Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Limbah Cigondewah dan Kincir Air Tisna

Seniman Tisna Sanjaya membangun proyek instalasi pengolahan air di Imah Budaya Cigondewah. Salah satunya kincir air.

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek instalasi penjernih air Imah Budaya Cigondewah.

  • Instalasi kincir air rancangan seniman Tisna Sanjaya.

  • Seni sebagai medium penyadaran kelestarian lingkungan.

GEMERICIK air menghidupkan suasana Imah Budaya Cigondewah yang didirikan seniman Tisna Sanjaya di pinggiran barat daya Kota Bandung. Suara air mengalir terdengar di sepanjang sisi kanan pekarangan dari belakang sampai depan rumah. Di area terbuka yang dinaungi pepohonan rindang itu, Tisna membuat instalasi pengolahan air dari Kali Cikendal di belakang rumah budaya tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Air kali yang butek, agak berbau, dan mengandung limbah itu dialirkan melalui kincir yang ditempatkan di pinggir kali, hampir mepet dengan tembok belakang Imah Budaya. Kincir yang bergerak secara perlahan itu berputar, menciduk air, lalu menumpahkannya ke kolam lewat susunan wajan bertingkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tisna mengungkapkan, idenya membuat instalasi kincir air itu muncul pada 2020. Tisna kemudian membuat gambar sketsa rancangan instalasi kincir air dan menyerahkannya ke Asmudjo Jono Irianto untuk dibikin di bengkel kerjanya. Bahan kincirnya itu terbuat dari kayu ulin dan aluminium. “Beratnya sewaktu basah diangkat dari kali sampai 2 kuintal,” kata Tisna, akhir November 2021.

Pembuatan kincir itu memakan waktu sekitar satu bulan. Instalasi kincir air dirancang Tisna setinggi 4,5 meter dengan diameter 2,25 meter. Jari-jari kincir berjumlah sembilan, melambangkan sumber air. Tisna menghiasi roda kincirnya itu dengan aneka gambar dan cat berwarna-warni. Selain sebagai instalasi pengolahan air, menurut Tisna, kincir air itu menjadi simbol siklus air yang harus dijaga agar bermanfaat bagi semua makhluk hidup.

Tisna juga membuat instalasi pengolahan air yang disedot dengan pompa, lalu ditumpahkan ke lima wajan berukuran besar hingga kecil yang ditata bertingkat. Aliran air dari kali itu kemudian jatuh ke kolam persegi empat. Pada kolam kedua, air dialirkan berliku saat melintasi semacam jajaran talang yang ditata berundak. 

Instalasi kincir air Tisna Sanjaya di halaman Galeri Ibu Cigondewah, Bandung. Dok. Tisna Sanjaya

Masuk kolam ketiga, empat sekat telah menunggu untuk menyaring air supaya jernih dan tidak berbau. Air olahan itu selanjutnya berjalan ke kolam keempat sebelum disedot menggunakan pompa untuk naik ke menara tandon atau bak air yang tersambung dengan pipa ke keran di bawahnya. “Airnya bukan untuk diminum,” ujar Tisna. “Air itu hanya untuk mencuci tangan dan kendaraan atau menyiram tanaman.” 

Beralih ke sayap kiri pekarangan, seniman 63 tahun itu membuat instalasi pengolahan air dengan cara lain. Sumbernya air tanah dari area resapan terbuka di sekeliling Imah Budaya. Dari total lahan seluas 520 meter persegi, hanya sekitar 25 persen yang dibangun untuk Imah Budaya dan ruangan penunjangnya. Sisanya menjadi seperti kebun yang rindang dengan aneka pohon seperti gayam, sukun, jambu batu, dan mangga.

Sebelum pendirian Imah Budaya pada 2009-2010 di Jalan Baturengat itu, Tisna mengerahkan pekerja untuk membersihkan lahannya dari sampah plastik, kain perca, dan aneka barang industri. Tanah yang sebelumnya dimiliki kolektor lukisan, Antonius Sunaryo, itu tadinya digunakan sebagai tempat pembuangan, penjemuran, dan pembakaran sampah plastik. Setelah dibeli Tisna dengan cara barter delapan lukisan karyanya, lahan itu dikeruk dan ditimbun pasir serta tanah baru.

Selama sekitar satu dekade, air resapan yang disedot pompa ke menara bak air itu dialirkan ke deretan keran di pagar depan untuk kebutuhan umum. Air itu pun kini bisa langsung diminum setelah Tisna berkolaborasi dengan I Gede Wenten, guru besar Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. 

Wenten memberikan alat penyaring berteknologi nanomembran kepada Tisna sekitar setahun lalu. “Alat ini untuk pengganti mata air. Ini mata air buatan,” kata Wenten, yang juga Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi ITB, Rabu, 22 Desember lalu.

Gagasan itu, Wenten menjelaskan, muncul setelah banyak mata air yang hilang. Alat penyaring itu bisa digunakan untuk menghasilkan sumber air baru dari sungai yang telah direstorasi atau air resapan tanah dari hujan. Alat itu digunakan dengan cara ditanam di tanah yang telah dicampur pasir sebagai filter alami. Wenten berharap alatnya itu bisa menghasilkan mata air baru bagi siapa pun yang memasangnya.

Wenten menambahkan, bagi dia, ini kolaborasi perdana teknologinya dengan seniman. Selain mendiskusikan pengolahan air, Wenten membiarkan Tisna mengeksplorasi metodenya sendiri sebagai seniman. “Seni instalasi pengolah air Tisna Sanjaya ini berbeda dengan seni lukis, yang karyanya bisa langsung jadi,” ujar Wenten.

Pada Sabtu-Ahad, 18-19 Desember lalu, Tisna memaparkan wujud proyek karya seni instalasi pengolahan airnya itu kepada sejumlah pihak. Selama dua hari, dia mengundang camat; lurah; ketua rukun warga, rukun tetangga, dan karang taruna; guru sekolah; masyarakat umum; pengusaha sekitar; serta berbagai komunitas. 

Setelah itu, Tisna menggelar pameran karya seni instalasinya di Imah Budaya Cigondewah mulai Selasa, 28 Desember lalu, hingga 28 Januari mendatang. “Cigondewah kan daerah industri, harus ada counter culture-nya dengan contoh,” tutur Tisna. 

Pembuatan instalasi pengolahan air itu bagian dari upaya Tisna untuk membangun kesadaran berbagai pihak mengenai kelestarian alam dan lingkungan yang asri. Cigondewah, yang merupakan kampung kakek dan neneknya, hari ini sangat jauh berubah dengan kenangan masa kecilnya. Lahan pertanian dan lumbung-lumbung padi beralih fungsi menjadi tempat bisnis penampungan limbah plastik, benda bekas, kain bekas, dan sebagainya.

Proses pembuatan kincir air oleh Tisna Sanjaya di halaman Galeri Ibu Cigondewah, Bandung. Dok. Tisna Sanjaya

Desa Baturengat di Cigondewah yang dulu dikenal sebagai desa lumbung padi sekarang menjadi daerah kumuh yang sarat dengan limbah buangan pabrik dan jemuran plastik bekas kemasan makanan dan minuman serta tumpukan kain bekas.

Tisna lantas mencari solusi atas kondisi itu dan menemukannya lewat seni lingkungan. Seni menjadi medium untuk penyadaran bagi dirinya dan masyarakat tentang keberadaan alam.

Imah Budaya Cigondewah sendiri menjadi semacam pusat atau induk yang berfungsi sebagai studio, galeri, ruang diskusi, dan tempat pertunjukan. Tidak eksklusif untuk kalangan seniman, Imah Budaya terutama terbuka bagi warga sekitar yang hendak berkreativitas di bidang seni, budaya, dan lain-lain.

Tisna menjelaskan, dia terinspirasi beberapa proyek seni yang dibuat seniman lain, seperti penanaman 7.000 pohon ek di Jerman oleh Joseph Beuys pada 1980-an. Lalu Surrounded Islands karya pasangan Christo dan Jeanne-Claude pada 1983. Mereka menutup 11 pulau di Teluk Biscayne, Miami, Amerika Serikat, dengan 603.850 meter persegi kain polipropilena berwarna merah muda yang mengambang di laut selama dua pekan. Aksi itu turut mengenyahkan sekitar 40 ton sampah hingga kepulauan itu terjaga bersih sampai sekarang dan menjadi situs wisata pulau seni kontemporer. 

Seniman lain yang menginspirasi Tisna Sanjaya adalah Joshua Allen Harris dengan karya seni instalasi Garbage Bag Sculpture, juga Romo Y.B. Mangunwijaya dengan Komunitas Kali Code di Yogyakarta serta Saung Angklung Udjo di Padasuka, Bandung.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus