Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiap sore, saya melihat sesosok ondel-ondel menyusuri jalanan Jakarta Selatan yang berisik. Tinggi dua setengah meter, tambun dengan ukuran pinggang 80 senti, berwajah besar merah atau putih mencolok, ia mudah dilihat dari kejauhan. Melangkah seperti raksasa tipsi sehabis menenggak tuak, ia bergerak minimal, kaku tapi konstan, diiringi musik rekaman tanjidor yang ramai tapi sayu. Pengeras suara yang diletakkan di kereta kecil yang mengiringinya memekikkan bunyi piston, seakan-akan hendak menyaingi bising knalpot motor yang tiap kali lewat. Sementara itu, dalam rombongan ada yang berkeliling membawa kaleng, untuk menerima uang dari orang-orang di pinggir jalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo