Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yunita Dyah satu dari sedikit perempuan yang bekerja di bidang pertambangan minyak dan gas bumi.
Ia risi dengan lingkungan laki-laki saat awal menjadi mahasiswa.
Yunita mendorong lebih banyak perempuan bekerja di industri migas.
MENJADI pembicara dalam acara diskusi daring (online), Yunita Dyah mengingat kembali ketika ia mulai kuliah di Jurusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung pada 2002. Ketika itu, dari 60 mahasiswa yang diterima di kelasnya, hanya 7 orang yang perempuan. Di Teknik Material, rasio perempuan lebih sedikit: 3 perempuan dari 60 mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini belum apa-apa dibandingkan dengan program studi Teknik Mesin, yang hanya dihuni 2 perempuan dari 147 mahasiswa. Yunita lalu membandingkan dengan kondisi kelas saat ini. Satu dari empat mahasiswa di jurusannya kini adalah perempuan. “Saya senang sekarang lebih banyak perempuan di bidang teknik, di bidang laki-laki. Dan saya yakin kita bisa berkompetisi dengan sehat,” katanya dalam diskusi Women in Engineering, Talk “What It Takes to Stand Out in the Men's World”, yang diselenggarakan unit kegiatan mahasiswa Society of Petroleum Engineers Student ITB, Sabtu, 18 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yunita, 36 tahun, satu dari sedikit perempuan yang bekerja di bidang minyak dan gas bumi. Ia kini bekerja sebagai reservoir engineer senior di perusahaan migas asal Inggris, Premier Oil. Dalam forum diskusi daring itu, ibu dua anak ini diundang para juniornya membahas masalah mengelola karier, hubungan sosial, dan keluarga. “Manajemen waktu itu penting,” ujarnya.
Sudah 13 tahun Yunita bekerja sebagai insinyur perminyakan. Sepuluh tahun di antaranya ia habiskan menjadi reservoir engineer. Ia antara lain bertugas mempelajari karakter reservoir, meramalkan cadangan minyak atau gas di dalamnya, dan menghitung rencana produksi tahunan. “Kami kalkulasi dengan mempertimbangkan banyak data, seperti tekanan dan sejarah produksinya,” katanya kepada Tempo, Selasa, 21 Juli lalu.
Ada beberapa zona tempat terperangkapnya minyak atau gas yang pernah ia hitung. Mulai 2014, misalnya, Yunita dan timnya mempelajari karakter lapangan Natuna Sea Blok A yang digarap Premier Oil. Mereka mesti menghitung potensi produksi dan membuat pemodelannya. Proses pengeborannya mulai dilakukan tahun lalu. Produksi gas dari zona itu menjadi salah satu sumber energi untuk menghidupkan listrik di Singapura.
Yunita juga pernah menjadi anggota tim yang menghitung potensi Blok Offshore North West Java saat bekerja di perusahaan migas yang bermarkas di London, BP. Ia pun sempat menggarap proyek raksasa gas alam dan LNG Tangguh, yang juga dioperasikan BP, di Teluk Bintuni, Papua Barat. Semua lapangan tersebut berada di lepas pantai (offshore).
Yunita adalah minoritas dalam pekerjaan itu. Hampir semua rekan kerjanya adalah pria. Menurut dia, di kantornya saat ini hanya ada dua perempuan insinyur perminyakan: ia dan seorang completion engineer yang lebih senior darinya. Saat turun ke lapangan pun sering kali ia adalah satu-satunya perempuan di antara sekitar 50 pekerja lain. “Tapi saya dijagain oleh mereka,” ucapnya.
• • •
YUNITA memilih nyemplung di dunia perminyakan setelah keinginannya kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITB pupus. Padahal ketika itu ia sangat menyukai coding. Saat duduk di bangku kelas I Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta pada 1999, Yunita sudah membuat situs sendiri. Kala itu, gurunya mengatakan Yunita tidak bakal bisa masuk jurusan tersebut. "Eh, bener lho, pas simulasi ujian masuk perguruan tinggi negeri, aku enggak masuk informatika, ha-ha-ha...,” ujarnya.
Dia akhirnya memilih jurusan yang ia kira akan banyak mempelajari pelajaran kimia, yang disukainya. Yunita mengambil teknik perminyakan, yang kala itu tak sepopuler sekarang. Namun perkuliahannya lebih banyak mendalami matematika dan fisika. Ia sempat keteteran dan ingin pindah jurusan.
Yunita Diah bersama rekan kerjanya saat bertugas di perairan Natuna pada 2016. Dok. Pribadi
Selain urusan pelajaran, Yunita sempat risi terhadap ucapan kawan-kawan sekelasnya yang cenderung kasar dan guyonan yang mengarah ke urusan seksual. Terlebih, ia termasuk yang menjadi sasaran candaan. Tapi, karena terbiasa, lama-lama ia menjadi kebal. Dia santai saja menanggapi mereka, termasuk ketika guyonan seperti itu ia dapati di lingkungan kerja. “Ya sudah, diketawain saja,” katanya.
Menurut dosen ITB, Taufan Marhaendrajana, Yunita sudah mulai bertanya-tanya tentang peluang perempuan dalam industri perminyakan ketika menjadi asisten mata kuliahnya. Sebelum mengajar, Taufan bekerja di tiga perusahaan migas asal Amerika Serikat dan Inggris. Ia bekerja di ConocoPhillips di Indonesia; Mobil di Dallas, Texas, Amerika Serikat; dan Schlumberger di Texas. “Saya jelaskan, manajer saya di Dallas itu perempuan. Di Schlumberger juga banyak peneliti perempuan. Pekerjaan teknis itu bisa dilakukan laki-laki ataupun perempuan,” ujar guru besar bidang ilmu karakter dan pemodelan reservoir itu.
Menurut Taufan, tak semua pekerja di bidang perminyakan mesti bekerja di lapangan. Banyak profesi yang bisa dilakoni dari kantor, misalnya menjadi engineer. Mereka ke lapangan hanya untuk keperluan pengambilan data. Urusan analisis dan perancangan bisa dilakukan di kantor, juga di rumah.
Di akhir tahun kuliahnya, Yunita diterima di BP sebagai petroleum engineer. Tugasnya merancang model untuk mengambil cadangan gas yang ada di perut bumi. Ia bertanggung jawab mengambil data tekanan gas tersebut. Namun ia memutuskan berhenti setelah dua tahun bekerja dan memilih menjajal masuk industri kreatif. Ia mencoba menulis, menjadi fotografer, dan menjadi manajer grup musik Sore demi mencari pengalaman baru. Tapi itu hanya berlangsung setahun.
Yunita kembali ke dunia perminyakan setelah uangnya habis. Ia diterima bekerja sebagai reservoir engineer di Energi Mega Persada, salah satu anak usaha Bakrie Group. Buat Yunita, menjadi reservoir engineer lebih mengasyikkan dibanding petroleum engineer. “Saya dari dulu suka rumus, suka data. Dan, di minyak, reservoir engineer kesannya lebih smart,” ujarnya.
Menurut Tri Firmanto, bos Yunita saat bekerja di Energi Mega Persada, ketika Yunita masuk, semua reservoir engineer di bawahnya ditugasi mengembangkan blok migas di Selat Malaka. “Yunita mendapat tugas mengembangkan lapangan selatan. Dia termasuk yang cepat memahami pekerjaan,” tutur Tri, yang kini menjadi General Manager Energi Mega Persada Bentu.
Tri mengatakan kedatangan insinyur perempuan selalu membawa suasana kerja berbeda. Meski demikian, mereka tetap diberi pekerjaan dan target yang sama dengan pekerja laki-laki. Peluang peningkatan kariernya pun sama. Ia berharap lebih banyak perempuan yang masuk ke bidang ini. “Tapi, setelah menikah atau punya anak, banyak di antara mereka yang memilih berhenti,” katanya.
Yunita belum memutuskan untuk berhenti lagi. Ia juga menginginkan lebih banyak perempuan masuk ke industri ini. Ia akan senang hati berbagi dengan mereka yang tertarik masuk ke bidang migas, seperti berbagi dalam diskusi daring, Sabtu, 18 Juli lalu, itu. “Bisa berbagi tentang hal teknis atau urusan pergaulan,” ujarnya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo