Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi membuat kunjungan wisata ke kampung adat Marapu lesu.
Untuk bertahan hidup, warga kampung adat mengandalkan hasil ladang.
Warga kampung adat Marapu juga menjual kain tenun.
ADA yang berbeda saat puncak penutupan upacara hari besar Wulla Poddu di kampung adat Tarung, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, pada November 2021. Hanya seorang wisatawan asing yang terlihat bersama kerumunan warga setempat yang ikut menyaksikan ritual paling sakral penganut kepercayaan Marapu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mariana Tuwa Pewali, sepinya kunjungan wisatawan ke kampung adat Tarung adalah imbas dari pandemi. Sebelum pagebluk Covid-19 menyergap, banyak wisatawan mancanegara dan lokal datang untuk menyaksikan Wulla Poddu. “Di antara wisatawan itu ada peneliti dan mahasiswa. Sebagian dari mereka datang untuk meneliti Marapu,” kata Mariana, 43 tahun, keturunan pemeluk Marapu di Kampung Tarung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak ekonomi dari lesunya pariwisata selama masa pandemi memang sempat mengganggu warga Kampung Tarung. Untuk bertahan hidup, mereka mengandalkan hasil panen di ladang. Selain dikonsumsi sendiri, hasil panen sayuran, seperti tomat, kacang-kacangan, umbi, dan wortel, dijual warga ke pasar-pasar tradisional yang letaknya tak jauh dari perkampungan.
Perempuan Marapu juga tetap memperoleh pendapatan dari hasil menjual kain tenun ke pusat kota Waikabubak dan kantor-kantor pemerintah terdekat. Kain tenun Marapu memiliki filosofi mengajarkan keseimbangan hidup manusia dan alam semesta. Ada cerita asal-usul manusia sejak lahir, dewasa, hingga wafat pada setiap motifnya. Kain tenun ini juga sangat penting bagi ritual Wulla Poddu.
Maria Stefani Pewali, 30 tahun, satu di antara yang aktif membantu mama-mama Marapu untuk tetap bisa menjual kain tenun selama masa pandemi. Perempuan yang berasal dari suku Weelowo ini bekerja sebagai tenaga kontrak penyuluh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana.
Di forum-forum itu dia juga menyelipkan informasi tentang mata pencarian orang Marapu, satu di antaranya menenun. Dari situlah orang-orang penasaran untuk mencari kain tenun Marapu yang menggunakan bahan pewarna alam, yakni kayu. “Tenun tetap laku, meski tidak sebanyak sebelum pandemi,” ujar Fani—sapaan Maria Stefani.
Selain menjadi tenaga non-pegawai negeri sipil di kantor Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, Fani bersama remaja kampung itu mendirikan kelompok sadar wisata Waitabar selepas kebakaran menghanguskan semua rumah adat beserta isinya. Dia bertugas sebagai pelatih tari anak-anak muda kampung. Fani mahir menarikan tarian adat yang dipersembahkan buat upacara Wulla Poddu, yakni tari Kako dan Sere untuk perempuan. Tari ini dipentaskan untuk membuka Wulla Poddu.
Pandemi membuat pariwisata di Kabupaten Sumba Barat lesu. Sopir angkutan travel yang kerap mengantarkan turis, Lema, menuturkan, selama masa pandemi, jasa travel dari turis mancanegara lesu. Sebelum muncul wabah, banyak turis yang ia antar ke Kampung Tarung karena penasaran terhadap ritual Marapu. Menurut dia, pelancong yang berkunjung ke Sumba Barat biasanya ingin mengeksplorasi wisata religi.
Hanya, Lema menyebutkan, kampung adat Marapu masih kalah populer dibanding destinasi wisata yang menawarkan panorama sabana: Bukit Warinding. Panorama itu menjadi magnet bagi para sineas dan wisatawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo