Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika pulang kampung ke Pariaman, Sumatera Barat, empat tahun lalu, Juniarti menyaksikan keajaiban. Di tengah liburan itu, kepala ayah Juniarti berdarah akibat tersayat duri pohon asam di pekarangan rumah. Alih-alih panik, sang bapak meminta Juniarti mengambil getah sebuah tanaman untuk dioleskan ke bekas luka.
Ajaib. Saat itu juga luka sayat di kepala ayah Juniarti menutup dengan sempurna. Perdarahannya pun mandek. "Saya, yang belum tahu jenis tanaman yang getahnya dimanfaatkan Bapak, langsung takjub," ujar Juniarti, Rabu pekan sore. Belakangan, barulah Juniarti tahu itu adalah jarak tintir alias Jatropha multifida L. Sudah lama tanaman itu tersohor di kalangan masyarakat Minangkabau untuk menyembuhkan luka.
Sebagai ilmuwan biomedis, Juniarti tak hanya takjub melihat pengalaman itu, tapi juga mendorongnya meneliti lebih lanjut. Bahkan hal itu lantas dia jadikan sebagai bahan disertasinya, yang berjudul "Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Tintir Secara Topikal pada Proses Inflamasi dan Fibroplasia Luka Sayat Kulit". Disertasi itu diujikan bulan lalu di Universitas Indonesia.
Juniarti melihat potensi herbal ini untuk diproduksi secara massal. Ada tiga faktor yang membuat Juniarti yakin akan potensinya. Pertama, jarak tintir cespleng menyembuhkan luka-baik luka lama maupun baru, luka bakar, luka pecut, luka karena gigitan serangga, tukak atau luka pada dinding lambung, kudis, dan bisul. Kedua, getah jarak tintir tak punya efek samping. "Saya mencari obat luka berbahan dasar herbal yang aman, cepat, dan efisien dibanding yang sudah ada saat ini," katanya. Ketiga, tanaman ini mudah ditemui di Indonesia.
Kendalanya cuma satu: meski jarak tintir gampang dijumpai, tak mudah mengumpulkan getah tanaman ini dalam jumlah besar untuk produksi massal obat luka. Keterbatasan produksi getah dalam satu tanaman jarak tintir itulah yang menggelitik Juniarti untuk melakukan riset ada atau tidak bagian lain tumbuhan tersebut yang juga bisa dimanfaatkan untuk obat luka.
Juniarti kemudian berkonsentrasi pada daun, yang memang bagian terbaik dari tanaman tersebut. "Semua bagian tanaman ini mengandung senyawa hampir sama, tapi zat aktifnya paling banyak terdapat pada daun," ujarnya. "Saya berharap, setelah diproduksi massal, nantinya ekstrak daun jarak tintir bisa menggantikan iodin sebagai antibiotik standar," kata pengajar di Universitas YARSI tersebut.
Penelitian terhadap daun jarak tintir dimulai Juniarti dua tahun lalu terhadap 54 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus itu diberi luka sayat sepanjang 1 sentimeter dan sedalam 2-3 milimeter. Dari enam kelompok tikus, Juniarti memberi perlakuan berbeda, yakni dengan meneteskan ekstrak daun jarak tintir yang dicampur metanol 1 persen, etil asetat 1 persen, n-heksan 1 persen, senyawa steroid, dan alkohol 70 persen serta negatif atau tanpa perlakuan.
Pembagian kelompok itu dilakukan untuk melihat efek penyembuhan luka dan mengecek keamanan pemakaian ekstrak daun jarak tintir. Dari hasil penelitian terlihat, tikus yang diberi metanol 1 persen dengan ekstrak daun jarak tintirlah yang paling cepat sembuh. Juniarti menyebutkan luka sayat bisa membaik pada hari ketiga jika diobati dengan 0,125 mikroliter ekstraksi daun jarak tintir dengan metanol 1 persen.
Untuk memahami bagaimana ekstrak itu bekerja pada luka, kita harus lebih dulu mengetahui reaksi tubuh ketika terluka. Dokter spesialis bedah plastik Lisa Hasibuan menjelaskan, saat kulit tersayat, pembuluh darah akan terputus dan berdarah. Tubuh pun bereaksi dengan mekanisme mengerutkan bagian yang terluka (vasokosentris). Hal ini penting karena, dengan mengerut, perdarahan pun berkurang.
Setelah itu, tubuh mengundang sel-sel darah putih (leukosit) untuk masuk ke area luka. "Kotoran yang mungkin ada saat terjadi luka kemudian dibersihkan, dilanjutkan proses inflamasi (peradangan)," ujar pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ini.
Obat-obat luka selama ini kita gunakan untuk menekan peradangan tersebut. Obat-obatan itu biasanya mengandung bahan kimia, seperti senyawa glukokortikoid, anti-inflamasi nonsteroid, dan obat-obat kemoterapi. Kendati punya efek mengurangi gejala radang dan menepikan nyeri, glukokortikoid punya efek samping, yakni menekan sintesis kolagen. Padahal sintetis kolagen penting untuk mengganti jaringan kolagen yang rusak. Begitu pun senyawa providon iodine, yang selama ini dikenal sebagai antiseptik standar, punya efek negatif pada mikrosirkulasi atau sistem peredaran darah kecil.
Efek-efek negatif yang ditimbulkan oleh obat luka itu tidak ditemui pada jarak tintir. Pada hari ketiga percobaan Januarti, jumlah sel darah putih turun lebih cepat, hingga 60 persen. Singkatnya fase peradangan dipicu oleh senyawa metabolit sekunder dari jarak tintir, seperti alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, dan fenol. Selain mengurangi peradangan, jarak tintir berfungsi sebagai antioksidan dan antibiotik.
Tentu, selain jarak tintir, ada sejumlah bahan alami yang selama ini dipercaya ampuh menyembuhkan luka. Dokter spesialis saraf yang juga Ketua Dokter Herbal Medik Indonesia, Hardhi Pranata, menyebutkan madu, jahe, kunyit, lidah buaya, bawang putih, dan biji anggur juga bisa mengobati luka. Asalkan, "Ekstrak tumbuhan itu dikelola dengan baik dan higienis," kata Lisa.
Peneliti Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Agung Eru Wibowo, menyebutkan hasil penelitian Juniarti berpotensi dikomersialkan. Sebab, daun jarak tintir lebih mudah didapat dan diambil dalam jumlah banyak dibanding bagian getahnya. "Asalkan setelah ini dilakukan penelitian lanjutan yang lebih terarah memanfaatkan data empiris yang sudah ada," ujarnya.
Juniarti tak menyanggah ke depannya bakal menjadikan ramuan daun jarak tintir sebagai herbal terstandar-bekerja sama dengan pemerintah. Caranya dengan lebih dulu melakukan uji klinis, sebagai syarat menjadikan tumbuhan sebagai herbal obat atau fitofarmaka. Tapi, selama ramuan jarak tintir belum diproduksi massal, masyarakat tetap bisa memanfaatkan langsung daun tanaman ini karena sudah terbukti keamanannya.
Isma Savitri, Dianing Sari
1. Saat kulit tersayat, pembuluh darah akan terputus dan berdarah. Tubuh pun bereaksi dengan mekanisme mengerutkan bagian yang terluka (vasokosentris).
2. Setelah itu, tubuh mengundang sel-sel darah putih (leukosit) untuk masuk ke area luka. Kotoran yang mungkin ada saat terjadi luka kemudian dibersihkan, dilanjutkan proses inflamasi (peradangan)
3. Obat-obat luka yang selama ini kita gunakan untuk menekan peradangan biasanya mengandung bahan kimia, seperti senyawa glukokortikoid. Glukokortikoid punya efek samping, yakni menekan sintesis kolagen. Padahal sintetis kolagen penting untuk mengganti jaringan kolagen yang rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo