Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiap sore, saya melihat sesosok ondel-ondel menyusuri jalanan Jakarta Selatan yang berisik. Tinggi dua setengah meter, tambun dengan ukuran pinggang 80 senti, berwajah besar merah atau putih mencolok, ia mudah dilihat dari kejauhan. Melangkah seperti raksasa tipsi sehabis menenggak tuak, ia bergerak minimal, kaku tapi konstan, diiringi musik rekaman tanjidor yang ramai tapi sayu. Pengeras suara yang diletakkan di kereta kecil yang mengiringinya memekikkan bunyi piston, seakan-akan hendak menyaingi bising knalpot motor yang tiap kali lewat. Sementara itu, dalam rombongan ada yang berkeliling membawa kaleng, untuk menerima uang dari orang-orang di pinggir jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi hampir semua dari mereka tak memperhatikannya. Ondel-ondel, yang dulu konon mengiringi acara para bangsawan Jayakarta, kini menjadi bagian hidup orang yang tak berpunya yang sadar dirinya tak sedang berada di panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, seperti banyak hal dalam hidup, ondel-ondel hadir di depan kita bukan hanya dalam satu sisi.
Ia menandai tradisi yang berlanjut tapi juga narasi yang berubah. Dulu, wajahnya grotesk seram, dengan taring dan mata mencorong, sebagai bagian dari pameran kekuatan dan kekuasaan. Kini ia membawakan humor yang bersahaja tapi tanpa ketawa, penanda penyambutan tamu yang ramah tapi tak mengulurkan tangan.
Di sepanjang jalan itu ia oknum yang tampak tapi juga tak tampak. Tersirat dalam dirinya ilusi bahwa ia, sebuah boneka yang meniru manusia, bisa berjalan sendiri dan bahkan menari. Tapi para pembawanya tahu hanya anak kecil yang percaya demikian. Ondel-ondel tak menyembunyikan sifatnya sebagai “boneka”, dengan rupa yang digambar kasar dan tubuh tak bertangan dan mulut tak bersuara. Tapi ia menyembunyikan seseorang yang membuatnya berjalan—seperti mobil VW yang “menyembunyikan” mesinnya di pantat. Orang tak peduli. Seperti ketika menonton lenong, orang tahu Bang Juki yang sedang mentas itu adalah Bang Juki dari Kramat Sentiong, bukan Si Pitung.
“Boneka” itu sebuah mainan, dalam arti toy. Tapi ia juga game, permainan—seperti dinyanyikan Benyamin Sueb dengan hangat dan lucu. Ia sebuah produk imajinasi bersama. Siapa yang melahirkannya dan apa tujuannya tak jelas. Dalam bentuknya yang aneh, ia intermezzo yang seakan-akan iseng dalam kehidupan yang rutin dan tanpa imajinasi. Tapi ia juga punya tujuan yang praktis: sebagai modus cari nafkah.
Meskipun demikian, kita tak bisa menentukan, bisakah uang yang diterima rombongan ondel-ondel itu disebut “upah”. Apa jasa yang mereka berikan kepada khalayak di sepanjang jalan itu tak bisa dirumuskan. Tak pula bisa digolongkan dengan persis apakah mereka proletar atau penjual. Pun uang itu tak bisa dibilang “derma”, jika kita ingat mereka—seperti pengamen di depan Kedai Barokah yang menyanyikan “Hey Jude” dengan suara yang bagus—bukan peminta-minta yang cuma bermodal gombal dan wajah memelas.
Dan orang memberi. Tak pernah banyak: mungkin uang itu sekadar tanda “saling mengerti”, semacam ekspresi setia kawan yang otomatis berlangsung di antara orang-orang di lapis bawah. Atau ia proses berbagi keterbatasan: uang seribu rupiah yang diberikan Neng Salmah kepada rombongan ondel-ondel itu tak akan membuat Neng Salmah miskin, tapi bisa berarti banyak bagi si penerima. Di saat itu yang terjadi bukan kalkulasi dan tukar-menukar. Yang terjadi adalah keikhlasan.
Tampak ondel-ondel selamanya tak bisa dimasukkan dalam kategori—sebagaimana banyak hal dalam kehidupan sehari-hari.
Para administrator dan perumus kebijakan publik dan pendekar kebudayaan pernah mencoba menyingkirkan ondel-ondel dari jalanan, dengan alasan boneka yang berjalan dari trotoar ke trotoar ini sebuah warisan kebudayaan Betawi yang tak boleh dijadikan alat pengamen. Tapi ondel-ondel tak mudah disebut “warisan”, dan ajektif “Betawi” sejak mula tumbuh dalam proses yang eklektik, seperti musik tanjidor yang mengambil anasir dari mana saja: Belanda, Portugis, Cina, Arab, Melayu, dan entah apa lagi.
Tak kalah penting, ondel-ondel ditandai oleh laku sepanjang jalan: ia, seperti banyak hal sehari-hari, selalu melejit dari strategi orang atasan untuk menguasai hal-ihwal. Ia tak menandai satu “lokasi”, yang terkendali dengan batas dan logika kedekatan. Ondel-ondel, setidaknya di hari ini, mengarungi sebuah “ruang”. Sebuah “ruang”—saya meminjam istilah Michel de Certeau dalam L’invention du quotidien—adalah sebuah lieu pratiqué, sebuah dunia yang konkret, yang dialami, dijalani, dan senantiasa berubah dan punya sesuatu yang tak terduga. Sebuah Lebenswelt—bukan area yang dilihat dari ketinggian sebuah drone. Bukan sebuah ruang abstrak yang dirumuskan secara geometris.
Sebab itu ia, seperti saya sebut tadi, selalu melejit. Ia permainan, ia gurauan, ia kenakalan, ia kehidupan. Nyanyian Benyamin Sueb yang dimulai dengan mengajak nonton ondel-ondel diakhiri dengan cerita tentang tangan jail yang menaruh puntung rokok di kepala anak ondel-ondel hingga rambutnya terbakar:
Anak ondel-ondel jijikrakan — krakkkk
Kepale nyale berkobaran — bullllllll
Yang ngarak pada kebingungan —ngunggg
Disiramin air comberan — byurrrrrrr....
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo