Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pantang Menyerah Membuat Film

Para pembuat film di daerah tetap berkarya meski menghadapi berbagai keterbatasan di kala pandemi. Ada yang konsisten membuat film pendek, berdurasi panjang, hingga format lainnya, seperti video podcast. Penayangannya juga mengandalkan media sosial hingga bioskop.

20 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sutradara dan juru kamera Lula Studio, Ulul Albab saat syuting di Bantul, Yogyakarta. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Lula Studio dari Yogyakarta memproduksi empat film dalam sebulan.

  • Komunitas film Sekewood memproduksi film pendek bertemakan protokol kesehatan.

  • Kru film Ambo Nai sulit mengontrol antusias masyarakat menonton proses syuting.

Dua pemuda bernama Agik dan Febri sedang berburu buah mangga di hutan. Agik berancang-ancang menembak dengan senapannya, sedangkan Febri mengamati target lewat teropong binokular. Berkali-kali tembakan dilesatkan Agik, tapi mangga tak kunjung jatuh. Di balik semak-semak, keduanya pun berbincang dengan bahasa Jawa tentang sulitnya mendapatkan vaksin Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama kemudian muncul seorang kakek bernama Mbah Mirkun. Pria tua itu duduk di antara Agik dan Febri, lalu ikutan berburu mangga. Setelah beberapa kali percobaan menembak, bidikan Mbah Mirkun akhirnya mengenai sasaran. Ia pun mengambil mangga yang terjatuh, lantas mendongakkan kepala ke arah pohon dan tersadar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Loh iki rak pelemku dewe (loh, ini kan pohon manggaku). Lah, kok, di-bedili (kok, pada ditembakin)? Wah, Febri karo Agik nyolong berarti,” kata Mbah Mirkun dalam film seri pendek Komedi Fantasi Jawa (KFJ) buatan Lula Studio, yang tayang di YouTube pada 2 Januari 2022.

Pandemi Covid-19 rupanya tak menyurutkan semangat para kru dan pemain dari rumah produksi ini untuk membuat karya. Dalam sebulan, para sineas asal Yogyakarta tersebut bisa melahirkan empat konten KFJ untuk ditayangkan di YouTube. KFJ kini sudah memiliki lebih dari 50 episode. 

Film "Tidak Kebagian Vaksin", produksi Lula Studio. Youtube/ Lula Studio

Sutradara komedi itu, Ulul Albab, menceritakan bahwa tim Lula Studio terbentuk pada 2018. Anggotanya merupakan teman sepermainan saat kuliah jurusan penyiaran. Ketika itu mereka belum fokus membuat konten karena kesibukan masing-masing. 

Baru setelah pagebluk melanda, kru dan pemain memiliki waktu luang. Ulul pun mengajak Febri dan Steve memproduksi konten YouTube bersama secara rutin. “Karena senang film, kami bikin film pendek komedi,” ujar Ulul kepada Tempo, Senin, 14 Februari 2022.

Pria berusia 32 tahun itu juga mengajak Mirkoen Alawi, seorang pengajar teater sekaligus aktor utama dalam film pendek KTP. Proyek film tersebut menjadi awal mula perkenalan keduanya. Film pendek mereka pernah menjadi juara pertama kategori umum Festival Video Edukasi (FVE) 2016 yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Febri, Steve, dan Mirkoen adalah pemain utama dalam film serial komedi itu. Sedangkan Ulul, selain sutradara, merangkap kamerawan dan editor. Anggota tim Lula Studio lainnya adalah Rina yang bertugas mengatur urusan administrasi dan konsumsi.

Selama masa pandemi, Ulul dan kawan-kawan hanya menggelar syuting di dua titik di Bantul, yaitu di kawasan Gunung Sempu dan Pleret. Ulul mengaku sengaja memilih tempat yang cenderung sepi, seperti sawah, kebun, dan hutan. Wabah dan aturan pembatasan menyulitkan mereka untuk syuting di tempat ramai karena takut akan menimbulkan kerumunan dan penyebaran Covid-19.

Selama syuting di Bantul, kegiatan Lula Studio mendapat dukungan dari penduduk setempat. Warung milik warga, misalnya, boleh dipakai sebagai properti syuting. Warga setempat juga bersedia jika dilibatkan sebagai pemeran pendukung. 

Adapun biaya untuk produksi film pendek ini, Ulul mengungkapkan awalnya berasal dari kantong pribadi. Seiring dengan berjalannya waktu, konten-konten Lula Studio mulai ditonton banyak orang. Terlebih beberapa perusahaan juga tertarik menyewa jasa mereka untuk membuat konten iklan, sehingga menambah pemasukan tim produksi. “Selain itu, ada pemasukan bulanan dari adsense YouTube.” 

Sutradara Kediripedia, Dwidjo Utomo Maksum saat syuting film "Air Mata Di Ladang Tebu". Dok. Kediripedia.com/Yusuf Asyhari

Sineas dari Kediri juga cenderung mencari lokasi syuting yang jauh dari keramaian warga. Dwidjo Utomo Maksum, sutradara dan pendiri Kediripedia, sudah membuat dua film sepanjang masa pandemi. Film pertama diproduksi di pabrik batik Tulungagung pada 2020. Sedangkan film kedua dibuat tahun lalu yang berkisah tentang perdagangan manusia.

Menurut pria berusia 50 tahun ini, tak ada kendala berarti selama proses syuting. Semua kru dan pemain juga menaati protokol kesehatan. “Pada akhirnya, ya, praktis hanya mengubah pola. Misalnya, ketika ada adegan bersentuhan fisik, ya, pakai hand sanitizer dulu,” ucapnya.

Sebelum aktif menggarap film, Dwidjo bersama rekan-rekannya merintis portal Kediripedia.com pada 2014. Dalam perjalanannya, banyak kerja kreatif yang dikembangkan sampai ke perfilman. Konten-konten yang dihasilkan merupakan semi-dokumenter dan dapat disaksikan di saluran YouTube Kediripedia.

Dalam proses pembuatan seluruh film, termasuk selama masa pandemi, Dwidjo mengaku tak menyediakan bujet karena misinya berkaitan dengan kemanusiaan. Bahkan, pemainnya pun tidak dibayar. Sebaliknya, tim produksi justru diberi donasi logistik oleh masyarakat setempat, seperti makanan. Terkadang, donasi juga datang dari keluarga salah satu kru atau pemain yang tinggal di dekat lokasi syuting.

Untuk pemasukan, Dwidjo tidak mengandalkan perolehan iklan dari portal Kediripedia.com yang didirikannya setelah berhenti sebagai wartawan Tempo. Adsense dari YouTube pun, kata dia, hanya US$ 100 yang dicairkan per tiga bulan. “Mungkin dari kerja kreatif teman-teman, termasuk kami diundang mengajar, isi workshop. Honor-honor kami dedikasikan sekian persen untuk Kediripedia.”  

Pembuat film independen, Ninuk Gagan di Sarang Film Sekewood di Cicadas, Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 2022. TEMPO/Prima Mulia

Sineas asal Bandung punya cerita lain. Muchammad Ganjaran Sari alias Gagan Ninuk sudah dua tahun ini menghentikan produksi film pendek bersama komunitas Sekewood. Lewat saluran YouTube Sarang Film Sekewood, Gagan dan warga di Jalan Sekepanjang kini lebih sering membuat video podcast dan acara Musikebon. 

Gagan merintis komunitas film Sekewood bersama warga Jalan Sekepanjang sejak 2015. Awalnya ia membuat film untuk warga tanpa tujuan komersial. Produksi film pertamanya berupa iklan pedagang setempat yang dikemas jenaka, seperti pada tukang kue cubit keliling. Biaya operasionalnya pun berasal dari donasi pedagang.

Komunitas film warga ini kemudian banyak mendapat pesanan untuk pembuatan iklan-iklan masyarakat dari lembaga pemerintah dan perusahaan swasta. “Awal sekali yang pesan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Gagan. 

Ketika pandemi Covid-19 melanda, Sekewood masih sempat membuat dua film pendek untuk iklan layanan masyarakat. Bertemakan protokol kesehatan, pemesannya adalah Biro Humas Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Bank Jabar Banten. Dua film pendek berdurasi masing-masing sekitar tiga menit itu dikerjakan selama empat hari.

Lokasi syutingnya bertempat di sekitar Kampung Film Sekewood. Tempat itu juga menjadi pilihan sejumlah rumah produksi film, iklan, dan pembuat konten video untuk berkolaborasi karya dengan warga. 

Tim produksi juga mengembangkan film-film berdurasi belasan menit hingga tiga jam. Menurut Gagan, ide-ide pembuatan filmnya mengalir spontan ketika berkumpul bersama warga atau pemuda. “Ceritanya ada, tapi tanpa skenario, konsep, sama storyboard,” ujar pria yang kerap bertugas sebagai sutradara ini. 

Beberapa filmnya berjudul Mengejar Maghrib bisa disaksikan di layanan video streaming, Vidio.com. Kemudian Biur Ngapung (Terbanglah) yang mewakili wilayah Bandung Utara di Festival Film Berbasis Wilayah pada 2018. 

Tim Dhien Kramik saat syuting di Gla Meunasah Baro, Aceh Besar. Dok. Dhien Kramik

Nasib serupa lebih-kurang turut dialami tim produksi film asal Aceh, Dhien Kramik. Salah satu karya sineas Aceh yang sudah dikenal publik adalah film seri komedi Eumpang Breuh, yang kini sudah 13 jilid. Salah satu aktor rumah produksi Dhien Kramik, M. Insya alias Bang Prak, mengatakan tim terakhir kali mengadakan syuting pada tahun lalu. Ketika itu, kru dan pemain tengah memproduksi film spesial Eumpang Breuh yang berjudul Peumulia Jame Adata Geutanyoe.

Film tersebut dibuat Dhien Kramik bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Karya berbumbu komedi itu berdurasi 55 menit serta menceritakan budaya dan kearifan lokal. “Bagaimana menyambut wisatawan dari luar. Di sana juga menceritakan keramahtamahan orang Aceh dan melestarikan kesenian Aceh,” kata Bang Prak.

Selama proses syuting di masa pandemi, Bang Prak mengakui ada sejumlah kendala yang dialami karena aturan pembatasan mobilitas. Misalnya, harus mencari lokasi yang tidak banyak orang lalu-lalang.

Film "Pak Salam Tamu Tidak Diundang" produksi Dhien Kramik. Youtube/ Dhien Kramik

Meski tengah rehat dari kegiatan syuting, Bang Prak mengungkapkan anggota Dhien Kramik tetap produktif membuat karya. Bang Prak, misalnya, masih aktif membuat film pendek komedi hingga video kegiatan sehari-hari yang tayang di kanal YouTube pribadinya.

Dhien Kramik juga tetap eksis karena mengunggah film seri Eumpang Breuh yang sudah dirilis beberapa tahun belakangan. Jauh sebelum tayang di YouTube, film komedi tersebut diproduksi lalu dijual dalam bentuk kepingan DVD. Menurut Bang Prak, film Eumpang Breuh cukup laris di pasaran. Pembeli cakram film berbahasa Aceh itu bahkan sampai ke luar Sumatera hingga Malaysia. 

Ketika pengguna DVD mulai berkurang, tim Dhien Kramik akhirnya mengunggah beberapa film lamanya untuk ditayangkan di YouTube. Penikmatnya kini mencapai jutaan penonton. Meski begitu, Bang Prak menilai tim produksi Dhien Kramik tidak mengutamakan keuntungan dari penayangan di YouTube. “Tapi bagaimana memberi hiburan kepada masyarakat itu bagian dari kekuatan kami,” tuturnya.

Belakang layar film "Ambo Nai Sopir Andalan". Dok. Timur Picture

Para sineas di Makassar juga menjumpai kendala sendiri ketika menggarap film Ambo Nai Sopir Andalan. Film berbahasa Bugis pertama yang diputar di bioskop pada 24 Februari 2022 ini menjalani syuting pada masa pandemi. Lokasinya pun lebih banyak berada di jalan raya. Dengan demikian, kesulitan yang dialami kru adalah mengontrol masyarakat yang antusias menyaksikan proses pengambilan gambar.

Sutradara Andi Burhamzah menjelaskan, naskah film mulai ditulis pada Maret 2020. Kemudian syuting dimulai pada Oktober 2020 di empat daerah, yakni Kabupaten Bone, Wajo, Maros, dan Kota Makassar. “Karena ini film perjalanan, syutingnya banyak di jalanan, dengan menceritakan sosok Ambo Nai sebagai sopir pengantar ikan dari Bone ke Makassar,” kata Burhamzah.

Aktor utama film ini adalah Syaiful M. sebagai Ambo Nai. Syaiful merupakan warga Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone. Di kehidupan nyata, Syaiful adalah seorang sopir pengangkut ikan. Pemeran lainnya adalah teman kecil Ambo Nai yang diperankan Fendi Pradan alias Malla. Mereka aktif membuat konten di YouTube dengan nama Timur Kota Official. Selebgram yang terbiasa bermain film juga dilibatkan, seperti Diny Arishandy, Cukke Algazali dari Bone, dan Daeng Nojeng. 

Film berbahasa Bugis "Ambo Nai Sopir Andalan", karya sutradara Andi Burhamzah. Dok. Timur Picture

Produser Eksekutif Ambo Nai Sopir Andalan, Sunarti Sain, mengungkapkan butuh waktu setahun sampai film ini bisa tayang di bioskop. Prosesnya dari negosiasi hingga melengkapi berkas persyaratan. Ia berani mengajukan permohonan jadwal tayang ke bioskop setelah memastikan semua proses film rampung. “Proses itu juga tak mudah. Kita harus mengirimkan trailer, bahkan kita mengirimkan film full untuk dinilai oleh komite,” ucap Sunarti.

Untuk biaya pembuatan film ini, Sunarti menyebutkan hanya sekitar Rp 1 miliar, masih lebih rendah jika dibanding pembuatan film di Jakarta yang bisa mencapai Rp 4 miliar. “Yang mahal itu kan artisnya. Kalau pemeran kami, biayanya di bawah ratusan juta rupiah.”

FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus