Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karya ilmiah dosen di Universitas Airlangga dimuat di jurnal abal-abal.
Dosen Unair membayar Rp 13 juta agar karya ilmiahnya bisa dimuat di jurnal Scopus.
Jurnal Scopus dimanfaatkan untuk menaikkan peringkat kampus dan jabatan.
SURAT elektronik dari Google Scholar pada awal Juni 2020 membuat Vinsensio Dugis kebingungan. Isinya memberitahukan bahwa karya ilmiahnya berjudul “Exclusion Treatment on the Children of Migrant Workers” dimuat di Journal of Talent Development and Excellence atau Iratde.com. “Padahal saya tak pernah mengirimkan ke jurnal itu,” kata dosen hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, itu saat dihubungi pada Sabtu, 30 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vinsensio mengaku terlibat dalam penelitian yang menyoroti kehidupan anak-anak pekerja migran di Tulungagung dan Kediri, Jawa Timur, yang mendapat perlakuan tidak baik dan berpotensi menggunakan narkotik. Nama dua koleganya, yaitu Sri Endah Kinasih dan Pudjio Santoso, juga tertulis di sana. Vinsensio lalu menelusuri kredibilitas jurnal Iratde.com.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Vinsensio Dugis. http://s2hi.fisip.unair.ac.id
Ia mengirimkan e-mail kepada Bettina Harder, Ketua Pendidikan Psikologi dan Penelitian di Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg, Jerman, dan Willma Vialle, profesor pendidikan psikologi dari University of Wollongong, Australia. Keduanya tercatat di Iratde.com sebagai editor. Vinsensio juga mengecek kesamaan situs tersebut dengan situs The International Research Association for Talent Development and Excellence atau Iratde.org yang dikelola Harder dan Vialle bersama sejumlah koleganya.
Kepada Tempo dan The Conversation Indonesia, Harder membenarkan isi surat elektronik Vinsensio. “Saya kaget, ternyata nama kami dibajak,” ujar Harder. Pada pertengahan Juni 2020, Vialle memberikan penjelasan melalui e-mail kepada Vinsensio bahwa situs yang mereka kelola telah diretas dan semua dokumennya hilang. Ia pun menyebutkan situs Iratde.com sebagai jurnal predator yang menjiplak penelitian yang pernah dipublikasikan di jurnal lain.
Dalam suratnya, Vialle juga menyatakan sudah memberitahukan permasalahan ini kepada pengelola pusat data seperti Scopus—pusat data sitasi ilmiah yang dimiliki penerbit asal Belanda, Elsevier. Scopus membuat indeks jurnal-jurnal ilmiah dan menyediakan layanan pengukuran dampak dari tulisan ilmiah tersebut.
Vinsensio juga menanyakan kepada dua koleganya soal pengiriman penelitian ke Iratde.com. “Nama saya ternyata diikutkan tanpa sepengetahuan saya,” katanya. Ia mewanti-wanti bahwa pengiriman karya ilmiah ke jurnal abal-abal bisa mempengaruhi kredibilitas mereka. Hingga Sabtu, 30 Januari, tulisan tersebut masih dimuat di Iratde.com. Pun di situs Science and Technology Index yang dikelola Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, penelitian itu masuk publikasi yang telah dihasilkan Vinsensio. “Sepertinya terinput secara otomatis.”
Bettina Harder. https://www.psycho.ewf.uni-erlangen.de
Sri Endah Kinasih, yang namanya tercatat di karya ilmiah tersebut, justru menyatakan sudah berkoordinasi dengan Vinsensio. Dosen antropologi Universitas Airlangga itu mengaku beberapa kali mendaftarkan karya mereka ke sejumlah jurnal terindeks Scopus. Namun pengelola jurnal menolak mempublikasikannya. Belakangan, rekan satu kampusnya menyatakan karya ilmiah itu bisa dimuat di jurnal Scopus dengan bayaran Rp 13 juta. Endah menyanggupi syarat tersebut. Tulisan Endah itu akhirnya dimuat di situs Iratde.com. “Masuk persis sesuai dengan yang diajukan, tidak ada perubahan,” ujarnya.
Menurut tiga akademikus Universitas Airlangga, kasus tersebut menggemparkan para dosen di kampus itu. Penyebabnya, pendaftaran makalah di Iratde.com yang terindeks Scopus dilakukan melalui lembaga resmi kampus, yaitu Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Ilmiah (PPJPI) Unair. Dalam situs PPJPI, salah satu tugas lembaga ini adalah melakukan pendampingan publikasi internasional suatu penelitian dari pengajuan hingga penerbitan serta mengkoordinasi pemberian insentif publikasi ilmiah di jurnal internasional terindeks Scopus atau ISI Thomson.
Sri Endah Kinasih membenarkan kabar bahwa kasus tersebut sempat ramai diperbincangkan di Airlangga. Namun dia menyatakan persoalan itu sudah selesai. Adapun Vinsensio pernah mempertanyakan pemuatan tersebut kepada Kepala PPJPI yang kini menjabat Wakil Rektor bidang Internasionalisasi, Digitalisasi, dan Informasi Universitas Airlangga, Muhammad Miftahussurur. Setelah menunjukkan bukti percakapan dengan Bettina Harder dan Willma Vialle, kata Vinsensio, Miftahussurur baru percaya bahwa Iratde.com merupakan jurnal predator.
Wilma Vialle. Dok. University of Wollongong
Dihubungi pada Jumat, 29 Januari lalu, Muhammad Miftahussurur mengklaim baru mendengar masalah jurnal predator tersebut. “Saya enggak mengerti. Akan saya cek,” ujarnya. Hasil penelusuran Tempo dan The Conversation Indonesia menunjukkan ada dosen Universitas Airlangga lain yang tercatat dalam jurnal Iratde.com. Terlihat juga nama sejumlah pengajar dari kampus negeri dan swasta di Jakarta, Malang, Surabaya, serta Makassar. Adapun pengelola Iratde.com belum bisa dimintai tanggapan. Surat elektronik yang dikirimkan Tempo tak berbalas hingga Sabtu, 30 Januari lalu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Paristiyanti Nurwardani, mengatakan jalan pintas mengakali publikasi karya ilmiah merupakan tanggung jawab dosen dan universitas. “Saya yakin enggak sampai 1 persen dosen yang berkasus dari total 268 ribu dosen,” ucapnya.
•••
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan memperbolehkan publikasi karya ilmiah di jurnal berindeks Scopus sejak 2014. Saat itu, karya peneliti Indonesia di jurnal internasional tergolong rendah di Asia Tenggara. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Na’im, aturan itu bertujuan meningkatkan jumlah jurnal berstandar internasional yang dibuat oleh dosen Indonesia. “Bukan hanya terindeks Scopus, tapi ada beberapa jurnal internasional lain,” kata Na’im ketika dihubungi, Selasa, 26 Januari lalu.
Kementerian lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Nilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen. Dalam pedoman operasional tersebut, pusat data sitasi ilmiah yang diakui adalah Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search, dan situs yang dipertimbangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Al Khanif, mengatakan karya tulis yang dikirimkan ke jurnal Scopus lebih mudah dipublikasikan. “Bisa terbit bulanan,” ujarnya. Padahal, kata Khanif, penerbitan karya ilmiah bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan karena proses review atau peninjauan kembali terhadap tulisan itu sangat ketat.
Universitas Airlangga menjadi salah satu kampus yang aktif menggenjot publikasi karya ilmiah. Wakil Rektor bidang Internasionalisasi, Digitalisasi, dan Informasi Universitas Airlangga, Muhammad Miftahussurur, mengatakan kampusnya mendorong dosen menggunakan jurnal Scopus dengan tujuan mengejar jumlah publikasi jurnal yang tertinggal dari universitas negeri lain. Setiap tahun, Unair bisa memproduksi setidaknya 2.000 jurnal.
Menurut Miftahussurur, jumlah publikasi ikut berpengaruh pada peringkat perguruan tinggi secara nasional. Unair kini menempati peringkat keempat kampus negeri secara nasional. Tiga posisi teratas dipegang oleh Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada. Ia optimistis Universitas Airlangga bisa segera menjadi kampus nomor wahid. “Seperti balapan mobil, kami optimistis menyalip ITB,” ucapnya.
Publikasi jurnal juga menjadi persyaratan untuk meningkatkan pangkat, golongan, dan gaji dosen. Ini sebabnya, kata Al Khanif, banyak dosen berlomba-lomba mengirimkan karya ilmiah ke jurnal Scopus. Mereka pun tak peduli karya yang dikirim merupakan plagiat atau jurnal yang mempublikasikannya tak bonafide. “Sayangnya, tak ada monitoring ketat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” katanya.
Workshop terkait internasionalisai jurnal melalui lembaga pengindeks DOAJ dan Scopus yang diadakan oleh PPJPI Universitas Airlangga, di Surbaya, Juli 2016. UNAIR News
Seorang dosen di Universitas Negeri Yogyakarta mengaku berniat mengirimkan karya ilmiah ke jurnal terindeks Scopus agar bisa naik pangkat menjadi guru besar. Namun pengelola jurnal itu menarik duit US$ 1.000 agar makalahnya bisa dipublikasikan. Belakangan, dia menyimpulkan jurnal itu ecek-ecek. Penyebabnya, karya ilmiah yang dikirim bisa dipublikasikan hanya dalam dua pekan.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Sumaryanto membenarkan adanya jurnal terindeks Scopus yang memungut bayaran. Karena itu, kampusnya juga memberikan insentif bagi para dosen yang karyanya dipublikasikan di jurnal Scopus. “Rata-rata Rp 10-20 juta,” ujarnya.
Dibolehkannya penggunaan jurnal terindeks Scopus membuat kuantitas karya ilmiah dosen di Indonesia di tingkat internasional meningkat, nomor satu di Asia Tenggara. “Tapi bukan hanya karena jurnal Scopus, tapi juga jurnal lain yang berkualitas,” tutur Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Paristiyanti Nurwardani.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), LUTHFI T. DZULFIKAR (THE CONVERSATION)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo