Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUISI Sapardi Djoko Damono adalah hamparan telaga tak bertepi dengan genangan air yang jika kita ciduk akan memadat di tangan kita—siapa saja kita—lalu menjelma menjadi apa saja. Itulah puisinya, tapi itu bukan seluruh puisinya. Cara untuk lebih memahaminya adalah melayarinya, menerjuninya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisi-puisi Sapardi adalah teks yang mewakili gambaran hidup seseorang yang tampak tenang tapi ia sesungguhnya telah mengalami, melewati, dan sedang menghadapi berbagai situasi kontradiktif. Antara hidup yang tak masuk akal dan dunia rekaan yang harus logis, antara bahasa Jawa dalam pikiran dan bahasa Indonesia dalam teks. Antara kesederhanaan wujud dan kompleksitas isi. Antara kehendak untuk berdamai dan konflik yang tak terhindarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Sutardji Calzoum Bachri yang pernah mengatakan bahwa sajak Sapardi seperti ditulis dalam bahasa Jawa yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Orang kerap mengartikan itu sebagai kritik atas kekakuan bahasa puisi Sapardi. Secara tak langsung, dalam satu wawancara untuk biografinya yang sedang saya rampungkan, Sapardi mengakui itu. “Saya memang berpikir dalam bahasa Jawa,” ucapnya.
Pengakuan tersebut bisa menjelaskan beberapa hal, antara lain itulah penyebabnya bahasa sajaknya rapi, tertib, dan tenang, dengan kata-kata yang dipilih dari kamus justru agar orang tak perlu membuka kamus untuk memahaminya. Ia juga menghindar dari kosakata bahasa Jawa untuk kata yang pasti tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Sajak-sajak Sapardi ditulis oleh seseorang yang tak hendak berakrobat dengan bahasa. Ketinggian dan kemurnian justru ia raih dengan cara itu. Ia menjadi berfokus pada usaha memperdalam pesan, bermain-main antara keriangan seorang anak-anak dan kedalaman permenungan seorang nabi. Tapi bukan berarti ia tak memperhatikan kata, ia justru mengagungkannya. Kata-kata adalah segalanya dalam puisi. Demikian katanya dalam satu ceramah yang mengguncang publik sastra, pada 1969, saat ia meluncurkan buku pertamanya. Bagi dia, menulis dalam bahasa Indonesia juga bertujuan mengembangkan bahasa tersebut.
Pembacaan puisi oleh Sapardi Djoko Damono di Jakarta, 1987. Tempo/Maman Samanhudi
Sapardi lahir pada 20 Maret 1940 di lingkungan priayi Jawa dengan nama lengkap R Sapardi Djoko Damono Mangun Sadyoko, sebagaimana tertulis dalam undangan pernikahannya. Ia belajar di Sekolah Rakyat Kasatriyan, sekolah anak-anak lelaki keraton Surakarta, Jawa Tengah, yang pelajarannya diantarkan dalam bahasa Jawa kromo. Di sana ia belajar menari, menembang, dan bermain gamelan, juga bermain wayang. “Saya benar-benar merasa dididik menjadi seorang Jawa,” tuturnya.
Mangun Sadyoko, ayahnya, dan Sapariah, ibunya, bersama Sapardi dan adik lelakinya berpindah beberapa kali setelah keluar dari lingkungan keraton. Ia melepas pekerjaan sebagai abdi dalem dan kemudian menjadi pegawai rendahan di Jawatan Pekerjaan Umum. Di kantor ayahnya itulah, ketika berusia sekolah menengah atas, Sapardi meminta kertas dan mengetik puisi.
Biografi Sapardi adalah kisah pergulatan dengan bahasa. Sapardi tamat dari SMA Margoyudan—ia mengambil jurusan bahasa—sebagai pelajar teladan se-Karesidenan Surakarta dengan nilai 9 untuk pelajaran bahasa asing, tapi nilai bahasa Indonesia-nya cuma 7. Dengan nilai rata-rata di atas 8, dia bebas memilih universitas mana saja. Tapi, hingga lulus, ia tak pernah berencana kuliah. “Saudara-saudara bapak dan ibu saya semuanya bilang, ‘Damono itu langsung kerja saja, supaya enggak bikin susah’,” ujar Sapardi.
•••
Sapardi tak akan pernah masuk Universitas Gadjah Mada kalau kepala sekolahnya tak datang ke rumah untuk membujuk keluarganya. Dengan komitmen harus mencari uang makan sendiri, ayahnya hanya membekali dia uang untuk pondokan. Sapardi berangkat ke Yogyakarta.
Kenapa Sapardi memilih sastra Inggris? Kembali jatuh cintanya Sapardi kepada sastra dan kali ini kepada puisi ditandai oleh pertemuannya dengan T.S. Eliot, sastrawan Inggris peraih Hadiah Nobel Sastra 1948. Saat duduk di SMA, selain terpukau oleh W.S. Rendra (anak Solo, usianya berselisih lima tahun, dan rumahnya berjarak tak sampai satu kilometer), ia terpesona oleh drama Murder in the Cathedral. Sementara “Balada Orang Tercinta” adalah puisi yang dramatis, Murder in the Cathedral adalah drama yang puitis. Melihat dua kombinasi kemungkinan bahasa dan genre itu, cinta lama Sapardi kepada sastra tumbuh lagi setelah patah hati yang parah. Ia melihat jalan untuk mengungkapkan apa yang tak masuk akal dengan cara yang membuat orang menerima itu.
Ya, cinta pertama Sapardi adalah cerita yang ia tulis dalam bahasa Jawa. Terdorong oleh kesukaannya yang parah kepada aktivitas membaca, ketika duduk di sekolah menengah pertama, ia menulis pengalaman dilepas ibunya pergi bersama sang ayah menginap beberapa hari di rumah ibu tirinya, istri lain ayahnya. Cerita itu lalu ia kirim ke Taman Putra, halaman anak-anak di majalah berbahasa Jawa terkenal, Panyebar Semangat. Redaktur pengasuh halaman, Pak Sin, menolak karena “ceritanya tidak masuk akal”. Penolakan tersebut menyadarkannya: di dalam hidupnya yang masuk akal itu, ada yang “tidak masuk akal!” Ketika dia menuliskan apa yang tidak masuk akal itu, orang lain berhak menolak, tapi ia sendiri tak bisa menolak karena mengalaminya. Dia menjadi beban pikiran yang tak ia pahami. Ia kecewa, tapi mungkin juga senang, karena ada juga yang istimewa dalam hidupnya yang tidak istimewa itu. Ia tak percaya pada realitas. Yang lewat dari hari ini segera menjadi dongeng.
“Ketika mula-mula sekali menulis puisi, terasa bahwa sudut-sudut luput dari teriak dan siul masa kecil mulai hidup kembali dalam kata-kata,” ujar Sapardi dalam “Permainan Makna” (Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II, Gramedia, 1984). Sedikit demi sedikit keinginannya untuk mengungkapkan apa yang tak masuk akal itu muncul kembali. Dan tak hanya muncul, ia menjadi mata air yang deras, menciptakan satu bentangan telaga puisi yang tenang, dalam, dan seakan-akan tak bertepi.
Apa yang dibayangkan atau dirasakan Sapardi muda ketika menuliskan sajak? Saya melihat sebuah kesadaran yang menarik. Ia dalam beberapa sajak awalnya telah dengan sadar memposisikan diri sebagai penyair, apa yang mungkin terasa kenes jika tak dibangun di atas fondasi sikap yang kuat. Dalam sajak yang dia tulis pada 15 Agustus 1958, “Dara Seorang”, ia menyebut seseorang dengan peran sebagai penyair untuk melancarkan sajaknya.
dara melintas
pada penyair kenang melintas
Lalu diulang pada bait lain.
dara tersenyum
pada penyair rindu terkulum
Demikian juga pada sajak tanggal 12 bulan dan tahun yang sama, “Pagi”, Sapardi menghadirkan penyair dalam situasi yang membuat kita memaknainya dengan lapisan-lapisan pertanyaan. Siapa penyair itu? Sebuah ekspresi kesadaran bahwa sisi peka dalam batinnya itu harus ia lepaskan, ia beri jarak dengan dirinya, lalu bersama-sama mengamati fenomena alam yang memikat batinnya, atau yang sedang ia hayati untuk kemudian ia beri makna dalam sajak yang ia tulis?
di sisiku seorang penyair memegang cangkir kopi
dan aku sendiri memandang halaman muka
terkadang yang dinanti pantang menepi
dan duka tiba-tiba meloncat lewat jendela
Siapa penyair di sisiku yang memegang cangkir kopi itu? Teman imajiner? Mungkin Sapardi remaja bukan kanak-kanak lagi untuk bermain khayal seperti itu. Tapi sajak adalah sajak. Sajak adalah restrukturisasi dari pengalaman, nilai-nilai penghayatan, dan terutama imajinasi. Ada yang bisa tetap tenang dalam diri Sapardi, yang ia ekspresikan dengan metafora penyair yang memegang cangkir kopi.
Sapardi memulai kepenyairannya dengan kesadaran seperti itu, yaitu bahasa yang ia pakai adalah bahasa kedua—jika bukan asing—dan realitas tersebut hanyalah hari ini. Apa yang lewat segera menjadi dongeng. Itu sebabnya ia tak menulis memoar, atau otobiografi, dan kisah hidupnya banyak ia selusupkan dalam karya-karya prosanya (terutama Pengarang Telah Mati, Suti). Prosa yang kali ini telah ia yakini boleh tidak masuk akal juga ia selipkan dalam pamflet (Tirani Demokrasi) yang lebih mengedepankan gagasan,
Sapardi datang ke Yogya dengan kepala tegak. Ia mahasiswa baru dan penyair yang menembus H.B. Jassin di Mimbar Indonesia, juga sejumlah majalah penting lain di Jakarta. Maka ia diterima di mana-mana, kantong-kantong pergaulan budaya di luar kampus. Solidaritas sesama seniman itu yang, kata Sapardi, memungkinkan dia tak pernah tak makan. Sistem pendidikan waktu itu yang “santai” memungkinkannya aktif bermain drama, bermusik, mengisi siaran radio, dan produktif menulis. Sementara itu, di kampus, ia pun tak kesulitan menghafalkan semua karya drama Shakespeare.
Keasyikannya berkesenian nyaris membuatnya melalaikan studi. Jika bukan karena Profesor Kenneth Lendon, Dekan Fakultas Sastra UGM yang kala itu diusir rezim Sukarno, barangkali Sapardi tak akan segera lulus. Sang Dekan ingin memastikan mahasiswanya selesai sebelum ia dipulangkan. Pada 1964 itu, Sapardi hanya memerlukan waktu dua minggu untuk mengebut menyelesaikan skripsi tentang—apa lagi kalau bukan—Murder in the Cathedral.
Sapardi hadir dalam Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia di Jakarta, 1-7 Maret 1964. Pertemuan bersama sekitar 400 sastrawan itu menghasilkan pernyataan mendukung Manifes Kebudayaan. Sapardi dengan sadar meneken pernyataan itu, bahkan menjadi "juru kampanye"-nya di Yogya. Ini sumber ketegangan lain dalam perjalanan manusia penyair Sapardi. Tidak melulu ideologis, tapi juga pilihan estetis, keteguhannya untuk memurnikan puisi apa yang ia jaga hingga akhir hayatnya.
Hal ini bisa kita baca dalam surat-surat Sapardi kepada H.B. Jassin dan Goenawan Mohamad, dua orang yang sangat ia percayai. Surat-surat ia kirim “tatkala sudah letih benar”.
Kepada Jassin, dalam surat pada awal 1964, Sapardi berkata, “Beberapa orang penyair Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang menjijikkan dalam “mengangkat” puisi. Mereka telah kebingungan sendiri, mengira bahwa puisi telah kehilangan tempat berpijak dalam masyarakat, dalam pembangunan masyarakat. Mereka pun berusaha berlagak hero-heroan. Dan berlagak menolong puisi dari “keruntuhan”. Dan mereka pun menciptakan ‘sajak-sajak’ yang berisi pidato-pidato dan khotbah-khotbah tentang kemanusiaan dan pembangunan. Mereka telah mengkhianati puisi. Mereka telah mendesakkan “nilai” yang mereka anggap “praktis”, dan dengan demikian mendesak keluar puisi itu sendiri. Saya akan tetap menolak untuk menyebut sajak-sajak yang demikian itu untuk disebut puisi.”
Ketegangan lain yang melanda Sapardi adalah ketimpangan pusat dan daerah, yang dalam berbagai bentuk masih ada hingga hari ini. Ketika telah menjadi dosen di Madiun, Jawa Timur, Sapardi mengirim surat kepada Goenawan Mohamad, yang antara lain mengeluhkan soal itu. Ia menulis, “Seperti dulu-dulu selalu saya katakan padamu, udara daerah semakin lama semakin rendah langitnya.” Lalu buru-buru ia merendahkan diri. “Ah, barangkali saya saja yang terlampau menghargai diri sendiri. Saya yang selama ini mengalami intellectual solitude, sungguh harus buru-buru saya akhiri meskipun hanya dengan cara bersuratan denganmu.”
Majalah Horison seperti membuka jalan bagi Sapardi untuk pindah ke Jakarta. Pada 1973, setelah tujuh tahun majalah itu terbit, karena kesibukan para pendiri, dicarilah sosok yang mampu dan mau menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia dan Redaktur Pelaksana. Semua menyepakati satu nama. Maka Taufiq Ismail secara khusus berangkat ke Semarang membawa tawaran itu langsung kepada Sapardi yang sudah menjadi dosen di Universitas Diponegoro. Dengan segala kerepotan administrasi, Sapardi pun berangkat ke Jakarta, dan meneruskan karier pegawai negeri di Universitas Indonesia hingga kelak menjadi Dekan Fakultas Sastra—yang juga mengundang bisik-bisik, karena dia dianggap sebagai orang luar.
Tapi, sebagai lulusan sastra Inggris UGM, kenapa Sapardi tak mengajar di almamaternya saja? Pertama, katanya, ia hanya ingin mengajar di fakultas sastra Indonesia agar bisa membawa hal-hal baru dari apa yang ia pelajari dari bagaimana sastra Inggris diajarkan kepadanya. UGM ingin dia mengajar sastra Inggris. Kedua, ia tak mau dan tak nyaman menjadi teman sejawat dosen-dosennya sendiri.
Di tangan Sapardi, Horison, majalah yang sudah punya nama, makin meneguhkan posisi sebagai kiblat dan barometer perkembangan sastra. Tapi itu juga berarti meninggikan ketegangan lain, yang berpuncak pada “Pengadilan Puisi” 1974. Namanya disebut khusus dalam butir kedua dan keempat tuntunan jaksa penuntut umum Slamet Sukirnanto: “Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.”
Horison juga merupakan sejarah konflik. Pada 1993, Sapardi mengirim surat pengunduran diri yang dimuat secara terbuka di Horison, majalah yang turut ia besarkan, “…telah terjadi sesuatu yang tidak sepenuhnya saya pahami, dan sedikit menggelisahkan saya. Oleh karena itu, dengan ini saya menyampaikan pengunduran diri….”
(Dari kiri) Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, dan Subagio Sastrowardoyo saat rapat pertama pendiri Yayasan Lontar di Jakarta, 1987. Dok. Yayasan Lontar
Sapardi tahu benar apa artinya kehadiran majalah yang baik untuk membina perkembangan puisi. Pada 1997, ia menerbitkan secara triwulan Jurnal Puisi dalam format kertas A5 dan tiap tahun menggelar Sih Award bagi puisi-puisi terbaik yang terbit di jurnal itu. Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto, Raudal Tanjung Banua, adalah contoh nama penyair yang pernah meraih penghargaan tersebut. “Kami nekat, tak ada uang benar-benar menerbitkan jurnal itu karena mencintai puisi,” tutur dosen UI, Ibnu Wahyudi, yang bersama Sapardi mengelola penerbitan tersebut dan masih menyimpan akta pendirian Yayasan Puisi.
Perlawanan terbesar Sapardi membela marwah puisi adalah ketika selepas pensiun ia menarik semua bukunya dari penerbit. Ia kecewa karena haknya sebagai pengarang tak diperhatikan. Ia yakin puisi ada pasarnya dan buku puisi bisa dijual. Nyatanya, di bawah Editum, penerbitan indie yang dikelolanya sendiri, Sapardi “bisa melayani pembaca-pembaca saya”. Buku-bukunya yang ia ketik ulang, ia atur tata letaknya, dan ia desain sendiri tak berhenti dicetak. “Saya tak hitung cetak berapa, pokoknya kalau habis ya cetak lagi,” ucapnya. Pekerjaan itu mudah karena ada teknologi dan layanan print on demand.
Perlu dua tahun bagi sebuah penerbit besar untuk mengembalikan kepercayaan Sapardi pada industri buku. Apa yang akhirnya berbuah manis. Saya kira Sapardi meninggal pada Ahad pagi, 19 Juli lalu, dengan bahagia dan bangga. Semua bukunya, di tangan Gramedia Pustaka Utama, dicetak ulang dan laris. Begitu juga novelnya, Hujan Bulan Juni, yang bahkan sempat difilmkan. Ia meninggalkan beberapa naskah buku novel dan puisi yang sudah siap diterbitkan. Sementara Chairil Anwar menyelesaikan pekerjaan awal memodernkan puisi Indonesia, Sapardi adalah orang yang banyak menebar pupuk, orang yang hendak memastikan tumbuh tunas-tunas baru, serta tekun dan keras menjaga perkembangannya, menjaga dari—seperti ia katakan dalam suratnya kepada Jassin—"mereka yang telah mengkhianati puisi”. Tentu saja dia tak sendiri melakukan pekerjaan itu, tapi sampai akhir hayatnya ia tak ingin mengakhiri pekerjaan tersebut.
HASAN ASPAHANI, SASTRAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo