Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sudah jelas tertera dalam aturan federasi sepak bola internasional, FIFA, bahwa aparat keamanan dilarang membawa dan menggunakan gas air mata dan senjata api di stadion.
Suporter sepak bola di dalam stadion disamakan dengan perusuh di jalanan sehingga harus ditangani secara represif.
Putusnya urat malu dan miskinnya empati sepertinya sudah menjangkiti semua pihak yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa ini.
PEMBANTAIAN. Itulah kata yang lebih tepat untuk menyebut serentetan kelalaian yang membunuh 131 orang setelah laga sepak bola Arema FC versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu, 1 Oktober lalu. Menyebutnya sebagai tragedi mengaburkan fakta sekaligus menyembunyikan penanggung jawab peristiwa itu. Bukti-bukti menunjukkan kematian sebagian besar pendukung Arema tersebut disebabkan oleh kebrutalan aparat keamanan dan ketidakbecusan penyelenggara pertandingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari urutkan faktanya. Setelah pertandingan BRI Liga 1 itu berakhir dengan kekalahan tuan rumah 2-3, suporter turun ke lapangan. Aremania—sebutan untuk pendukung tim itu—menghampiri pemain. Bukan ingin menyerang, melainkan memberikan semangat. Entah salah membaca keadaan entah memang selalu mencurigai massa sebagai ancaman, dalam sekejap, aparat menggunakan kekerasan. Polisi kemudian menembakkan gas air mata berkali-kali. Tentara yang terlibat pengamanan ikut menendangi penonton yang lari tunggang-langgang. Inilah pemicu banyaknya kematian penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesalahan besar polisi adalah menggunakan gas air mata di dalam stadion. Sudah jelas tertera dalam aturan federasi sepak bola internasional, FIFA, bahwa aparat keamanan dilarang membawa dan menggunakan gas air mata dan senjata api di stadion. FIFA mengambil pelajaran dari peristiwa di Estadio Nacional di Lima, Peru, pada 1964. Di akhir laga Peru versus Argentina itu, sebanyak 328 penonton tewas saat berebut keluar dari stadion untuk menghindari gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan.
Sulit dipahami jika polisi tak mengetahui aturan itu. Bertahun-tahun mengamankan laga liga Indonesia, polisi tidak merujuk pada standar internasional. Pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta, yang menyebut penembakan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur, menunjukkan ketidakpahaman polisi sekaligus menggambarkan mentalitas aparat dalam menangani massa. Suporter sepak bola di dalam stadion disamakan dengan perusuh di jalanan sehingga harus ditangani secara represif.
Kengawuran berikutnya, polisi menembakkan gas air mata ke tribun penonton padahal kericuhan ada di tengah lapangan. Ini betul-betul ngaco. Kita patut cemas jika logika aparat yang memegang senjata begitu lemah. Memang ada gas air mata yang dilontarkan ke tengah lapangan, tapi lebih banyak yang ditembakkan ke tribun yang disesaki 40-an ribu penonton, termasuk perempuan dan anak-anak. Akibatnya, setelah gas air mata menguar, penonton panik dan berhamburan mencari jalan keluar. Nahasnya, sebagian pintu masih dikunci meski pertandingan sudah kelar. Lazimnya semua pintu keluar dibuka 15 menit sebelum pertandingan usai. Pada malam itu, banyak orang terjebak di belakang pintu dengan oksigen tipis.
Lorong dan tangga menuju pintu pun seolah-olah menjadi ruang pembantaian. Terutama pintu 12, 13, dan 14. Yang kian memilukan: dari 131 korban tewas, sebanyak 39 adalah anak-anak.
Dengan saksi mata bejibun dan rekaman video kejadian yang tersiar ke mana-mana, berkukuh menyangkal kematian suporter dipicu gas air mata sebenarnya tak ada guna. Walau begitu, polisi masih saja mencoba berkelit. Bukannya jujur mengakui tidak mampu menangani massa, Kepala Polda Inspektur Jenderal Nico Afinta, misalnya, menyalahkan suporter sepak bola yang turun ke lapangan sebagai penyebab terjadinya insiden. Polisi pun mencari-cari pengunggah video suporter berdesak-desakan saat berusaha keluar dari stadion setelah gas air mata ditembakkan.
Putusnya urat malu dan miskinnya empati sepertinya sudah menjangkiti semua pihak yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa ini. Sebagaimana polisi, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Mochamad Iriawan juga lepas tangan.
Iriawan menuding panitia pelaksana pertandingan yang semestinya bertanggung jawab. Ketua panitia pelaksana, Abdul Haris, mengambinghitamkan gas air mata yang dilontarkan polisi. Sungguh disayangkan, Presiden Joko Widodo juga menyederhanakan persoalan dengan menyebut masalahnya ada di tangga yang curam dan pintu yang terkunci. Pemerintah pun lebih peduli pada kemungkinan sanksi untuk Indonesia dari FIFA akibat kejadian itu.
Tak ada yang merasa bersalah atas peristiwa Kanjuruhan yang menjadi kejadian mematikan terbesar di dunia sepak bola dalam setengah abad terakhir itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo