Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bahaya Mikroplastik dalam Air Minum Bagi Kesehatan Manusia

Mikroplastik dalam air minum menjadi obyek penelitian yang menarik banyak kalangan. Galon juga melepaskan bahan kimia berbahaya.

7 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat air dalam kemasan galon di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Juni 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Mikroplastik berasal dari dua sumber utama, yaitu degradasi plastik yang lebih besar dan rekayasa plastik berukuran mikro untuk industri.

  • Menginvasi tubuh manusia lewat saluran pencernaan dan pernapasan.

  • Terdapat tujuh kode plastik untuk membedakan jenisnya.

BERBAGAI jenis plastik bisa terdegradasi menjadi mikroplastik. Richard Thompson, ahli ekologi kelautan dari University of Plymouth, Inggris, menciptakan istilah ini pada 2004 untuk mendeskripsikan partikel polimer berukuran panjang kurang dari 5 milimeter, yang timnya temukan di pantai. Sejak saat itu, para ilmuwan menemukan mikroplastik di mana pun mereka meneliti: di lautan dalam, salju Kutub Utara dan es Antartika, kerang, garam meja, air minum, serta di udara atau jatuh bersama hujan.

Yang terbaru, pada Maret lalu, Heather A. Leslie dan koleganya dari Department of Environment and Health, Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, mengumumkan penemuan mikroplastik berukuran 0,7 mikrometer dalam darah manusia. Temuan yang dipublikasikan di jurnal Environment International ini menambah kekhawatiran ihwal dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. “Darah merupakan jalur transportasi oksigen dan nutrisi serta berpotensi juga membawa partikel plastik ke jaringan dan organ lain,” tulis penelitian itu.

Sebelumnya pada 2019, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui kajian bertajuk “Microplastic in Drinking Water” menyimpulkan mikroplastik dalam air minum tampaknya tidak menimbulkan risiko kesehatan pada tingkat saat ini. Menurut analisis WHO, mikroplastik yang lebih besar dari 150 mikrometer (μm) tak mungkin diserap tubuh dan partikel yang lebih kecil diperkirakan terbatas penyerapannya.

Penelitian WHO itu terbit setelah organisasi jurnalis nirlaba di Amerika Serikat, Orb Media Network, pada Maret 2018 mengumumkan bahwa 93 persen dari 259 sampel botol air minum yang diambil dari sembilan negara (ada sebelas merek air minum dalam kemasan botol plastik sekali pakai, termasuk Aqua dari Indonesia) mengandung mikroplastik polyethylene terephthalate (PET).

Mikroplastik yang bermigrasi di air minum dalam kemasan menjadi obyek penelitian yang menarik bagi banyak kalangan. Terakhir, pada September 2021, Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Pusat Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia menemukan kandungan mikroplastik pada dua merek air minum yang memakai kemasan galon sekali pakai. Konsentrasi mikroplastik yang ditemukan adalah 5 bagian per juta (ppm) pada merek A dan 0,2 ppm di merek B. Mayoritas bentuk partikel mikroplastik yang ditemukan adalah fragmen, dengan ukuran yang berkisar antara 2,44 hingga 63,65 μm.

Bentuk mikroplastik ternyata berpengaruh juga. Evangelos Danopoulos dari Hull York Medical School, Inggris, yang menganalisis 17 penelitian tentang dampak toksikologi mikroplastik pada lini sel manusia, menemukan bahwa mikroplastik yang bentuknya tak beraturan menyebabkan lebih banyak kematian sel daripada yang berbentuk bola. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Hazardous Material, November 2021, ini memaparkan mikroplastik pada sel manusia di laboratorium. Temuannya, mikroplastik bisa mengakibatkan kematian sel, menimbulkan respons alergi, mempengaruhi dinding sel, dan merusak sel.

Selain mikroplastik, galon melepaskan bahan kimia berbahaya ke dalam air minum. Setidaknya ada dua senyawa kimia yang dipakai dalam produksi plastik kemasan yang bisa termigrasi ke air minum, yakni ftalat dan bisfenol-A (BPA). Ftalat adalah bahan kimia untuk membuat plastik lebih fleksibel dan bening. Sedikitnya, ada lima tipe ftalat yang dipakai dalam produksi botol plastik air minum, yakni: dibutyl phthalate (DBP), di-2-(ethyl hexyl) phthalate (DEHP), diethyl phthalate (DEP), benzyl butyl phthalate (BBP), dan dimethyl phthalate (DMP). Adapun BPA adalah senyawa kimia yang digunakan dalam produksi plastik polikarbonat (PC). BPA berguna untuk mengikat plastik agar lebih padat dan keras.

Berbagai penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah menyebutkan ftalat sebagai pengganggu sistem endokrin (hormon). Akibatnya, antara lain, yang telah diteliti adalah terjadinya gangguan produksi hormon seksual pada manusia dan perkembangan alat kelamin yang cacat pada hewan percobaan serta penurunan kesuburan pria. BPA juga dikaitkan dengan gangguan hormon, peningkatan risiko kanker payudara dan prostat, serta peningkatan risiko autis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bala Ganda Botol Air"

Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus