Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasal Sisipan untuk Perambah Hutan

Undang-Undang Cipta Kerja mengubah aturan mengenai kehutanan dan lingkungan. Ada pasal sisipan yang menguntungkan pebisnis yang menyerobot lahan hutan.

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi lahan terbakar di konsesi perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan, Riau, Oktober 2015. ANTARA/Wakil Direskrimsus Polda Riau AKBP Ari Rahman Nafarin-HO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kelonggaran sanksi dan denda bagi pemilik lahan ilegal.

  • Omnibus law juga mengurangi partisipasi masyarakat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan serta menghilangkan kesempatan untuk menggugat izin lingkungan.

  • Pemerintah berdalih semua yang dilakukan ini hasil evaluasi dari Undang-Undang Kehutanan serta Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

RAPAT Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 pada akhir September lalu berjalan alot. Ada dua ketentuan yang disisipkan di antara Pasal 110 dan 111 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) itu. Para anggota DPR terbelah antara mendukung dan menolak aturan yang akan memutihkan usaha ilegal di kawasan hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darori Wonodipuro termasuk yang menolak. Anggota Panitia Kerja dari Fraksi Gerindra ini mewanti-wanti koleganya dan Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono, yang menjadi utusan pemerintah, akan bahaya pasal ini. Toh, suara Darori tak didengarkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal itu masuk draf final omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang hendak disahkan rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020. “Keringanan untuk pengusaha yang disetujui dan saya harus patuh pada keputusan politik,” kata Darori, mantan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Karena tambahan, pasal itu disisipkan huruf menjadi 110A dan 110B. Ayat 1 berbunyi: Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Artinya, usaha perkebunan seperti sawit atau pertambangan yang mendapatkan izin pemerintah daerah dan berada di kawasan hutan kelak akan dilegalkan. Pengusaha punya waktu leluasa mengurus syarat-syarat pemenuhannya selama tiga tahun.

Sebelum ada omnibus law ini, ketelanjuran usaha di kawasan hutan menjadi wilayah abu-abu karena diizinkan pemerintah daerah tapi melanggar Undang-Undang P3H. Jika pengusaha tak bisa memenuhi syarat tiga tahun, ayat 2 mengatur sanksi berupa hukuman administratif, denda, hingga pencabutan izin.

Saat Darori menjabat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan, pada 2007-2013, setidaknya 700 perusahaan memiliki 7 juta hektare lahan usaha kawasan hutan di delapan provinsi. Kerugian negara akibat pembabatan pohon untuk dijadikan perkebunan dan pertambangan mencapai Rp 360 triliun.

Ketika Darori memaparkan data itu, Bambang Hendroyono meminta pasal tersebut sesuai dengan yang diinginkan pemerintah. “Karena perintah dari pemerintah,” ujar Darori, menirukan ucapan Bambang. Siapa yang memerintahkan, Darori tak bisa menebaknya. Bambang tak menjawab pesan ataupun panggilan telepon Tempo untuk mengklarifikasi informasi ini hingga Sabtu, 10 Oktober lalu.

Dalam Undang-Undang P3H, menurut Darori, pengusaha dan perorangan yang memiliki perkebunan dan pertambangan di kawasan hutan bisa dikenai sanksi pidana dan denda yang tinggi: untuk pertambangan hukuman kurungan penjara 5-15 tahun dan denda Rp 5-15 miliar. Sedangkan untuk pemilik perkebunan hukuman penjara 8-20 tahun dan denda Rp 20-50 miliar. Dalam omnibus law, denda untuk mereka tak disebutkan nilainya.

Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat punya catatan lain. Menurut dia, kini ada 3 juta hektare lahan perkebunan dan pertambangan di kawasan hutan negara. Dengan Undang-Undang Cipta Kerja, para perusak hutan itu akan mendapat pengampunan. “Ini jelas pemutihan lahan dari hasil perambahan hutan secara ilegal,” tutur Benny.

Luas hutan yang dirambah dalam catatan Benny itu adalah perambahan yang memiliki izin pemerintah daerah ataupun perorangan dan korporasi yang tak berizin. Bagi mereka yang tak memiliki izin, mayoritas perambah perorangan, Undang-Undang Cipta Kerja mengenakan denda Rp 5-15 juta per hektare. Besaran denda ini tercantum dalam penjelasan pasal 110B.

Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, juga terkejut dengan adanya pasal sisipan ini. Sewaktu draf omnibus law yang berisi 1.244 pasal dikirim ke DPR oleh Presiden Joko Widodo pada Februari 2020, Hariadi mengirimkan tulisan tentang risiko-risiko jika naskah itu disetujui begitu saja kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Menteri Siti meminta Bambang Hendroyono, adik kelas Hariadi di Fakultas Kehutanan IPB, membahasnya. Dalam pertemuan di kantor KLHK itu, diskusi terfokus pada pelonggaran kewajiban bagi industri membuat analisis mengenai dampak lingkungan dan izin lingkungan hidup sebagai syarat izin berusaha. Hariadi khawatir industri makin mudah merusak lingkungan dengan dalih membuka lapangan pekerjaan.

Keleluasaan itu, misalnya, tecermin dari penghapusan Komisi Penilai Amdal dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam RUU Cipta Kerja, Komisi Penilai Amdal diganti dengan tim uji kelayakan pemerintah. Tim baru ini mencoret tiga komponen anggota Komisi Penilai Amdal: ahli dan organisasi lingkungan serta masyarakat terpengaruh.

Tim uji kelayakan kelak hanya beranggotakan pemerintah dan masyarakat yang terkena dampak langsung. Artinya, pemerintah nanti yang akan menguji dokumen amdal, mengawasi, hingga mengenakan sanksinya. Ketiadaan pihak independen dalam penilaian amdal, kata Hariadi, mencederai asas checks and balances dalam sistem demokrasi.

Seusai pertemuan pada Maret lalu di KLHK itu, tak ada lagi pembahasan soal omnibus law. Tiba-tiba, pada 5 Oktober lalu, DPR mengesahkan drafnya. Isi draf yang beredar luas itu persis dengan yang dikhawatirkan Hariadi. Komisi Penilai Amdal dihapus, pihak independen ditiadakan, bahkan izin lingkungan berganti menjadi persetujuan lingkungan yang menyatu dengan izin berusaha.

Personel Polri berjalan melintas di salah satu lokasi pembalakan liar di hutan Pegunungan Seulawah, Pemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, AcehSeptember 2020. ANTARA/Ampelsa

Dengan dalih memangkas prosesnya, pergantian ini menuntut pasal lain yang menghapus ketentuan masyarakat bisa menggugat pemerintah dan industri yang sembrono membuat amdal. “Pendapat saya hanya sekadar didengarkan,” ucap Hariadi.

Menurut Hariadi, Undang-Undang Cipta Kerja ibarat buldoser yang menggaruk tanah. Industri akan makin digdaya, sementara masyarakat yang terkena dampak akibat operasional industri makin lemah. “Akibatnya hanya ada dua: menunggu kalah dan lingkungan rusak,” kata Hariadi.

Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), menyatakan penghapusan klausul gugatan oleh masyarakat melanggar Deklarasi Rio de Janeiro tahun 2019 tentang lingkungan hidup dan manusia. Maklumat itu berisi tentang akses terhadap peradilan yang merupakan hak masyarakat yang harus difasilitasi negara.

Menteri Siti Nurbaya membantah terjadi kemunduran di sektor kehutanan dan lingkungan dalam omnibus law. Menurut politikus Partai NasDem ini, omnibus law justru mempermudah pemerintah mencabut izin perusahaan yang melanggar proteksi lingkungan. “Sebelumnya, jika ada pelanggaran, usahanya tetap jalan karena izin lingkungan terpisah dari izin berusaha,” ujarnya.

Siti mengklaim penyusunan amdal yang hanya melibatkan masyarakat terkena dampak bertujuan menyederhanakan proses pengujian. Ia mengatakan ada 1.000-1.500 permohonan amdal yang mesti dinilai oleh Komisi Penilai Amdal sehingga beban kerjanya banyak, yang membuat izin usaha lama terbit.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus