berlangsung maraton dan berpindah-pindah tempat.
Jazil membantah semua cerita ini. Dia berulang kali menegaskan bahwa bukan dia yang mengurusi seleksi konsorsium asuransi TKI. "Saya orang kampung, tidak mengerti asuransi," katanya. Ketika ditanya soal kedekatannya dengan Aan Sadnan, penasihat PT Paladin—perusahaan yang akhirnya jadi pemenang—wajah Jazil berkerut. "Apa? Pa-la-din?" katanya terbata-bata.
Soal Alphard, jawaban Jazil pendek saja. "Itu mobil Pak Menteri. Saya hanya pinjam." Muhaimin sendiri tak berani memastikan, "Kami memang sering tukar-menukar mobil, periksa saja pelat nomornya." Tapi, kepada sumber Tempo di Kementerian, Jazil malah mengaku Alphard itu milik adiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo