Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan DPR melebur RUU omnibus law perpajakan ke RUU Cipta Kerja.
Diusulkan Golkar, pasal-pasal kluster perpajakan baru dibahas beberapa pekan sebelum pengesahan.
Bonus dan keringanan pajak bertebaran demi menarik investasi.
MASUK dua keluar satu. Begitulah akhir cerita Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja serta RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dua rancangan aturan sapu jagat alias omnibus law usulan pemerintah yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat itu digabung dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan Senin, 5 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggabungan itu yang kemudian memicu munculnya anggapan pasal-pasal pajak diselundupkan ke Undang-Undang Cipta Kerja. Tudingan ini mencuat terutama karena informasi tentang keputusan menggabungkan dua omnibus law tersebut baru diterima publik sepekan sebelum pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dianggap kontroversial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, untuk bagian perubahan aturan perpajakan pada omnibus law ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung pasang badan. “Kalau ada yang menyampaikan seolah-olah ini suatu pemasukan pasal-pasal, itu tidak benar,” kata Sri Mulyani dalam konferensi virtual, Rabu, 7 Oktober lalu. “Pemerintah dan DPR bersama-sama membahasnya, antarkomisi maupun Badan Legislasi.”
Sri Mulyani benar. Pasal-pasal dalam gugus perpajakan yang kini menjadi bagian dari Bab VI tentang Kemudahan Berusaha Undang-Undang Cipta Kerja memang dibahas pemerintah dan parlemen. Tapi kumpulan pasal itu—yang mulanya disodorkan pemerintah dalam bentuk undang-undang omnibus tersendiri—muncul di tengah-tengah pembahasan Cipta Kerja. Sejumlah legislator anggota Badan Legislasi, terutama di luar koalisi pemerintah, mengaku tidak siap membahas usul penggabungan yang ditengarai disuarakan oleh Fraksi Partai Golkar ini.
Beberapa pasal yang telah diketuk itu juga menjadi sorotan penggiat pajak. Ekonom The Prakarsa, Cut Nurul Aidha, misalnya, mengkritik pasal pembebasan pajak penghasilan (PPh) atas dividen luar negeri dari wajib pajak dalam negeri sepanjang diinvestasikan di Indonesia. “Penghapusan PPh atas dividen tidak selalu menjamin repatriasi dana yang diparkir di luar negeri. Juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak,” ujar Cut Nurul Aidha, Kamis, 8 Oktober lalu.
Sementara itu, di sisi seberang, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Bawono Kristiaji, menilai instrumen-instrumen pajak yang diubah lewat Undang-Undang Cipta Kerja memang untuk menarik modal dan sumber daya manusia unggul masuk ke dalam negeri. Satu di antaranya terlihat dalam instrumen bebas pajak dividen tadi.
•••
HENDRAWAN Supratikno mendapat rekap lanjutan Daftar Inventaris Masalah RUU Cipta Kerja dari pemerintah pada awal September lalu. Saat itu, anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut belum menemukan adanya usul perubahan pasal-pasal perpajakan. “Hanya ada catatan yang memuat kemungkinan penambahan kluster perpajakan,” kata Hendrawan lewat sambungan telepon, Kamis, 9 Oktober lalu.
Berlalu tiga pekan, tidak ada tanda-tanda catatan kecil itu bakal dibahas Badan Legislasi yang bertugas menyusun RUU bersama perwakilan pemerintah. Baru pada pembahasan Bab VI soal Kemudahan Berusaha, akhir September lalu, anggota Badan Legislasi, Firman Subagyo, mengusulkan agar rencana perubahan aturan perpajakan masuk RUU Cipta Kerja. Usul Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Badan Legislasi itu disokong kolega separtainya, John Kennedy Aziz.
Firman Subagyo belum menjawab pertanyaan Tempo ketika dimintai konfirmasi soal Golkar yang menyuarakan agar omnibus law perpajakan dilebur ke Undang-Undang Cipta Kerja.
Sehari setelah diusulkan, pasal-pasal dalam kluster perpajakan tersebut kemudian dibahas oleh Badan Legislasi. Daftar inventaris masalahnya dicomot dari RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Pemerintah sebetulnya telah menyerahkan RUU omnibus law perpajakan ini ke parlemen pada Januari lalu, lebih dulu ketimbang RUU Cipta Kerja.
Ada sembilan undang-undang yang diubah dalam rancangan omnibus law perpajakan, dari Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Kepabeanan, dan Cukai. Perubahan juga meliputi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penanaman Modal, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta pemerintah daerah.
Pandemi menerjang sebelum omnibus law perpajakan dibahas. Sejumlah pasal dalam rancangan tersebut telah diserap dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pemerintah, misalnya, menurunkan tarif pajak penghasilan badan menjadi 22 persen selama 2021-2022 dan 20 persen pada 2023.
Pasal-pasal yang belum terserap kemudian ditempel ke gugus perpajakan Undang-Undang Cipta Kerja. “Betul. Substansi kluster perpajakan di Cipta Kerja sama dengan omnibus perpajakan sebelumnya,” tutur Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi, Rabu, 7 Oktober lalu.
Ada beberapa tambahan minor di luar RUU omnibus law perpajakan yang muncul dalam Undang-Undang Cipta Kerja, di antaranya soal bebas pajak buat sisa hasil usaha koperasi dan hasil pengembangan keuangan haji. “Kami yang mengusulkan itu,” kata anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Eddy Susetyo, pada Rabu, 7 Oktober lalu.
•••
TIDAK seperti kluster lain dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang memicu gejolak, gugus perpajakan tidak terlalu mendapat perlawanan berarti. Dalam undang-undang baru ini, aturan soal kluster perpajakan berada di pasal 111, bagian ketujuh dan bab keenam tentang kemudahan berusaha. Perubahan-perubahan tersebut ada yang langsung bersentuhan dengan kemudahan investasi, seperti pembebasan pajak dividen luar negeri dan dalam negeri bagi subyek pajak sepanjang keuntungan diinvestasikan kembali ke dalam negeri.
Selama ini, pajak penghasilan final untuk dividen kena tarif 10 persen. Pasal ini dianggap menjadi biang praktik penghindaran pajak lewat berbagai skema. Wajib pajak, misalnya, mengecilkan keuntungan atau bahkan mengklaim rugi dengan cara memperbesar biaya produksi atau bahan baku. Tarif ini pula yang selalu menjadi dalih pengusaha memilih memarkir dananya di luar negeri. “Melalui perubahan sistem ini, pemerintah sepertinya berharap dana-dana tersebut akan ‘pulang’ ke Indonesia dan menggairahkan kegiatan ekonomi domestik,” ujar pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Bawono Kristiaji, Jumat, 9 Oktober lalu.
Perubahan juga terjadi dalam sistem pajak penghasilan pribadi. Sistem perpajakan yang lama, worldwide, beralih ke model territorial. Pemerintah tidak lagi mengejar pajak penghasilan warga negara asing di Indonesia atas penghasilannya di luar negeri. Ini buntut dari penegasan perlakuan terhadap subyek pajak dalam negeri, seperti warga negara asing yang tinggal di Indonesia, ataupun subyek pajak luar negeri, seperti warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Menurut Bawono, selain ingin memberikan kepastian, pemerintah terkesan mendorong masuknya manusia unggul ke Indonesia lewat rezim pajak ekspatriat tersebut. Hal serupa persis dilakoni sejumlah negara lain yang berusaha menarik pekerja berkualitas tinggi dengan fasilitas kemudahan pajak.
Spanyol, misalnya, menerapkan Beckham Law pada 2005—pesepak bola David Beckham termasuk salah satu ekspatriat yang pertama kali menikmati sistem tersebut ketika bergabung dengan klub Real Madrid. “Tujuannya agar mereka (ekspatriat) bisa menggerakkan ekonomi domestik, alih teknologi atau pengetahuan, serta menciptakan basis pajak baru,” kata Bawono. “Namun hanya berlaku selama periode dan dengan keahlian tertentu. Bukan diberikan secara otomatis.”
Di atas kertas, perubahan rezim pajak dalam Undang-Undang Cipta Kerja diklaim akan menarik arus masuk investasi dan bakal menjadi penggerak ekonomi domestik. Namun ada beberapa perubahan yang justru berpotensi menjadi celah tergerusnya penerimaan dan tidak tepat sasaran.
Salah satunya, menurut Herawati, ekonom The Prakarsa, adalah diberikannya wewenang buat kepala daerah memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerah. “Memposisikan kebijakan insentif perpajakan sebagai daya tarik bagi penanaman modal bukan cara yang paling tepat,” ucap Herawati, Kamis, 8 Oktober lalu. “Selain tidak efektif, ini sangat rawan penyelewengan oleh otoritas di daerah.”
KHAIRUL ANAM, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo