Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURVEI Transparency International menunjukkan merosotnya indeks persepsi korupsi (IPK)—indikator kondisi korupsi—Indonesia pada 2020. Dari 180 negara, Indonesia berada di urutan ke-102, anjlok dari peringkat ke-85 pada 2019. Indeks persepsi korupsi Indonesia pun turun tiga poin menjadi 37 dari poin maksimal 100.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia J. Danang Widoyoko mengatakan faktor terbesar melorotnya indeks tersebut adalah keraguan investor global terhadap sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi. “Penyumbang terbesar kemerosotan IPK Indonesia adalah persepsi bisnis global terhadap korupsi di Indonesia,” kata Danang, Kamis, 28 Januari lalu. Keraguan juga dipicu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi Undang-Undang KPK dua tahun lalu.
Riset digelar sejak Januari hingga Oktober 2020 untuk mengukur persepsi publik terhadap sembilan indikator, antara lain kualitas demokrasi dan kebebasan berpendapat. Peringkat pertama diduduki Selandia Baru dan Denmark dengan skor 88. Singapura berada di posisi ketiga dengan skor 85. Adapun skor rata-rata global adalah 43.
Peneliti Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko, mengatakan nilai dan peringkat Indonesia sama dengan Gambia, negara kecil di Afrika Barat. Kali ini Indonesia bahkan kalah dibanding Timor Leste, yang indeks persepsinya mencapai 40. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan turunnya indeks persepsi korupsi menunjukkan pemerintah tidak punya orientasi jelas mengenai kebijakan pemberantasan korupsi.
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, mengklaim pemerintah berkomitmen memperbaiki indeks persepsi korupsi. Dia pun membantah adanya pelemahan terhadap KPK. “Kita tahu bahwa baru saja ada dua menteri ditangkap KPK,” ujar Donny. Dua anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang dicokok KPK adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi Paling Banyak Diadukan
OMBUDSMAN Republik Indonesia menerima 1.120 laporan masyarakat dengan terlapor penegak hukum sepanjang 2020. Kepolisian menempati urutan pertama dengan 699 laporan, 115 di antaranya telah diselesaikan oleh Ombudsman. “Pelaporan polisi yang terbanyak,” tutur komisioner Ombudsman, Ninik Rahayu, Kamis, 28 Januari lalu.
Sebagian besar laporan terhadap polisi menyangkut dugaan penyimpangan prosedur dan pemberian pelayanan. Menurut Ninik, ada sejumlah kendala dalam menyelesaikan 584 laporan masyarakat yang berhubungan dengan polisi. Salah satunya respons kepolisian dalam memberikan tanggapan.
Polri belum merespons siaran Ombudsman ini. Namun Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan pelayanan publik merupakan dua dari 16 program prioritasnya. “Peningkatan kualitas pelayanan publik Polri, mewujudkan pelayanan publik Polri yang terintegrasi,” ucap Sigit.
Politikus Hanura Tersangka Rasisme
BADAN Reserse Kriminal Kepolisian RI menahan politikus Partai Hati Nurani Rakyat, Ambroncius Nababan, pada Rabu, 27 Januari lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan penangkapan Ambroncius terkait dengan dugaan ujaran kebencian terhadap mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai. “Ancaman hukumannya di atas lima tahun,” kata Argo.
Melalui akun Facebook, Ambroncius mempermasalahkan sikap Pigai yang menyatakan vaksinasi Covid-19 tak bisa dipaksakan. Ia juga menyandingkan foto Pigai dengan gorila. Pigai menyatakan unggahan itu telah menghina orang Papua.
Pengusutan terhadap Ambroncius didasari laporan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Hendra Pratama. KNPI juga melaporkan pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda ke Bareskrim Polri terkait dengan cuitannya di Twitter yang menyerang Pigai.
Larangan ASN Mendukung FPI
Pegawai negeri sipil (PNS) mengantre saat apel pagi dan halalbihalal di lingkungan Setda Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, Juli 2016. TEMPO/Prima Mulia
MENTERI Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo melarang aparatur sipil negara (ASN) berhubungan ataupun mendukung semua organisasi terlarang. Larangan itu tercantum dalam surat edaran bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Negara yang diterbitkan pada Senin, 25 Januari lalu.
“Menetapkan larangan bagi ASN untuk berafiliasi dengan dan/atau mendukung organisasi terlarang dan/atau organisasi kemasyarakatan yang dicabut status badan hukumnya,” demikian tertulis dalam surat tersebut. Ormas terlarang yang dimaksudkan adalah Partai Komunis Indonesia, Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara, Hizbut Tahrir Indonesia, Jamaah Ansharut Daulah, dan Front Pembela Islam.
Mantan Wakil Sekretaris Umum FPI, Aziz Yanuar, mengkritik larangan tersebut. “Mungkin pemerintah takut kalah pamor,” ujarnya.
Menteri Pendidikan Tolak Pemaksaan Siswi Berjilbab
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang. Google
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meminta pemerintah daerah memberikan sanksi kepada pihak yang memaksa siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang mengenakan jilbab. “Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan,” kata Nadiem dalam video yang diunggah melalui Instagram, Ahad, 24 Januari lalu.
Menurut dia, intoleransi terhadap keberagaman tidak boleh terjadi. Ia juga menyatakan tak boleh lagi ada aturan yang memaksakan pengenaan pakaian yang identik dengan agama tertentu. Sebelumnya, orang tua seorang siswi SMKN 2 Padang, Jeni Cahyani Hia, dipanggil pihak sekolah karena menolak aturan seragam sekolah yang meminta murid itu berjilbab.
Kepala SMKN 2 Rusmadi menyampaikan permintaan maaf setelah kasus tersebut menjadi ramai. “Saya siap dipecat kalau salah, tapi lihat ke lapangan dulu, apa yang kami lakukan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo